“Senyam-senyum dari tadi.”
“Macam baru kemasukan setan si Fikri. Bisik Ijal kepada Randi.”
“Eehh Kanapa senyum-senyum terus ngana Fikri?” Tanya Randi ke Fikri.
Belum ia menjawab, keheningan itu pecah menjadi kegaduhan dengan teriakan dari Ijal.
“Ya Fikri jatuh cinta. Fikri jatuh cinta. Akhirnya say ape taman yang te’ laku –laku dia jatuh cinta juga eee.” Teriak Ijal.
“Sambarang, siapa yang bilang saya jatuh cinta.” Fikri menyangkal tuduhan kedua sahabatnya itu.
“Kon kanapa ngana senyum-senyum dari tadi.”
“Macam bagimana ee itu perasaan” hahahahaha Izal terus merayu fikri.
“Kan senyum bagian dari ibadah.”
Jadi torang harus selalu kase senyuman sama siapa saja. Marimo torang ba masak sekarang. So lapar saya dari tadi ini kasian.”
***
Ijal dan Randi sudah tertidur dan mungkin saja tengah menikmati mimpi indah mereka malam ini. Namun Fikri belum mampu untuk memejamkan matanya. Ada sesuatu yang tidak biasa terjadi pada dirinya. Ingatanya selalu terbayang kepada salah sosok wanita berjilbab hitam yang tadi meminjam korek api.
“Tapi siapa gerangan cewek tadi”
“Siapa namanya?”
“Dimana tempat tinggalnya dan ia sekolahnya dimana?” Gumam Fikri dalam hatinya.
“Aduh lupa. Kenapa tadi tidak ditanya saja.”
Ia terus melamun. Ingin menghampiri tenda cewek tadi. Namun Fikri tidak memiliki keberanian. Fikri mengambil secarik kertas dan pena. Ia lalu menulis seuntai puisi.
Siapa engkau?
Yang mengusik sepiku diam-diam
Hadir seperti matahari yang menghangatkan
Tapi sekaligus membakar
Ataukah engkau hanyalah bintang
Yang bisa kupandangi tanpa bisa kusentuh
Jika bisa
Ku harap engaku adalah air
Meski tak tergengam
Namun dapat menyejukan
Ia tidak mengetahui jam berapa terlelap. Namun ketika ia bangun waktu telah menunjukan 5.15 pagi. Ia langsung membangunkan kedua sahabatnya.
“Ijal, Ran bangun jo so subuh ini. torang sholat.”
Mereka bertiga langsung menuju ke sungai yang tidak jauh dari tenda mereka untuk mengambil air wudhu.
Usai shalat subuh, Ijal memasak air dan segera mungkin membuat sarapan untuk mereka bertiga.
***
Pagi yang begitu cerah. Sinar matahari menampakan cahayanya dibalik ranting dan dedunan. Air masih bergemuruh seperti biasanya. Terdengar indah siulan nyaring dari burung-burung. Namun sayangnya kecerahan, ketenangan dan keindahan pagi ini tak sama apa yang dirasakan oleh Fikri.
Saat mereka hendak berkunjung ke tenda wanita yang semalam datang meminjam korek api. Mereka tidak menjumpai siapa-siapa. Yang ada hanyalah bekas tungku dan bara sisa pembuatan api unggun. Rasa kekecawaan yang begitu besar. Setidaknya Fikri ingin berkenalan dengan wanita itu untuk mengurangi rasa penasarannya.
“Ya Allah kenapa hatiku menjadi rindu.”
“Astagfirullah hal adzim. Ya Allah ampunilah segala dosaku.” Pinta Fikri dalam hatinya.
Fikri dan kedua sahabatnya pun langsung menuju air terjun untuk merasakan sensasinya. Setelah beberapa jam merasakan indahnya batu tikar gunung w. Ketiga sahabat itu memutuskan untuk kembali ke kota. Mereka akhirnya tiba di kost Fikri pada pukul 14.00. Fikri, Rizal dan Randi beristrahat untuk menghilangkan penat.
***
BERSAMBUNG
Penulis : _NaWa_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H