Mohon tunggu...
Naura Syafiya
Naura Syafiya Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

mahasiswa semester 7 jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Twin Deficit di Indonesia: Pembelajaran dari Era Orde Baru dan Reformasi

4 November 2024   10:17 Diperbarui: 17 November 2024   16:52 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Twin deficit di era Reformasi di Indonesia menjadi masalah yang kompleks dan berkelanjutan, di mana defisit anggaran dan defisit neraca berjalan terjadi secara bersamaan, terutama pada awal 2000-an. Setelah krisis ekonomi 1998, pemerintah berusaha untuk memulihkan perekonomian dengan meningkatkan belanja publik, tetapi ini sering kali tidak diimbangi oleh peningkatan pendapatan negara. Menurut data Bank Indonesia, pada tahun 2002, defisit anggaran pemerintah mencapai sekitar 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB), sementara defisit neraca berjalan tercatat sekitar 2,8% dari PDB. Hal ini menunjukkan ketergantungan yang signifikan pada utang luar negeri dan menimbulkan kekhawatiran tentang stabilitas ekonomi jangka panjang. 

Di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terutama di tahun-tahun pertama pemerintahannya, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil, namun defisit anggaran mulai muncul akibat peningkatan belanja publik untuk program-program pembangunan dan perlindungan sosial. Pada tahun 2008, defisit anggaran mencapai sekitar 1,6% dari PDB. Sementara itu, defisit neraca berjalan juga meningkat, dipicu oleh lonjakan impor barang dan bahan baku seiring dengan meningkatnya permintaan domestik. Menurut data Bank Indonesia, pada tahun 2011, defisit neraca berjalan tercatat sekitar 2,7% dari PDB, yang menunjukkan tantangan dalam menjaga keseimbangan perdagangan.

Memasuki era Jokowi, fokus pada infrastruktur menjadi prioritas utama, dengan harapan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Namun, ambisi ini juga berdampak pada defisit anggaran, yang diharapkan meningkat untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur. Pada tahun 2015, defisit anggaran mencapai sekitar 2,5% dari PDB. Defisit neraca berjalan pun tetap menjadi isu, dengan tekanan dari meningkatnya impor untuk kebutuhan pembangunan. Pada tahun 2016, defisit neraca berjalan tercatat sekitar 1,8% dari PDB. Meskipun demikian, kebijakan Jokowi yang lebih pro-investasi dan fokus pada pengembangan industri diharapkan dapat memperbaiki neraca perdagangan dan mengurangi ketergantungan pada impor dalam jangka panjang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun