"Ehem, lalu?"
"Aku tak mau munafik kawan! Ingatkah kau apa yang dikemukakan ulama Hasan Al Bashri? 'Sesungguhnya lidah orang mukmin berada dibelakang hatinya, apabila ingin berbicara tentang sesuatu maka dia merenungkan dengan hatinya terlebih dahulu, kemudian lidahnya menunaikannya. Sedangkan lidah orang munafik berada di depan hatinya, apabila menginginkan sesuatu maka dia mengutamakan lidahnya daripada memikirkan dulu dengan hatinya’..."
"Kau tahu teman, dakwah bagai keutamaan taqwa, sejatinya kau tak selalu mampu melihatnya"
"Maksudmu?"
"Yah,apa kau pikir saat seseorang berceramah di muka khalayak lantas kau sebut mereka berdakwah? Kau pun telah tahu jikalau mereka tidak melaksanakan apa yang mereka ucapkan, sama artinya mereka sedang berdusta, bukan?"
"kau benar kawan, 'Amat besar kebencian di sisi Allah, bahwa kau mengatakan apa yang tak kau laksanakan'..."
"Kau mendapatkannya..."
"Yah, dan aku semakin takut berdakwah, teman..."
"Hmmh, kau tahu teman, dakwah terbaik bukan melalui lisan. Melainkan tauladan..."
"Yah, tapi kau tahu kan, bagaimana remuknya akhlaqku sehari-hari? Sudah cukup cakapkah aku menjadi figur seorang tauladan? Akhlaqku bahkan bermil-mil jauhnya dibanding akhlaq ustadz di masjid..."
"Aku tidak meihat itu memberimu alasan untuk tidak terus menerus berusaha memperbaiki diri dari masa ke masa..."