Hari ini tepat tujuh puluh tiga tahun yang lalu bangsa kita melalui presiden Republik Indonesia pertama yaitu Bung Karno memproklamasikan kemerdekaannya. Menjadi merdeka bukan suatu usaha mudah, setidaknya tiga setengah abad bangsa ini dijajah secara fisik maupun kemerdekaan berfikir.
Masyarakat terbelenggu tirani penindasan dan hidup penuh tekanan. Namun setelah ihtiar panjang para pahlawan serta dengan rahmat Tuhan bangsa ini dianugerahi sebuah pencapian istimewa yaitu MERDEKA.
Pada perkembanganya cara kita sebagai bangsa untuk memaknai kemerdekaan berbeda-beda. Hampir tiap tahun di desa-desa maupun di perkotaan mengecat gapura, memasang umbul-umbul, mengadakan perlombaan hingga mengikuti upacara tujuh belasan menjadi tradisi yang melekat dalam merayakannya.
Apakah itu salah? tidak sama sekali. Namun di sisi lain harusnya kemerdekaan tidak hanya dirayakan secara ceremony namun juga melalui kebangkitan perdaban bangsa ini dalam aspek apapun.
Peradaban bangsa ini harus bangkit secara ekonomi, teknologi, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya, namun satu hal paling penting yang harus bangkit adalah peradaban moral. Bukan hanya industri hiburan saja yang telah menggerus moral bangsa, namun akrobat para elit politik yang harusnya menjadi suri tauladan serta hilangnnya karakter moral yang harusnya melekat pada tiap-tiap individu bangsa ini sebagai sebuah ciri budaya luhur.
Kecanggihan teknologi yang harusnya menjadi media untuk mencerdaskan bangsa justru menjadi alat utama dalam melaksanakan misi perpecahan. Kita dapat melihat bagimana sikap media mainstream tidak berupaya netral pada keberpihakan arus politik.
Sedangkan media sosial cenderung menjadi arena brutal dalam memproduksi berita-berita hoax. Jika hal ini terus terjadi bukan saja menimbulkan kegaduhan namun juga akan menghilangkan makna perdamaian sesama anak bangsa itu sendiri.
Generasi milenial akan menjadi korban dari edukasi bobrok sosial media yang akan mengikis nalar kritis tanpa melalui sebuah pendekatan metodologis yang jelas. Orang akan mudah mempercayai kabar serta meme yang bertebaran di linimasa tanpa paham bagaimana sebenarnya menimbang suatu berita yang didapatkan.
Lebih parahnya lagi produksi berita hoax serta meme yang kadang merendahkan orang lain menjadi santapan setiap saat yang hingga pada waktunya akan meledak dan menjadikan bom waktu hancurnya moral bangsa ini. Budaya menfitnah, mencaci, berbohong sudah ditebar di media sosial, asupan gizi buruk yang terus akan mencuci otak manusia yang membacanya.
Sebenarnya kita harus sadar bagaimana politik itu berjalan. Demokrasi tanpa politik bagai sayur tanpa garam, namun politik tanpa moral seperti memasak sayur dengan kuah oli motor bekas. Tidak layak dimakan bahkan akan membunuh yang memakannya. Seharusnya kitapun juga harus paham bahwa politik tak bisa didikotomikan.
Ada kalanya kita melihat seseorang berteman adakalanya mereka bermusuhan. Kita dapat melihat seorang Prabowo dahulu digandeng Megawati sebagai cawapres, Ahok-Jokowi di promotori Prabowo, Anies menjadi timses Jokowi, Mahfud menjadi timses Prabowo bahkan sang al ustad al mukharom Ali Ngabalin yang dahulu loyalis Prabowo kini hijrah ke kubu Jokowi.