Mohon tunggu...
Naura Zahrani Purti
Naura Zahrani Purti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran

A journalist student who like anime and history!

Selanjutnya

Tutup

Bandung Pilihan

Hidup sebagai ODHA: Antara Stigma, Diskriminasi, dan Harapan di Kota Bandung

12 Desember 2024   14:01 Diperbarui: 12 Desember 2024   14:01 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana rasanya hidup seperti hantu di tengah keramaian? ODHA sering merasa demikian. Terlihat, tapi tidak dihiraukan. Ada, tapi diabaikan. Di tengah stigma diskriminasi yang membelenggu, mereka harus terus berjuang untuk hidup tanpa bayang-bayang ketakutan.

Berdasarkan survei UNAIDS tahun 2023, diperkirakan sekitar 570 ribu orang di Indonesia mengidap HIV. Sementara itu, Perwakilan Pengelola Program Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), Tuti Sugiarti, melaporkan bahwa hingga akhir tahun 2023, terdapat 6.128 orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang terdata memiliki KTP Kota Bandung.

"...dari tahun 1991, ketika kasus pertama HIV terdeteksi, hingga Desember 2023, tercatat ada 6.128 ODHA dengan KTP Kota Bandung...," 

jelas Tuti ketika ditemui di kantor KPA Bandung pada Kamis (14/11) siang lalu. 

Data dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) menunjukkan bahwa dari tahun 1991 hingga 2023, kelompok usia 20-29 tahun menjadi kelompok usia yang paling rentan, dengan kontribusi sebesar 44,97% terhadap total kasus. Sementara itu, survei UNAIDS (2023) melaporkan penurunan persentase kasus infeksi HIV di Indonesia sejak tahun 2010. Namun, ironisnya, angka kematian akibat AIDS justru meningkat sebesar 85% dalam periode yang sama.

Oleh karena itu, upaya penanggulangan dan pengendalian penyebaran HIV/AIDS menjadi sangat krusial. Sayangnya, upaya ini terkendala oleh stigma negatif dan diskriminasi terhadap ODHA. Dilansir dari antaranews.com, banyak masyarakat enggan berdekatan dengan ODHA, menolak menggunakan toilet bersama, berada di ruangan yang sama, atau sekadar berbincang dengan pengidap HIV/AIDS karena takut akan penularan. Diskriminasi semacam ini terjadi di berbagai lingkungan, termasuk tempat kerja, keluarga, hingga layanan kesehatan.

Hidup Sebagai ODHA di Kota Bandung

Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA juga marak terjadi di Kota Bandung, seperti yang diungkapkan oleh Arif Gunawan, Program Manager Female Plus, dalam wawancara bersama kami pada Jumat (11/10).  Female Plus sendiri merupakan salah satu LSM yang bergerak di bidang penanggulangan HIV/AIDS di Kota Bandung. Berdasarkan wawancara tersebut, diketahui bahwa diskriminasi terhadap ODHA terjadi di berbagai aspek kehidupan sosial mereka. 

Arif menjabarkan bahwa diskriminasi terhadap ODHA terjadi secara meluas, mulai dari lingkungan kerja, keluarga, hingga akses terhadap layanan kesehatan. Di dunia kerja, ODHA seringkali menjadi sasaran perlakuan tidak adil, seperti dibuat tidak nyaman hingga akhirnya resign secara pribadi. Bahkan ada kasus di mana ODHA langsung dipecat begitu status positifnya diketahui melalui tes massal di tempat kerjanya. 

Ironisnya, lingkungan keluarga yang seharusnya menjadi tempat perlindungan justru menjadi sumber stigma dan diskriminasi juga bagi banyak ODHA. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang HIV/AIDS menyebabkan keluarga seringkali merespons dengan penolakan dan pengucilan. Hal ini tercermin dari pengalaman Bibih dan Rian (nama samaran), dua orang ODHA yang kami wawancarai pada Kamis (5/12). Keduanya masih enggan untuk mengungkapkan status mereka kepada keluarga karena takut akan reaksi negatif dari keluarga mereka.

Diskriminasi yang paling mencolok terjadi dalam sektor kesehatan, di mana ODHA yang seharusnya mendapatkan perhatian khusus karena kondisi kesehatan mereka yang rentan malah cenderung diabaikan. Contohnya, ibu hamil dengan HIV yang seharusnya melahirkan secara caesar justru dipaksa melahirkan normal. Bibih (23) dan Rian (23) juga mengalami diskriminasi dalam mengakses layanan kesehatan.

"... tenaga kesehatannya, dokternya itu kurang ramah dan suka meninggikan suaranya ke pasien ODHIV. Kurang di welcome (diterima) lah kesannya," jelas Rian.

Di luar itu, stigma negatif juga disematkan pada mereka hanya karena fakta bahwa kelompok yang paling rentan terinfeksi adalah yang cenderung melenceng dari norma masyarakat, seperti pekerja seks atau pecandu narkoba. Padahal tidak semua pengidap HIV tertular karena melakukan hal-hal tersebut. 

Tuti mengatakan bahwa stigma yang muncul dalam masyarakat inilah yang pada akhirnya mendorong ODHA untuk melakukan self stigma. Berdasarkan wawancara kami dengan Bibih dan Rian, keduanya menyatakan bahwa dengan terinfeksi HIV saja, itu sudah membuat mental mereka terguncang. Mereka jadi lebih sering menyendiri, menghindari kontak sosial, bahkan sampai berpikir untuk mengakhiri hidup, walaupun pada akhirnya dapat kembali lebih terbuka dengan support system yang dimiliki.

"Mungkin ada (kecenderungan untuk mengakhiri hidup), sekelebat, kayak gambaran mungkin ini akhir hidup aku, mungkin perjalanannya sudah sampai sini. Cuman karena support system yang saya punya mendukung untuk berjuang, jadi hanya sekelibat aja pikiran-pikiran itu," jelas Bibih.

Self stigma yang terjadi semakin mengkhawatirkan ketika itu sampai membuat ODHA enggan melakukan pengobatan atau bahkan memutuskan untuk menghentikan pengobatan yang telah mereka jalani sebelumnya. Tuti menjelaskan bahwa hal tersebut dapat berakibat fatal dan mempercepat penurunan kondisi kesehatan mereka. 

"Masalahnya adalah kalau dia tiba-tiba merasa terancam nih kalau minum obat di komunitasnya, nanti akhirnya dia menghentikan sendiri pengobatannya. Pertama dia bisa mendapatkan resistensi pengobatan, yang kedua dia bisa mendapatkan berbagai gejala penyakit karena akan masuk fase AIDS, " 

Sebaliknya, Tuti menyampaikan bahwa jika pengobatan tersebut dilakukan tanpa terputus, kemungkinan ODHA untuk menularkan HIV/IADS justru akan semakin menurun bahkan dapat menjadi tidak menular sama sekali, "Jadi kalau si ODHA itu sudah menggunakan ARV, minimal 1 tahun aja, dia itu tidak akan menularkan virusnya. Bahkan ke pasangannya (walau)  tanpa alat kontrasepsi,"

Berbicara tentang stigma dan diskriminasi yang terjadi, Arif berpendapat bahwa hal tersebut dapat terjadi karena masih kurangnya pemahaman masyarakat terkait HIV/AIDS. "Banyak juga yang kita lihat kalau secara pendidikan sudah setara S1-S3, secara ekonomi juga menengah ke atas, cuma pemahaman terhadap HIV/AIDS ini yang masih kurang, sehingga terjadi diskriminasi," ujarnya.

Arif berpendapat bahwa kurangnya campaign dan edukasi yang efektif tentang HIV/AIDS menjadi salah satu faktor utama penyebab meluasnya stigma dan diskriminasi. Ketika masyarakat tidak memiliki informasi yang benar dan akurat, mereka cenderung percaya pada mitos dan informasi yang salah, yang pada akhirnya mengarah pada tindakan diskriminasi terhadap ODHA.

Salah Kaprah Mengenai Penularan HIV

Ketidakpahaman tersebut utamanya terkait bagaimana HIV/AIDS dapat ditularkan. Ketakutan yang tidak berdasar ini telah memicu berbagai bentuk diskriminasi yang telah disebutkan sebelumnya. Padahal, setelah ditelusuri lebih lanjut, kami menemukan bahwa banyak situasi yang dianggap beresiko menularkan HIV/AIDS oleh masyarakat sebenarnya tidaklah demikian. 

Sumber: U.S. Center for Disease Control and Prevention (2024)
Sumber: U.S. Center for Disease Control and Prevention (2024)

Dalam sebuah artikel di situs web U.S. Centers for Disease Control and Prevention menjelaskan bahwa HIV/AIDS hanya dapat ditularkan melalui cairan tubuh tertentu. Cairan-cairan tersebut adalah sperma, cairan dari vagina atau rektum, darah, dan cairan pra-ejakulasi. Cairan ini harus berkontak langsung dengan membran mukus, jaringan yang rusak (misalnya luka terbuka), atau disuntikkan langsung ke dalam aliran darah (melalui jarum suntik) untuk kemudian dapat berpindah dari satu tubuh ke tubuh lain. Di luar itu, HIV/AIDS juga dapat diturunkan dari Ibu ke bayi pada saat kehamilan, kelahiran, atau menyusui (dari ASI yang berasal dari darah). Ini dinamakan penularan perinatal.

Sumber: U.S. Center for Disease Control and Prevention (2024)
Sumber: U.S. Center for Disease Control and Prevention (2024)

Artikel yang sama juga memuat informasi terkait kegiatan apa saja yang tidak dapat menularkan HIV/AIDS. Dengan memperhatikan infografis di atas, tentu saja kita dapat mengetahui bahwa ketakutan masyarakat akan penularan HIV/AIDS yang kemudian membuat mereka membatasi interaksi dengan ODHA merupakan sebuah ketakutan yang tidak berdasar. 

HIV/AIDS tidak dapat menular melalui aktivitas yang tidak melibatkan kontak dengan cairan tubuh yang telah disebutkan sebelumnya. Ini disebabkan oleh ketidakmampuan HIV/AIDS untuk bertahan hidup terlalu lama di luar tubuh manusia, apalagi untuk bereproduksi. Ketakutan masyarakat tersebut pada akhirnya malah membuat ODHA harus kehilangan sebagian haknya dalam berbagai aspek kehidupan sosial akibat pembatasan interaksi yang dilakukan terhadap mereka. 

Upaya yang Dilakukan Pemerintah dan LSM

Dalam upaya menanggulangi permasalahan tersebut, lembaga--lembaga seperti KPA dan LSM lain yang bergerak di bidang yang sama telah melaksanakan berbagai program. Tuti menjelaskan bahwa KPA memiliki program-program yang dirancang untuk melakukan pencegahan penularan HIV dalam berbagai lingkup melalui kerja sama dengan lembaga terkait untuk melakukan edukasi, memberikan dukungan bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), serta memberdayakan masyarakat, termasuk ODHA itu sendiri.

Melalui kombinasi program, advokasi, dan pemberdayaan masyarakat, KPA terus berupaya menekan penyebaran HIV sekaligus menciptakan lingkungan yang inklusif bagi ODHA. "...kami ingin ODHA memahami bahwa mereka tetap bisa hidup produktif dengan pengobatan ARV...," tambahnya.

Sementara itu, Female Plus sebagai LSM memiliki program yang lebih berfokus pada pendampingan terhadap ODHA, baik dari segi psikososial, pengobatan, maupun advokasi. Bersama dengan KPA dan LSM lainnya yang bergerak di bidang yang sama, Female Plus juga turut berkontribusi dalam layanan  Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan (PDP) HIV/AIDS pada Puskesmas atau RSUD di Jawa Barat.

"Female Plus berfokus pada pendampingan dan pelayanan bagi mereka yang memang sudah terbukti dan terdiagnosis secara medis bahwa mereka mengidap HIV/AIDS. Cakupannya adalah wilayah Jawa Barat," jelas Arief. 

Pada praktiknya, walaupun stigma dan diskriminasi tersebut masih belum dapat dihilangkan sepenuhnya, upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah (melalui KPA) dan LSM lainnya telah mampu membantu para ODHA dalam melakukan pengobatan. 

"Untuk dampaknya udah lumayan kerasa sih. Contohnya tenaga kesehatan yang diskriminasi aku sebelumnya udah mulai baik ke aku. Mungkin ini karena dari lembaga-lembaga terkait sudah melakukan penyuluhan untuk menghindari stigma dan diskriminasi di tenaga kesehatan. Jadi aku sudah mulai nyaman untuk konsul bersama beliau. Bahkan saat aku lagi kekurangan materi untuk biaya pengobatan, beliau mau membantu," ucap Rian.

Harapan dari Para ODHA

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pengobatan yang rutin dan berkelanjutan tidak hanya meningkatkan kualitas hidup ODHA, tetapi juga secara signifikan mengurangi resiko penularan HIV/AIDS kepada orang lain. Sayangnya, banyak ODHA enggan menjalani pengobatan karena takut akan stigma dan diskriminasi yang mungkin mereka hadapi. Untuk itu, upaya-upaya yang berkelanjutan diperlukan untuk mengurangi stigma dan diskriminasi, meningkatkan kesadaran masyarakat, dan memastikan akses yang mudah terhadap pengobatan bagi semua ODHA. Dengan demikian, kita dapat mencapai tujuan untuk menekan angka kasus baru dan menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi orang dengan HIV/AIDS.

Harapan yang sama terkait upaya untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan stigma dan diskriminasi di masyarakat juga disampaikan oleh para ODHA. Mereka berharap edukasi untuk masyarakat umum dapat terus dilakukan untuk memberikan pemahaman yang benar terkait HIV/AIDS pada mereka.

"Diperkenalkan kembali penyakit ini seperti apa dan menyerang apa, lalu menyebarnya lewat apa. Harapannya untuk masyarakat bisa terbuka, karena hal ini perlu ditanggulangi bersama," 

ucap Bibih, mengakhiri wawancaranya dengan kami.

Melengkapi hal tersebut, Rian juga berharap agar tidak hanya stigma dan diskriminasi nya saja yang dihapuskan, tetapi juga biaya pengobatannya yang dibuat lebih terjangkau untuk para ODHA. "Dan biaya pengobatannya bisa diturunkan lagi, soalnya waktu itu biaya pengobatan naiknya cukup besar. Awalnya cuman Rp3000 sekarang jadi Rp15.000," jelasnya.

Pada kenyataannya, satu hal yang harus kita ketahui secara pasti, bahwa ODHA juga manusia, sama seperti seluruh anggota masyarakat lainnya. Status 'positif HIV/AIDS' seharusnya tidak merubah hak-hak yang harus mereka dapatkan. Segala bentuk stigma dan diskriminasi yang ada  tentu saja telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dari para ODHA, utamanya yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tepatnya di Pasal 3 Ayat (1) dan Ayat (3). 

Kedua pasal tersebut pada intinya menyebutkan bahwa setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat yang sama dan sederajat, serta berhak atas perlindungan HAM dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi. Atas alasan dan rujukan regulasi tersebut, maka pemenuhan hak-hak para ODHA HIV/AIDS yang terdiskriminasi turut menjadi tanggung jawab dari seluruh elemen masyarakat. Tidak boleh ada stigma maupun diskriminasi yang menghalangi mereka dari hak-hak tersebut.

Artikel ini ditulis oleh Ammara Nayla, Shilvia Yulianti, dan Naura Zahrani sebagai mahasiswa Program Studi Jurnalistik, Universitas Padjadjaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bandung Selengkapnya
Lihat Bandung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun