Mohon tunggu...
Nawa Sri
Nawa Sri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Be Grateful to be ME...

Pembelajar, suka membaca dan sangat berminat untuk terus menulis. Tertarik dalam pengembangan diri, parenting, perencanaan keuangan serta gaya hidup sehat nan ramah lingkungan. https://nawasri.wordpress.com Email: ms.nawa@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Untuk Apa Memaafkan?

19 Juli 2015   14:55 Diperbarui: 19 Juli 2015   14:55 1099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih dalam suasana Lebaran…

Sudah menjadi tradisi bagi kita ketika menyambut hari raya, untuk bersilaturahmi dan saling bermaafan. Baik itu dengan keluarga, kerabat, saudara hingga teman. Berharap langkah kehidupan menjadi lebih ringan, hilang semua beban, bahkan meningkatkan persaudaraan.

Namun sudahkah kita benar-benar saling bermaafan? Hilangkah beban di hati?

Ya, bagi sebagian orang, memaafkan sepertinya begitu mudah. Tapi bagi sebagian yang lain, memaafkan hanya sekedar lisan belaka, hanya sebagai syarat sah berlebaran, belum sepenuh hati. Mengapa bisa begitu?

Mungkin di masa lalu ada seseorang yang telah menggoreskan luka di hati hingga meninggalkan rasa sakit yang begitu mendalam. Atau masih saja mengharap kata maaf dari seseorang yang tak kunjung datang.

Namun, sadarkah kita bahwa menyimpan luka di hati justru menyakiti diri sendiri?

Bahkan ada ungkapan yang mengatakan: “Holding onto anger is like drinking poison and expecting the other person to die.”

Ya, memelihara amarah ibarat menenggak racun lalu berharap orang lain yang akan tewas. Kedengarannya memang konyol, tapi seperti itulah kenyataannya.

Ketika kata maaf tak kunjung datang dan rasa amarah tak kunjung menghilang, bukankah semakin menimbulkan sakit di hati? Dan rasa sakit yang semakin menjadi tersebut justru bisa semakin meracuni diri. Bahkan tak menutup kemungkinan bisa pula menimbulkan derita fisik seperti rasa sakit di kepala, tekanan darah menjadi tidak stabil, penuaan dini pada kulit dan sebagainya.

Apalagi ketika seseorang yang menjadi sasaran amarah kita tersebut sepertinya sama sekali tak merasa bersalah pada kita, atau bahkan kelihatannya masih bisa menikmati kehidupan dengan begitu bahagianya. Seolah tak memedulikan perasaan kita. Hati tentu semakin merana, bukan?

Lalu kita harus bagaimana?

Ya, masih dalam suasana yang fitri ini, mari kita saling meringankan langkah kaki untuk move on, terus melangkah menuju masa depan yang lebih baik, melepaskan beban di hati dan belajar untuk memaafkan dari hati, berdamai dimulai dari diri sendiri.

Karena sesungguhnya, yang berhak mendapatkan kedamaian dari memaafkan itu justru bukan orang yang bersalah pada kita atau yang menjadi sasaran amarah kita, melainkan diri kita sendiri. Kita semua berhak untuk bahagia. Menjalani hidup dengan lebih damai dan positif.

Bahkan dalam ajaran agama apapun yang kita yakini, tentulah menganjurkan pada kita untuk bisa saling berdamai, saling memaafkan dan selalu rukun dengan sesama. Sehingga kita perlu belajar melapangkan pintu maaf.

Memaafkan tak selalu menandakan bahwa kita lemah, namun memaafkan akan semakin menguatkan pribadi kita. Kita bisa mengambil pelajaran dari semua hal yang telah terjadi untuk kemudian belajar melepaskan emosi negatif darinya sehingga kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dan yang terpenting adalah kita menjadi lebih berhati-hati dalam menapaki jalan hidup ke depannya.

Memaafkan juga bisa membebaskan kita dari penderitaan batin.

Setiap orang tentu pernah membuat kesalahan dalam hidupnya, termasuk kita pastinya. Jadi alangkah baiknya jika kita pun berdamai dengan diri sendiri kemudian fokus pada hal-hal positif dalam hidup kita. Tentu hidup akan terasa lebih menyenangkan.

Bahkan tak menutup kemungkinan, dengan melepaskan semua beban untuk memaafkan, keajaiban dalam hidup akan datang menghampiri. Kehidupan terasa semakin menakjubkan. Kita akan menjadi lebih sehat secara lahir batin, pikiran lebih jernih bahkan memiliki hubungan sosial yang semakin positif dan semakin menghadirkan kebahagiaan dalam hidup ini.

Ya, memaafkan…lebih karena kita menyayangi diri kita sendiri, menunjukkan bahwa kita lebih tangguh, sebagai salah satu ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas segala anugerah, hidup lebih positif dan menyenangkan, memiliki hubungan sosial yang semakin membawa kebahagiaan dan tentu saja masih banyak lagi alasan positif dari memaafkan yang lainnya.

Salam Damai, Mohon Maaf Lahir dan Batin…
Nawa Sri

Gambar: oprah.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun