Pertama, permasalahan kopetensi pelaut kapal ikan Indonesia yang belum setara dengan pelaut kapal niaga dimata international indikasi inilah yang menyebabkan banyak pelaut kapal ikan yang berpindah menjadi pelaut kapal niaga dengan mengikuti penyetaraan ijazahnya. Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi dan Pencatatan untuk Personel Kapal Perikanan, 1995 (STCW-F 1995 Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel) yang mulai berlaku pada tanggal 29 September 2012 dan saat ini indonesia baru mulai meratifikasinya hal ini menjadi salah satu hala yang selama ini kopetensi pelaut kapal ikan belum benar-benar diakui oleh dunia Internasional. Tapi setidaknya ada angin segar bagi para pelaut kapal ikan dengan adanya ratifikasi STCW-F 1995.
Kedua, kurangnya regulasi yang benar-benar melindungi para pelaut kapal ikan baik yang bekerja didalam maupun luar negeri, kitasemua tahu bahwa resiko menjadi pelaut kapal ikan sangatlah besar, karena melihat beban kerja dikapal ikan selain melayarkan kapal dari titik ketitik para pelaut kapal ikan juga harus mampu menetukan daerah penangkapan, mengoperasikan alat tangkap, melakukan penanganan hasil tangkapan pasca panen, menjaga kondisi hasil tangkapan tetap bagus hingga sampai dipelabuhan bongkar. Jaminan keamanan serta keselamatan bagi pelaut kapal ikan masih harus terus dioptimalkan, pemberian asuransi, dan kejelasan perjanjian kerja laut harus menjadi perioritas yang perlu terus dikaji oleh pemerintah serta pengusaha kapal ikan.
Ketiga, masih banyaknya agency pemberangkatan pelaut kapal ikan keluar negeri yang menjalankan bisnisnya tanpa memperhatikan nasib pelautnya, fakta dilapangan setelah adanya kasus perbudakan dikapal ikan asing terhadap pelaut indonesia menunujkkan masih banyaknya agensi tenaga kerja pelaut yang tidak resmi dan tidak menjalankan fungsinya dengan benar. Sehingga nasib serta keselamatan pelaut kapal ikan yang mereka perkerjakan dikapal ikan asing tidak tercover dengan seharusnya.
Keempat, lapangan kerja perikanan yang menjanjikan baik dari segi kesejahteraan, kemanan kerja, serta penjenjangan karir yang baik belum banyak tersedia bagi pelaut kapal ikan, atas dasar itu maka tak bisa disalahkan jika para pelaut kapal ikan berpindah haluan ke pelaut kapal niaga. Perlu adanya terobosan oleh pemerintah serta para pelaku usaha perikanan untuk masalah ini.
Perpres 18 tahun 2019 yang mengesahkan Konvensi Internasional tentang standard pelatihan sertifikasi dan dinas jaga bagi awak kapal penangkap Ikan (STCWF) Â adalah bentuk komitmen pemerintah agar awak kapal ikan bisa bekerja dengan baik, mentransformasi lingkungan kerja yang 3D yakni dirty, dangerous, difficult menjadi 3C yaitu Clean, Clear, Competent sekaligus menjadi angin segar bagi para pelaut kapal ikan Indonesia. STCW-F (Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personnel) diadopsi IMO pada tahun 1995 dan diberlakukan pada 29 September 2012. Konvensi ini mengatur standar pendidikan dan pelatihan, sertifikasi awak kapal, dan tugas jaga pada kapal ikan dengan dimensi panjang 24 meter atau lebih.
Terbitnya  Perpres 18/2019 membuktikan Indonesia telah mengadopsi seluruh ketentuan yang ada di dalam STCWF tersebut ke dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan pelaut kapal ikan pada seluruh lembaga pendidikan dan pelatihan. Kedepan diharapkan hal ini akan mampu menjamin masa depan pelaut kapal ikan indonesia lebih baik.
Kita patut apresiasi kinerja pemerintah yang telah mampu meratifkasi STCW-F 1995 sehingga para pelaut kapal ikan indonesia tidak patah harapan untuk mengembangkan profesi sebagai pelaut kapal ikan. Tapi hal itu bukanlah akhir dari perjuangan karena dari empat konvensi internasional tentang perikanan tangkap, Indonesia baru meratifikasi dua konvensi, yaitu Port State Measures Agreement to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing dan SCTW-F ini.Â
Sedangkan masih ada dua konvensi lainnya yang belum dirarifikasi adalah Konvensi Cape Town Agreement on Safety of Fishing Vessel, dan ILO Convention No. 188 on Work in Fishing. Kedua konvensi tersebut tidak kalah penting karena menyangkut keselamatan kerja dan nasib tenaga kerja kapal ikan baik didalm maupun luar negeri. Selain itu kedua konvensi itulah yang seharusnya mampu menjawab segala permasalahan pelaut kapal ikan diatas.
Selain meratifkasi konvensi-konvensi tentang perikanan tangkap yang sangat berhubungan erat dengan nasib pelaut kapal ikan tentunya pembuatan regulasi atau kebijakan didalam negeri yang memihak bagi pelaut kapal ikan juga harus didorong, kolaborasi pemerintah dan pengusaha perikanan tangkap dan para pemangku kebijakan lainnya adalah aksi nyata yang harus dilakukan sehingga mampu menerbitkan regulasi yang menjamin nasib pelaut kapal ikan baik dari segi kesejahteraan, keamanan kerja serta penjenjangan karir yang baik.Â
Tiada usaha yang tidak ada hasilnya, tentunya setiap usaha selalu dibarengi dengan hasil untuk itu kerja keras secara maksimal harus terus dilakukan untuk menjawab permasalahan tersebut, kolaborasi yang baik juga bisa menjadi pendorong keberhasilan usaha tersebut, ratifikasi STCW-F 1995 dengan perpres 18 tahun 2019 adalah langkah awal untuk mewujudkan semua itu.
Â