Highligth Isu Cantrang
Kita selalu disuguhi dengan pemberitaan tentang isu cantrang dan segala bentuk permasalahan yang mengikutinya padahal seharusnya ada sebuah pertanyaan yang harus kita jawab seperti Bagaimana dengan reklamasi, bagaimana dengan tambang, bagaimana dengan pariwisata? Kita melihat, masalah perusakan akibat industri ekstraktif itu masih belum penting. Padahal itu yang paling banyak menyebabkan nelayan-nelayan kita itu beralih profesi."
Sebagai warga yang mendiami wilayah terluar dari negara kepulauan, masyarakat pesisir masih identik dengan kemiskinan, sering lepas dari radar kebijakan peningkatan kesejahteraan dari pemerintah, dan terpinggirkan serta tersingkir manakala berhadapan dengan kekuatan modal (Capital force).
Penyebab utama permasalah cantrang dan beragam alat tangkap yang merusak lingkungan dan keseimbanagn ekosistem lebih di dominasi oleh aturan main ( Rule of Action ) yang mengatur atau kebijakan alat tangkap itu sebenarnya bukan hadir baru-baru ini  saja. Tahun delapan puluhan, sudah ada aturan main melarang penggunaan alat merusak seperti trawl.
Yang masih terus menjadi kendala hingga sat ini adalah implementasi dari aturan atua kebiajkan tersebut. Para pengguna alat tangkap dan masyarakat belum mendapat kepastian tentang reward and punishment dari pemberlakuan aturan tersebut. Permasalahn ini membuat ketidakpastian di tingkat akar rumput (grassroot)
Pro dan kontra hari ini adalah  dampak dari perjalanan panjang kebijakan alat tangkap yang belum selesai. Kebijakannya sebenarnya sudah cukup baik, karena berbicara tentang perikanan nelayan pesisir berkelanjutan. Berbicara tentang keberlangsungan sumberdaya ikan dan garansi bagi anak cucu kita kelak agar bisa terus memanfaatkan potensi sumberdaya ikan.
Tapi mitigasi atau pergantian alat tangkap masih belum berjalan maksimal. Masih banyak kebocoran di sisi tersebut  yang kemudian jadi gejolak baik di tingkat nasional maupun akar rumput.
Belum adanya skema yang baku  tentang program pergantian alat tangkap. Pergantian alat tangkap yang digulirkan masih dalam fase mengganti alat tangkap dari yang dikategorikan merusak lingkungan menuju alat tangkap yang ramah lingkungan  Bicara alat tangkap itu seharusnya tidak hanya dilihat dari sisi atau dipandang sebagai alat saja karena di dalam alat tangkap itu juga ada tradisi, kebiasaan, rantai produksi yang saling bersinggungan menjadi sebuah proses penangkapan ikan.
Merubah alat tangkap tidak serta merta mengganti alatnya tapi juga harus melihat berbagai elemen lainnya, cara atau tradisi penangkapan ikan suatu wilayah, karakteristik masyarakat dan lingkungannya, sistem produksi dan pola peangkapan masyarakat. Semua itu harus digeser secara perlahan dengan pendekatan yang lebih komprehensif.
Kontroversi dari kebijkan alat tangkap selama ini yang selalu menjadi highlight adalah isu cantrang. Banyak sekali nelayan tradisional di bawah 10 GT masih menggunakan alat tangkap sederhana, berjuang untuk mendapatkan laut yang bersih, dan memiliki visi agar laut dikelola dengan cara berkelanjutan, hal inilah yang masih menjadi hidden transcripts.
Selain itu permasalahan anak buah kapal ikan juga harus menajdi pertimbangan, perubahan alat tangkap akan mempengaruhi jumlah personil nelayan disuatu kapal ikan yang disesuaikan dengan kondisi dan metode pengoperasian suatu alat tangkap.
Penggantian yang diberikan kepada nelayan pemilik kapal dan alat tangkap tanpa memperhatikan nasib nelayan yang hanya menjadi pekerja bagi nelayan lain yang memiliki modal akan berdampak serius pada kondisi tenaga kerja kapal ikan. Sederhananya jumlah pekerja pada kapal trawl jelas berbeda dengan kapal rawai atau gillnet, perbedaan itu harus disikapi dengan bijak.
Permasalahn nelayan yang masihmenjadi hidden transcripts
Mimpi mengelola wilayah pesisir berkelanjutan seperti yang tercantum dalam misi dari Permen KP nomor 2 Tahun 2015 Â dan permen KP nomor 71 tahun 2016 adalah mewujudakan sebuah kesimbangan ekosistem pesisir sehingga mampu berkelanjutan dalam pemanfaatkan serta pengelolaannya, tapi persoalan besar yang belum kunjung terselesaikan adalah masih adanya industri ekstraktif di pulau pesisir dan pulau-pulau kecil terutama dikelola oleh para pemilik modal bukan oleh masyarakat.
Bicara pengelolaan pesisir berkelanjutan tidak hanya selesai pada kebijakan terkait alat tangkap, kita juga harus bertanya tentang Bagaimana dengan reklamasi? Bagaimana dengan tambang? Bagaimana dengan tourism? Kita semua masih melihat, masalah perusakan akibat industri ekstraktif itu masih belum terlalu penting.
Padahal kalau boleh jujur itu semua adalah problem yang paling banyak menyebabkan nelayan-nelayan kita itu beralih profesi. Branding pariwisata pesisir tanpa dibarengi kajian yang tepat dan antisipasi dampak lingkungan yang efektif justru akan menodai rencana pengelolaan pesisir yang berkelanjutan, pembukaan lahan pesisir, hutan pesisir sebagai tambang akan berdampak serius karena penyangga alam telah dirobohkan dengan dibukanya pertambangan dan pariwisata.
Kebijakan terkait industri ekstraktif di wilayah pesisir sangat berdampak pada nelayan atau masuyarakat pesisir, mulai dari ekosistem berubah, misal, membangun Teluk Benoa, pasir yang diambil dari Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pembukaan tambang di daerah pesisir Banyuwangi dan pembukaan lahan hutan mangrove untuk pariwisata di berbagai daerah lainnya.
Hal ini meninggalkan luka atau kerusakan berganda. Hasil tangkapan nelayan menurun drastis. Rata-rata nelayan kita adalah nelayan tradisional yang belum bisa jauh melaut dan masih di wilayah zona di bawah 12 mil. Hasil tangkapan menurun padahal harus terus bertahan hidup hal ini yang  menyebabkan Nelayan beralih profesi.
Mewujudkan Kedaulatan Masyarakat pesisir
Nelayan harus memiliki kekuatan kemandirian agar bisa berdaulat dan berdaya dalam mengelola kelautan dan perikanan. Mereka harus berdaulat atas laut, adanya  Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) dengan kebijakan pusata hingga daerah melalui perda akan didorong di 33 provinsi. Tetapi rata-rata semua berorientasi pada industri ekstraktif kalu tidak tambang, pariwisata, ya reklamasi, semua pengelolaan masih belum berangkat dari nelayan.
Rencana zonasi mencederai kedaulatan nelayan atau masyarakat pesisir. Yang dibutuhkan masyarakat pesisir adalah mereka bisa mengakses laut. Karena itukan open access. Open access bukan berarti investasi masuk lalu mereka dipinggirkan. Open accses harus diperuntukkan seluas-luasnya bagi nelayan kita bukan buat para pemodal saja. Pengelolaan perikanan Open accses harus juga bisa digeser pada pengelolaan yang terkendali agar nelayan mendapatkan porsi dan haknya untuk berdaulat di laut.
Memutus  rantai industri ekstraktif dengan menerapkan kebijakan yang pro masyarakat pesisir dan pengendalian dengan kontrol yang ketat adalah langkah yang tepat dalam rangka mengembalikan kedulatan laut sebesar-besarnya ke masyarakat pesisir. Kalau masyarakat pesisir atau nelayan sudah mencapai kedaulatan, selanjutnya program pemberdayaan harus digulirkan agar mampu mendorong masyarakat pesisir untuk mandiri.
Koperasi-koperasi nelayan, BUMdes Pesisir harus didorong pengembangannya. Bukan hanya memutus rantai ketergantungan terhadap tengkulak juga mendorong kemandirian dan tata kelola yang dibangun dari masyarakat untuk masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H