Karena tangannya terpaku menggenggam kotak makan siangnya, saya beranikan diri untuk meraih dan menukarnya dengan kotak makan siang saya.Â
Saya pikir dia akan melawan dan tidak membiarkan saya mengambil kotak bekal biru itu. Melihat, sikap Iqbal yang tak ubahnya seperti seorang kucing yang tak ingin makananannya diambil kucing lain. Ternyata saya salah. Iqbal membiarkan saya menukar kotak makan siangnya.
Saya membuka bekal makan siang Iqbal. Saya tersentak. Untung saja anak itu sedang menunduk sehingga dia tidak melihat reaksi saya. Kotak bekal itu hanya berisi nasi putih saja. Tidak ada lauk sama sekali. Saya tidak mengatakan apa pun dan langsung menyendok nasi di dalam kotak bekal itu. Nasi itu terasa sediktit asin.
"Makanlah Iqbal." Saya membukakan kotak makan siang saya dan menyuruhnya makan. Hari itu saya memasak ayam goreng. "Jangan khawatir. Ayam goreng Ibu ini buatan sendiri, tapi tidak kalah enak dengan yang dibeli ibunya Dani," bisik saya pelan, agar tidak terdengar murid lain.
Dengan ragu, Iqbal mulai makan. Mungkin karena segan, Iqbal makan dengan sangat pelan.
Saya merasa bersalah karena tidak mengenal murid-murid saya dengan baik. Tidak bertanya pada wali kelas sebelumnya secara lebih dalam tentang latar belakang dari mereka satu-persatu. Kegagapan saya membaca situasi membuat seorang murid terluka. Mungkin sangat dalam. Sungguh saya menyesal.
Setelah anak-anak selesai makan, saya minta mereka untuk langsung ke mushala, sedangkan pada Iqbal, saya memintanya untuk tetap duduk sebentar.
"Ini yang membuat kamu duduk di belakang, Iqbal?" saya bertanya.
Iqbal mengangguk.
"Kamu mengisi kotak bekal untuk Dani hanya dengan nasi saja karena kamu tidak ada lauk?" saya melanjutkan.
"Waktu itu ada tempe dua potong, Bu. Tapi saya malu," jawabnya.