Aku mengeratkan pelukanku pada Ibu. "Semoga Bapak cepet sadar ya, Bu. Kenapa Bapak bisa gini, Bu?"
Ibu menggeleng dan menjawab dengan terbata, "Ibu juga nggak tau, Nduk. Bapak kecelakaan tunggal, nggak ada CCTV juga di daerah kecelakaan Bapak. Cuma Bapak yang bisa jelasin, Nduk."
"Ya udah, Bu. Sekarang duduk dulu, kita berdoa sama Allah, semoga Bapak cepet sadar ya, Bu."
Mungkin, Ibu lelah karena menunggu Bapak, hingga beberapa menit setelah duduk dan bersandar padaku, beliau tertidur. Aku memandangnya dengan sendu. Ke mana hatiku sampai dengan teganya berbohong pada beliau? Aku adalah anak satu-satunya, harapan besarnya, dan dengan mudahnya aku menghancurkan harapan itu?
Ibu, maafin Diba. Air mataku kembali mengalir. Kucoba ambil tangannya yang sudah terlihat keriput, kugenggam dengan penuh rasa sesal. Apakah ini teguran dari Allah? Iya, benar. Sudah seharusnya aku berubah kembali menjadi lebih baik, keluar dari lingkar pertemananku yang menyesatkan.
Setiap kali berdoa, aku selalu menyalahkan lingkar pertemananku. Padahal, yang salah sepenuhnya adalah diriku sendiri yang sudah tahu bahwa mereka tidak baik, tetapi aku tidak melepas hal itu.
Ibu, aku janji akan berubah dan jadi harapan dan kebanggaan buat Ibu dan Bapak. Makasih atas doa dan perjuangan Ibu dan Bapak selama ini. Maafin segala perbuatan buruk Diba ya, Bu. Aku hanya bisa berucap dalam hati, karena terlalu takut jika harus mengakui secara langsung.
***
"Diba ...."
Bapak sudah sadar. Alhamdulillah. Aku tersenyum senang melihat Bapak. "Bapak ...." Aku mencoba memeluk Bapak, tetapi yang aku dapatkan justru penolakan. Kenapa?
"Bapak kecewa sama Diba."
Getaran jantungku rasanya berhenti. Perasaanku mendadak sesak, melihat Bapak dengan tatapan sayu itu. Kecewa? Apa yang membuat Bapak kecewa? "Bapak ... ada apa?"