Saya membelai rambutnya. Air matanya saya telah menggenang di pelupuk dan hanya menunggu satu tarikan napas lagi untuk jatuh berderai.Â
Saya tidak tahu harus mengatakan apa pada anak itu. Saya tidak tahu rasanya. Saya tidak pernah berada dalam posisi Iqbal. Itu membuat hati saya malah menjadi perih karena merasa tidak bisa merasakan apa yang dirasakan bocah ini.
"Dulu kamu makan siang di mana?"
"Bapak saya jualan pentol, Bu. Jadi setiap jam istirahat siang dia sudah menunggu di luar. Memberikan sebungkus untuk saya. Cukup untuk mengganjal perut sampai jam tiga," jawabnya.
Sekuat tenaga saya menahan air mata yang akan jatuh. Meskipun itu artinya saya harus berbicara sambil terbata-bata.
"Jadi Bapak jual pentol?" Saya mengulang, karena tidak tahu harus berkata apa lagi.
Iqbal mengangguk. "Saya sebenarnya ingin pindah, tapi tidak boleh sama Bapak."
Saya mengerti maksud dari Iqbal. Saya banyak mendengar orang tua seperti orang tua Iqbal. Memaksa diri mereka pada titik paling sakit asal anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang menurut mereka paling baik. Ini menjadi buah simalakama. Saya mendengar sekolah-sekolah lain mulai banyak yang mengikuti aturan sekolah kami. Pastilah itu sangat berpengaruh pada penghasilan orang tua Iqbal. Menyuruh seorang anak untuk membawa bekal makan siang artinya menambah pengeluaran.
"Mulai besok, kamu akan makan sama Ibu. Sekarang, hapus air matamu. Kamu laki-laki, harus kuat. Mengerti?"
Iqbal kembali mengangguk. Dia kemudian berdiri lalu berjalan dengan pelan menuju pintu kelas. "Bu guru ...," katanya memanggil dengan lirih, aku menengok ke arahnya. "Ternyata ayam goreng  itu enak sekali. Saya tidak pernah makan ayam goreng sebelumnya. Terima kasih."
(Anonymous)