Mohon tunggu...
Moh Nur Nawawi
Moh Nur Nawawi Mohon Tunggu... Nelayan - Founder Surenesia

Seorang pecinta dunia maritim / Pelayan dan Pengabdi Masyarakat / suka menulis, bercerita dan berdiskusi / @nawawi_indonesia nawawisurenesia@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Marhaenisme dalam Perspektif Islam

31 Maret 2023   18:57 Diperbarui: 31 Maret 2023   18:59 826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://yoursay.suara.com/

Potret Masyarakat Indonesia

Saat Indonesia di Proklamirkan pada 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia adalah bangsa dengan kondisi yang terpuruk karena kolonialisme. Indonesia saat itu adalah sebuah negara yang terdiri dari rakyat kecil yang hidup dalam serba kekurangan dan keterbatasan. Para pejuang saat itu sebagian besar adalah para relawan dan syuhada yang berasal dari rakyat kecil dan hidup dalam kesusahan.

Kondisi saat itu tentu sangat berbeda dengan  Amerika Serikat saat didirikan. Dimana Amerika didirikan oleh 13 negara bagian dengan declaration of independence pada  4 Juli 1776, Negara-negara bagian yang mendirikan negara federal Amerika Serikat merupakan negara dengan kaum menengah yang sudah mapan yang serba sudah punya.

Masyarakat Indonesia yang secara mayoritas adalah rakyat kecil  memiliki mata pencaharian yang beragam dari yang tidak mandiri, dalam artian dia bekerja untuk pemilik modal atau Institusi seperti Aparatur Sipil Negara dan para kaum buruh. Dan adapula yang mandiri, dalam artian dia memiliki alat dan modal sendiri seperti pemilik warteg, petani kecil, tukang jahit, pemilik bengkel sepeda, pedagang asongan, kaki laima dan pemulung.

Kondisi tersebut adalah potret dari kondisi masyarakat Indonesia yang semuanya baik yang tidak mandiri maupun yang mandiri adalah rakyat kecil. Dimana nilai itu dapat dilihat dari bagaimana kemampuan penghasilan mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Rakyat Indonesia dengan kondisi tersebut tentu tidak bisa disebut sebagai proletar sebagai mana konsep Marx, karena definisi proletar adalah orang yang menjual tenaganya tanpa mempunyai hak kepemilikan atas alat produksi, sedang yang memiliki alat produksi adalah si borjuis kapitalis.

Marhaenisme 

Proletar dalam manifesto Komunis yang di susun oleh Karl Mark bersama dengan Friedrich Engels pada tahun 1848 menyebutkan bahwa rakyat kecil identik dengan mereka yang hanya menjual tenaga. Dimana saat itu yang menjadi bahan studi Marx adalah para buruh di Inggris yang Menjadi satu-satunya kategori orang kecil di Inggris.

Rakyat kecil di Indonesia dalam kaca mata Bung Karno beragam kategorinya, untuk itu Bung Karno tidak dapat menyebut mereka sebagai kaum proletar. Dimana pada saat itu yaitu pada tahun 1920, Industri di Indonesia baru berupa beberapa pabrik gula, sehingga jumlah buruhnya yang disebut kaum proletar juga baru sedikit, sedangkan rakyat kecil di Indonesia adalah hampir semua rakyat.

Kondisi Rakyat Indonesia tersebut membuat Bung Karno memiliki definisi sendiri hingga memunculkan istilah pemikiran yang sangat fenomenal yaitu MARHAEN. Bung Karno menemukan istilah marhaen saat bertemu dengan seorang petani kecil yang bernama marhaen ( ada yang menyebut dengan nama Aen atau mang aen ) dimana petani marhaen tersebut adalah gambaran dari kondisi rakyat Indonesia.

Marhaen adalah rakyat kecil yang secara umum memiliki alat dan modal yang kecil tapi tidak berdaya dalam produksi dan tergerus oleh kapitalisasi akibat kolonialisme dan imperialisme.

Untuk mengentaskan mereka dari ketidakberdayaan tersebut Bung karno menggunakan senjata atau sebuah konsep ajaran yang dinamakan marhaenisme. Dimana marhaenisme merupakan perjuangan yang berorientasi kepada orang kecil (Marhaen)  dan berupaya mengangkat derajat mereka.

Marhaenisme Bung Karno merupakan ajaran yang sepenuhnya sesuai dengan kondisi sosiologis dari masyarakat Indonesia. Menurut marhaenisme, agar rakyat Indonesia mandiri secara ekonomi dan terbebas dari eksploitasi pihak lain, tiap orang atau rumah tangga memerlukan faktor produksi atau modal.

Alat dan modal tersebut bisa berwujud tanah atau mesin/alat. Dimana dalam konteks modern, bisa berupa kendaraan, perangkat teknologi informasi, alat dapur dan barang elektronik bisa saja diberdayakan dengan tepat guna sebagai modal atau faktor produksi.

Kepemilikan modal dan alat tersebut meskipun  tidak besar dapat menjamin kemandirian orang atau rumahtangga itu dalam perekonomian. Memperjuangkan kepemilikan modal serta mendorong optimalisasi pemanfaatannya dengan sebuah sistem yang tepat adalah aktualisasi dari marhaenisme itu sendiri.

Roh marhaenisme menghidupkan konstitusi Indonesia, Dimana hal itu dapat dilihat dalam UUD 1945 Pasal 33 mencantumkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha berdasarkan asas kekeluargaan, dan penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa koperasi merupakan usahanya kaum kecil dan kaum lemah.

Marhaenisme yang terbentuk dari Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan Yang Berkebudayaan merupakan ideologi merupakan sebuah esensi ideologi perjuangan yang menjadi roh dari ideologi Indonesia yaitu pancasila.

 

Marhaenisme dalam perspektif Islam.

Nasionalisme Indonesia yang digaungkan oleh Bung Karno pada tahun 1927 bukanlah sembarang nasionalisme, melainkan nasionalisme yang terangkum dalam rangkuman Sosio-Nasio-Demokrasi, yaitu nasionalisme yang mengandung prinsip-prinsip kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial.

Sejarah mencatat saat itu kalangan Islam seperti A. Hassan, tokoh Persis (Persatuan Islam) Bandung dan Mochtar Luthfi, pemimpin Parmi (Partai Muslimin Indonesia) Padang menentang paham nasionalisme dengan melabelinya sebagai berhala sesembahan baru. Mereka saat itu melihat nasionalisme seperti produk barat pada umumnya yang chauvinistic, ekspansionistik dan jinggoistik.

Mereka juga mengidentikkan nasionalisme dengan 'ashobiyyah' yang identik dengan fanatisme atau chauvisme. Dimana dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Nabi bersabda bahwa "siapa yang mati karena menyeterukan atau menolong 'ashobiyyah, matinya adalah mati jahiliyah". Hingga saat ini masih banyak kalangan Islam yang mengganggap Nasionalisme sebagai Ashabiyyah, dengan terus mengkampanyekan ideologi Trans Nasional seperti Khilafah.

Nasionalisme yang di dengungkan oleh Bung Karno sebagai ajaran untuk memperkokoh bangunan bangsa  yaitu Nasionalisme yang berperikemanusiaan, berdemokrasi dan berkeadilan sosial, tentu adalah sebuah konsep yang berbeda dengan Ashabiyyah yang di takutkan. Oleh karena itu Nasionalisme diterima dengan tangan terbuka oleh tokoh Islam seperti KH. Hasyim Asy'ari dari Jam'iyyah Nahdlatul Ulama.

Secara umum Umat Islam Indonesia dapat menerima paham nasionalisme Indonesia yang mengandung prinsip-prinsip kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi dan keadilan sosial yang disebut Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi atau lebih disingkat lagi Sosio-Nasio-Demokrasi yang setelah dipadukan dengan ke-Tuhanan Yang Maha Esa menjadi lima silanya Pancasila.

Dalam bingkai kemanusiaan atau hubungan antar manusia Islam mengandung ajaran yang mengharuskan sikap peduli dan sikap memihak kepada orang kecil atau orang miskin atau dikenal dengan kaum dhu'afa.  Dimana Bung Karno menamainya dengan kaum Marhaen.

Sikap acuh atau tidak peduli atas nasib orang-orang miskin itu adalah sama dengan mendustakan agama sebagaimana yang difirmankan Allah SWT di dalam Surat A-Maun, "Siapakah yang mendustakan agama. Ialah yang mengabaikan anak-anak yatim dan tidak peduli terhadap orang-orang miskin yang kelaparan".

Allah SWT memberikan peringatan yang sangat jelas dan keras bahwa para muslim/muslimat yang rajin shalat lima waktu dan tertib berpuasa di dalam bulan Ramadhan bahkan yang sudah haji dan membayar zakat, tetapi mengabaikan anak-anak yatim dan orang-orang miskin adalah golongan yang mendustakan agama yaitu Islam itu sendiri.

Terlebih bagi seorang muslim yang menjadi pejabat tinggi atau mereka yang memiliki kekuasaan tapi berlaku tidak bijaksana dan justru kebijakannya menimbulkan kemiskinan (kemiskinan struktural), walau rajin ibadah maka di mata Allah SWT, mereka adalah orang-orang yang mendustakan alias memanipulasi agama.

Berbicara konsep ekonomi,  Al-Qur'an mengandung ajaran-ajaran yang melarang orang-orang kecil dihisap ataupun dirampas haknya. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam Surat Al-Ahqaaf ayat 19, "Bagi setiap orang apa yang dikerjakan mempunyai harga, harga itu hendaknya dibayar penuh dan janganlah ada yang dihisap."

Surat Al-Baqarah ayat 275 juga menegaskan bahwa Allah SWT sangat melarang riba. Dalam konteks ini riba tidak hanya berupa bunga terhadap pinjaman uang, tetapi juga terkait sistem ekonomi yang justru merugikan masyarakat kecil dengan permainan harga, monopoli tengkulak, penimbunan dan segala bentuk transaksi yang merugikan masyarakat kecil.

Jadi dalam konteks ekonomi Al-Qur'an menerangkan tentang larangan riba Yaitu riba sebagai aktivitas yang mengandung unsur kedholiman (penghisapan) terhadap orang kecil yang dalam kesempitan. Itulah mengapa Surat Al-Baqarah ayat 275 itu disambung dengan ayat lain yang berbunyi,"Janganlah kamu menghisap dan janganlah kami dihisap.". Surat tersebut diperkuat dengan Hadits Nabi, "Janganlah kamu menimbulkan kerugian, jangan pula kamu dirugikan."

Al-Qur'an sebagai pedoman hidup masyarakat Islam dalam konteks ekonomi sangat menentang setiap bentuk penghisapan manusia oleh manusia, bangsa yang satu oleh bangsa yang lain dan penghisapan bangsa oleh beberapa gelintir orang sebangsa. Hal tersebut seirama dengan ajaran Bung Karno yaitu Marhaenisme yang juga sangat menentukan penghisapan manusia terhadap manusia lainnya.

Sistem ekonomi kapitalis yang sangat ditentang oleh Ideologi Marhaenisme adalah sistem ekonomi yang tidak jauh dari riba. Hal ini tentu senada dengan Konsep Islam tentang ekonomi yang harus terbebas dari riba.

Prinsip Marhaenisme juga masuk dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat (2) dan ayat (3). Dalam penjelasan mengenai Pasal 33 itu diterangkan jika negara tidak menguasai cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, tampak produksi akan jatuh ke tangan orang seorang, sehingga rakyat banyak akan ditindasnya (dihisap).

Prinsip ekonomi Marhaenisme tersebut sepenuhnya sesuai dengan ajaran Islam seperti yang terkandung dalam Surat Thaha ayat 6, "Milik Allah-lah semua yang ada di langit, yang ada di bumi, dan di antara keduanya serta yang ada di bawah tanah." 

Disebut milik Allah, mengandung makna bahwa semua kekayaan alam haruslah dimiliki bersama, tidak boleh dimiliki oleh perseorangan atau golongan tertentu.  Ayat tersebut diperkuat oleh sebuah Hadits Nabi diriwayatkan oleh Ahmad Abu Daud, "Manusia haruslah memiliki tiga sumber, yitu sumber air, sumber tumbuh-tumbuhan dan sumber energi."

Islam selalu mengajarkan bahwa Allah akan mengangkat kaum dhu'afaa sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam surat Al-Qoshash ayat 6, "Dan kami (Allah) akan menolong kaum dhu'afaa di muka bumi dan menjadikan mereka pemimpin dan orang-orang yang akan mewarisi (bumi)." Nabi Muhammad SAW juga bersabda, "Sesungguhnya kemenanganmu adalah bersama-sama dengan kaum dhu'afaa."

Hadis Nabi tersebut Menegaskan bahwa kemenangan akan tercapai hanya jika kita memihak kepada kaum dhu'afaa atau kaum marhaen dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Dan kemenangan bersama-sama dengan kaum dhu'afaa/marhaen itu adalah kemenangan yang abadi. Hal ini tentu senada dan seirama dengan Ajaran Bung Karno Marhaenisme bahwa seorang marhaenis atau pejuang haruslah dekat dengan kaum marhaen. Dimana Marhaenisme memiliki cita-cita luhur yaitu kemenangan kaum marhaen.

Muslim Harusnya Marhaenis

Muslim Indonesia memiliki kewajiban memperjuangkan sebuah negara sebagai tempat untuk beribadah. Yaitu sebuah negara yang adil dan makmur lahir batin yang diridhoi oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala (baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur).

Dimana perjuangan itu sesuai dengan niat seorang muslim yaitu "Sesungguhnya shalatku, perjuanganku, hidupku dan matiku hanyalah semata-mata untuk Allah.". Perjuangan itu sangat tepat jika digelorakan dengan semangat nasionalisme Indonesia  yang ber-Pancasila. Dimana Pancasila adalah anti-kapitalis, anti-imperialis dan anti-nekolonialis.

Pesan Bung Karno dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, 1959 "Islam yang sejati tidaklah mengandung azas anti-nasionalis; Islam yang sejati tidaklah bertabiat anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi paham nasionalisme yang luas budi..., selama itu kaum Islamis tidak berdiri di atas Shirothol Mustaqim."

"Dan perjuangan menuju baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur itu perjuangan yang bersandarkan kepada kaum dhu'afaa, kaum marhaen, jadi yang bersemangat marhaenisme yang di dalam segala halnya menyelamatkan Marhaen."

Seorang muslim Indonesia yang ingin menjadi muslim/muslimat yang baik, yang benar-benar menjalankan ajaran Islam  harus mampu menjadi seorang nasionalis, seorang Pancasilais, seorang sosialis dan seorang Marhaenis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun