Perjalanan berikutnya, kami menuju Monumen "Setya Bhakti" Sriwedari di belakang GOR Bhineka, dekat pasar kembang. Monumen ini berupa sebuah batu besar dengan patung garuda dan terdapat tulisan mengenang peristiwa 9 Agustus 1949 dengan deretan nama para korban pembantaian. Tampak banyak bunga tabur di monumen ini, menandai masih dikenangnya para korban.
Titik jelajah jejak sejarah selanjutnya, kami menuju Monumen Pasar Gading, berupa Prasasti "Kebhaktian Rakyat" yang diresmikan tahun 1987 untuk mengenang Peristiwa Empat Hari di Solo dengan Pejuang Kemanusiaan Palang Merah Indonesia (PMI) sebagai korban pembantaian pasukan Belanda.
Dari Monumen Pasar Gading, kami mengunjungi Rumah Pahlawan Nasional Brigjen Slamet Riyadi di daerah Jogosuran Serengan Solo. Rumah yang didominasi warna hijau itu tampak sederhana, dengan bangunan khas Jawa, terdapat foto-foto almarhum Brigjen Slamet Riyadi di dalamnya.
Saat ini, rumah tersebut ditinggali oleh kemenakan dari Brigjen Slamet Riyadi, yaitu ibu Siti yang seusia dengan kemerdekaan Indonesia, 77 tahun. Ibu Siti menyambut kami dengan ramah dan menceritakan kisah Brigjen Slamet Riyadi yang gugur di Ambon pada tahun 1950.
Selepas mengunjungi Rumah Brigjen Slamet Riyadi dan beristirahat sejenak di sana, kami menuju ke Monumen Panularan yang juga merupakan destinasi terakhir dari Jelajah Sejarah Peristiwa Empat Hari di Solo ini.Â
Monumen yang terdapat di halaman sebuah rumah kuno ini berupa prasasti yang menjadi tanda tempat perundingan pelaksanaan Cease Fire antara Letkol Slamet Riyadi dengan pihak Belanda pada tanggal 11 Agustus 1949 atas dasar perintah Presiden Soekarno.