Tutupan hutan di Tanah Papua dengan luas hutan mencapai 34 juta hektar  memiliki peran yang sangat penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Pengendalian deforestasi adalah suatu keharusan karena hampir sepertiga dari total luas hutan di Indonesia terletak di Papua. Deforestasi dan konversi lahan adalah penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia. Pemerintah telah berkomitmen dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen secara mandiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Bagi masyarakat adat Suku Awyu, hutan adalah 'rekening abadi' mereka. Hutan menyediakan ruang hidup yang memenuhi kebutuhan masyarakat Awyu dari generasi ke generasi. Namun, keberadaan hutan adat Suku Awyu kini terancam oleh izin usaha beberapa perusahaan sawit di Boven Digoel, Papua Selatan. Menurut Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia (1997) oleh Dr. Zulyani Hidayah, masyarakat adat Suku Awyu tersebar di beberapa desa di pesisir selatan Papua terutama di daerah aliran Sungai Digul. Mereka umumnya hidup sebagai peramu dan pemburu, tempat makanan utamanya adalah ikan dan udang yang ditangkap langsung dari sungai.Â
Masyarakat adat Awyu khawatir bahwa perusahaan sawit akan merusak lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Kerusakan ini tidak hanya mengancam hutan dan isinya, tetapi juga rawa-rawa dan sungai yang masih alami, yang merupakan sumber air utama bagi kehidupan sehari-hari mereka.
Hutan adat menjadi sumber pangan, obat-obatan, identitas sosial budaya, hingga mata pencaharian bagi masyarakat adat Awyu. Di hutan tersebut, masyarakat bisa berburu, mengambil bahan pangan dan obat-obatan dari tumbuh-tumbuhan yang ada di hutan diantaranya sagu, cawat, motu (tas adat dari kulit kayu), dan pelepah nibung. Masyarakat adat juga mencari kayu gaharu yang bisa dijual untuk mendapatkan uang.Â
"Saya menghidupi sembilan anak sendirian sejak suami saya meninggal tahun 2004. Hingga sekarang anak-anak sudah ada yang menjadi prajurit TNI, ada yang berkuliah di Jawa, ada yang sekarang masih bersekolah. Itu karena hasil hutan. Kami hanya berharap dari alam. Kami tidak bisa melakukan apa pun tanpa alam yang lestari," Â kata Antonia Noyagi.Â
Beribu-ribu cara dan langkah sudah dilakukan oleh masyarakat Adat Suku Awyu untuk mempertahankan lahan tempat tinggal sekaligus mata pencaharian utama mereka. Tetapi, banyak sekali ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat setempat dalam memperjuangkannya.Â
Hendrikus "Franky" Woro, seorang pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu, mengajukan gugatan terkait lingkungan hidup dan perubahan iklim ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura pada 13 Maret 2023. Franky menuntut agar pemerintah mencabut izin PT Indonesia Asiana Lestari (IAL) yang dalam analisis dampak lingkungannya (Amdal) tidak memperhatikan hak-hak masyarakat hukum adat, khususnya Suku Awyu. Katanya, pemberian izin bagi PT IAL untuk perkebunan sawit seluas 39.190 hektar telah dikeluarkan sejak tahun 2017, tetapi masyarakat tidak mengetahui sama sekali terkait pemberian izin bagi PT IAL.Â
Penerbitan izin kelayakan lingkungan hidup PT IAL diduga melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyusunan Amdal, dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.Â
"Potensi emisi karbon yang lepas jika deforestasi itu terjadi yakni setidaknya sebesar 23.08 juta ton CO2. Ini akan menyumbang lima persen dari tingkat emisi karbon pada 2030,"Â kata Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum masyarakat adat Suku Awyu.Â
Namun, pada 2 November 2023, majelis hakim PTUN Jayapura menolak gugatan yang diajukan oleh Hendrikus Woro. Keputusan ini merupakan kabar buruk bagi masyarakat adat Suku Awyu yang sedang berjuang mempertahankan hutan adat mereka dari ancaman perusahaan sawit.