Mohon tunggu...
Moh Nur Nawawi
Moh Nur Nawawi Mohon Tunggu... Nelayan - Founder Surenesia

Seorang pecinta dunia maritim / Pelayan dan Pengabdi Masyarakat / suka menulis, bercerita dan berdiskusi / @nawawi_indonesia nawawisurenesia@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Desa Pesisir Mandiri, Implementasi Strategi dan Aksi

19 Maret 2018   04:31 Diperbarui: 19 Maret 2018   09:30 3019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama,kerusakan ekologis baik yang bersifat alamiah maupun antropogenik. Kerusakan ekologis secara alamiah di desa pesisir dapat dilihat dari berbagai bencana alam, seperti tsunami, angin topan, elnino, dan gempa. Pemanasan global juga memiliki andil terhadap perubahan ekologi desa pesisir. Kerusakan alamiah ini memang di luar kontrol manusia. Selama ini yang bisa dilakukan hanyalah upaya meminimalkan dampak dari bencana alam tersebut.

Kerusakan ekologis secara antropogenik adalah kerusakan ekologis akibat ulah manusia baik yang bersifat langsung maupun tak langsung. Contoh kerusakan ekologis yang bersifat langsung antara lain seperti pengeboman ikan dan praktek perikanan destruktif lainnya, pencemaran, serta erosi pantai akibat pembabatan mangrove. Sedangkan contoh kerusakan ekologis yang bersifat tidak langsung misal seperti sedimentasi akibat aktivitas hulu yang tidak ramah lingkungan.

Kedua,isu sosial terkait dengan struktur sosial, budaya, dan politik. Seperti dijelaskan di muka, bahwa struktur sosial masyarakat pesisir dicirikan oleh pola hubungan patron-klien. 

Scott (1993) melihat hubungan patron-klien sebagai fenomena yang terbentuk atas dasar ketidaksamaan dan sifat fleksibilitas yang tersebar sebagai sebuah sistem pertukaran pribadi, yang berarti ada arus dari patron ke klien dan sebaliknya, yang mencakup: (1) penghidupan subsistensi dasar, berupa pemberian pekerjaan tetap, penyediaan saprodi, jasa pemasaran, dan bantuan teknis, (2) jaminan krisis subsistensi, berupa pinjaman yang diberikan pada saat klien menghadapi kesulitan ekonomi, (3) perlindungan, berupa perlindungan terhadap klien baik dari ancaman pribadi (musuh pribadi) maupun ancaman umum (tentara, pejabat, pemungut pajak, dsb), (4) memberikan jasa kolektif, berupa bantuan untuk mendukung sarana umum setempat (sekolah, tempat ibadah, jalan, dsb). 

Sementara itu arus dari klien ke patron menurut Scott (1993) sulit untuk dikategorisasi. Karena klien adalah "orangnya" patron, yang menyediakan tenaga dan keahliannya untuk kepentingan patron, apa pun bentuknya, seperti jasa pekerjaan dasar, jasa tambahan bagi rumah tangga patron, jasa domestik pribadi, dan juga klien merupakan anggota setia dari faksi lokal patron tersebut.

Meskipun apa yang digambarkan Scott tersebut merupakan hasil kajiannya berdasarkan konteks sosial agraris, namun gambarannya tentang hubungan patron-klien dapat membantu untuk menggambarkan kondisi masyarakat pesisir (Satria, 2002). 

Berdasarkan tata hubungan di atas jelas bahwa memang antara nelayan dengan patronnya menguasai sumberdaya tidak sama. Artinya, patron menguasai sumberdaya modal jauh lebih besar daripada nelayan. Karena ketidaksamaan penguasaan sumberdaya tersebut menyebabkan ikatan patron-klien terjalin. Isu kritis yang muncul umumnya terkait dengan hubungan yang bersifat eksploitatif. Kisah di Pasuruan, misalnya, patron dianggap mengeksploitasi nelayan karena menekan harga jual ikan nelayan.

Ketiga, isu ekonomi umumnya terkait aktivitas ekonomi masyarakatnya yang bergantung pada sumberdaya pesisir. Aktivitas ekonomi di desa pesisir mencakup perikanan (tangkap, budidaya, pengolahan), ekstraktif (pasir laut), pariwisata, industri garam, pelabuhan dan transportasi, dan perdagangan. 

Potensi sumberdaya tersebut seharusnya dapat mensejahterakan masyarakat pesisir, namun karena berbagai masalah masyarakat pesisir yang belum terselesaikan baik oleh pemangku kebijakan maupun oleh masyarakat sendiri sehingga pembangunan masyarakat pesisir belum menunjukkan keberpihakan pada pengembangan ekonomi berbasis sumberdaya pesisir dan lautan maka peluang tersebut masih belum berkembang.

Keempat,isu agraria.Persoalan penting yang menjadi penyebab kemiskinan tersebut adalah ketimpangan struktur agraria di desa pesisir. Isu agraria di desa pesisir dapat dibedakan antara isu agraria yang terjadi di desa pesisir yang berada di pulau besar (mainland), dan di desa pesisir yang berada di pulau kecil (small island).

Desa pesisir di pulau-pulau besar memiliki sejumlah isu-isu kritis baik di tanah maupun air. Pada sumber agraria tanah, isu yang muncul adalah tentang : (a) status lahan pemukiman, (b) pola penguasaan areal pertambakan, (c) pola penguasaan lahan untuk produksi garam, dan (d) mangrove. Permasalahan utama dalam isu tersebut adalah siapa yang dominan dalam penguasaan lahan-lahan tersebut. Masalah berikutnya adalah masalah reklamasi dan konflik spasial, umumnya juga terkait siapa yang diuntungkan di dalamnya. Sementara itu relokasi nelayan, terkait dengan adaptasi sosial-ekologis dari nelayan pendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun