Rohingya merupakan nama etnis atau kelompok yang mendiami daerah negara bagian Arakan/Rakhine sejak abad ke 7 Masehi. Arakan sendiri merupakan nama kerajaan yang sekarang menjadi daerah di perbatasan antara Myanmar dan Bangladesh. Versi lain menyebutkan asal kata Rohingya berasal dari kata "rohan" atau "rohang", sebuah nama kuno dari arakan.Â
Oleh sebab itu, orang yang mendiami daerah tersebut biasa disebut Rohingya. Nenek moyang etnis Rohingya berasal dari campuran bangsa Arab, Turk, Persian, Afghan, Bengali, Moors, Mughal, Pathans, Maghs, Chakmas, Dutch, Portuguese dan Indo-Mongoloid. Etnis Rohingya merupakan etnis minoritas muslim yang mendapatkan perhatian internasional dikarenakan adanya diskriminasi dan konflik berkepanjangan yang menimpa mereka.Â
Pada awalnya, setelah kemerdekaan negara Myanmar yang terjadi pada masa kepemimpinan jendral Aung San etnis Rohingya menduduki posisi penting pada pemerintahan, dengan dibuktikan adanya orang Rohingya yang menjadi menteri Myanmar pada tahun 1940-1950.Â
Namun setelah jendral Ne Win melakukan kudeta pada tahun 1962, dan pada saat itu Jendral Ne Win mengambil alih kepemimpinan negara yang menjadikan dirinya sebagai presiden, dan sistem politik di Myanmar diubah menjadi lebih otoriter. Selanjutnya pada tahun 1991 hingga sekarang, Myanmar mengahadapi konflik cukup serius, beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadi konflik ini, mulai dari pemerkosaan, diskriminasi warga minoritas, dan masalah entitas etnis.Â
Adanya perlakuan diskriminasi disebabkan oleh status mereka yang berbeda, yang mana mayoritas penduduk Myanmar merupakan pemeluk agama budha sedangkan Rohingya adalah minoritas muslim. Selain itu, akar masalah yang paling menonjol adalah legalitas etnis Rohingya di Myanmar.Â
Pemerintah Myanmar sendiri tidak memberikan status kewarganegaraan kepada Rohingya. Oleh sebab itu, etnis Rohingya tidak memilik akses untuk memperoleh pendidikan, kebebasan beragama, layanan kesehatan, dan pekerjaan.Â
Pemerintah Myanmar tak mengakui kewarganegaraan etnis Rohingya karena menganggap kelompok Muslim ini bukan merupakan kelompok etnis yang sudah ada di Myanmar sebelum kemerdekaan Myanmar. Hal itu ditegaskan kembali oleh Presiden Myanmar, Thein Sein pada tahun 2012, di mana Myanmar tidak mungkin memberikan kewarganegaraan kepada kelompok Rohingya yang dianggap imigran gelap dan pelintas batas dari Bangladesh.
Dikarenakan banyaknya diskriminasi yang diperoleh etnis Rohingya memaksa mereka mengungsi ke beberapa tempat, diantaranya Malaysia, Thailand, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk juga Indonesia. Dalam kurun waktu dua minggu, hampir 300.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh karena muncul laporan mencekam terkait terbunuhnya ratusan orang, termasuk anak-anak. Beberapa saat berikutnya, 700.000 warga Rohingya yang setengahnya adalah anak-anak melarikan diri dari Myanmar menuju Bangladesh.
Belakangan ini pengungsi Rohingya menjadi masalah serius yang dihadapi pemerintah Indonesia. Menurut Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi, UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) pada 2016, jumlah warga Rohingya yang mengungsi ke Indonesia ada sekitar 897 orang.Â
Setahun berikutnya jumlah tersebut meningkat menjadi 959 orang. Pada periode 2019, jumlah pengungsi Rohingya sudah menurun menjadi 582 orang, seiring dengan proses transisi demokrasi Myanmar. Namun jumlah tersebut semakin meningkat pada 2020 menjadi 921 orang seiring meningkatnya kekerasan di Myanmar yang berujung pada kudeta Myanmar pada 2021.Â
UNHCR juga mencatat sebanyak 7.117 pengungsi Rohingya mengikuti perjalanan melalui jalur laut dengan menggunakan 74 kapal sejak Januari 2022. Namun, hanya 5.817 yang tercatat selamat dalam pendaratan. Baru-baru ini sejak pertengahan tahun 2023 total pengungsi Rohingya yang mendarat di Indonesia tercatat sekitar 1.543 orang per 10 Desember 2023.
Indonesia memiliki sendiri memiliki hukum positif yang mengatur tentang penanganan pengungsi dari luar negeri. Menurut Pasal 3 Perpres 125/2016, penanganan pengungsi memperhatikan ketentuan internasional yang berlaku umum dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lalu, penanganan pengungsi dikoordinasikan oleh Menteri Polhukam, yang dilakukan dalam rangka perumusan kebijakan, meliputi:
penemuan;
penampungan;
pengamanan; dan
pengawasan keimigrasian.
Selain itu, Indonesia juga memiliki ketentuan yang mengatur tentang pemberian suaka dan pengungsi. Dalam Pasal 26 UU 37/1999 disebutkan bahwa pemberian suaka kepada orang asing dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional dan dengan memperhatikan hukum, kebiasaan, dan praktik internasional.
Sebagai anggota masyarakat global, tanggung jawab kita terhadap krisis pengungsi Rohingya melibatkan berbagai aspek. Pertama-tama, kita perlu mengambil peran aktif dalam meningkatkan kesadaran akan krisis ini, baik di tingkat lokal maupun internasional, dengan melakukan advokasi dan meminta dukungan dari pemerintah serta organisasi internasional.Â
Selain itu, memberikan bantuan kemanusiaan, baik berupa dukungan finansial maupun barang, kepada organisasi yang terlibat langsung dalam penanganan pengungsi Rohingya adalah langkah konkrit yang dapat diambil. Pendidikan dan penyebaran informasi yang akurat juga menjadi bagian penting dari peran kita, dengan tujuan meningkatkan pemahaman dan empati terhadap kondisi pengungsi.Â
Dukungan terhadap lembaga internasional dan partisipasi dalam penggalangan dana adalah langkah lain yang mendukung upaya global dalam menangani krisis ini. Melalui tindakan bersama, kita dapat memberikan dukungan moral, finansial, dan politis untuk memperjuangkan keadilan serta mencari solusi jangka panjang terhadap krisis pengungsi Rohingya.
Penanganan terkait pengungsi Rohingya memerlukan pendekatan komprehensif. Beberapa kebijakan yang bisa dipertimbangkan adalah:
1.Bantan Kemanusiaan: Memberikan bantuan kemanusiaan yang memadai seperti makanan, tempat tinggal, layanan kesehatan, dan pendidikan kepada pengungsi.
2.Perlindungan Hukum: Membuat kebijakan yang melindungi hak asasi manusia pengungsi Rohingya, termasuk akses ke kebutuhan dasar, perlindungan dari kekerasan, dan pemenuhan hak pendidikan.
3.Diplomasi Internasional: Mendorong diplomasi aktif di tingkat regional dan global untuk menyelesaikan konflik, serta mendukung dialog antar-pihak terkait untuk menemukan solusi jangka panjang.
4.Reintegrasi: Membantu pengungsi Rohingya yang ingin kembali ke tanah air mereka dengan menyediakan bantuan untuk reintegrasi ke masyarakat mereka.
5.Kerjasama Multilateral Melibatkan banyak pihak, seperti badan PBB, LSM, negara-negara terkait, dan masyarakat internasional, untuk meningkatkan upaya penanganan krisis ini secara kolaboratif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H