Perekonomian yang mengalami defisit fiskal dan defisit neraca pembayaran sering disebut sebagai “defisit kembar” atau twin deficit. Artinya, pendapatan pemerintah lebih rendah dibandingkan pengeluaran pemerintah dan harga impor suatu negara lebih besar dibandingkan pendapatan ekspornya.
Defisit fiskal (anggaran) terjadi ketika pengeluaran suatu negara melebihi pendapatannya. Secara intuitif, defisit fiskal sepertinya bukan hal yang baik. Namun para ekonom Keynesian berpendapat bahwa defisit tidak selalu berbahaya, dan pembelanjaan defisit dapat menjadi alat yang berguna untuk menghidupkan kembali perekonomian yang terhenti. Ketika suatu negara mengalami resesi, defisit belanja infrastruktur dan proyek-proyek besar lainnya dapat berkontribusi terhadap permintaan agregat. Pekerja yang dipekerjakan untuk proyek tersebut menghabiskan uang mereka, mendorong perekonomian dan meningkatkan keuntungan perusahaan.
Pemerintah seringkali mendanai defisit fiskal dengan menerbitkan obligasi. Investor membeli obligasi, yang pada dasarnya meminjamkan uang kepada pemerintah dan mendapatkan bunga atas pinjaman tersebut. Ketika pemerintah melunasi utangnya, pokok investor dikembalikan. Memberikan pinjaman kepada pemerintah yang stabil sering kali dipandang sebagai investasi yang aman. Pemerintah pada umumnya dapat diandalkan untuk melunasi utangnya karena kemampuan mereka memungut pajak memberikan mereka cara yang dapat diandalkan untuk menghasilkan pendapatan.
Defisit neraca pembayaran adalah kondisi ketika nilai impor lebih besar daripada nilai ekspor, yang mengindikasikan bahwa suatu negara menghabiskan lebih banyak uang untuk membeli barang dan jasa dari negara lain dibandingkan dengan yang dihasilkan dan dijual ke luar negeri. Hal ini dapat menyebabkan tekanan pada nilai tukar mata uang, mengurangi cadangan devisa, dan mempengaruhi stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Selain itu, defisit yang berkelanjutan dapat mencerminkan ketergantungan pada produk luar negeri dan mengindikasikan perlunya peningkatan daya saing industri domestik.
Fenomena twin deficit pernah melanda di beberapa negara termasuk di Indonesia, yaitu pada era Orde Baru dan Reformasi, yang ditandai oleh defisit anggaran pemerintah dan defisit neraca perdagangan secara bersamaan.
Twin Deficit di Era Orde Baru
Fenomena Twin Deficit pada era Suharto, khususnya di tahun 1990-an, terjadi ketika negara mengalami defisit anggaran dan defisit neraca berjalan sekaligus. Dalam periode ini, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan fiskal yang mendorong peningkatan belanja publik untuk pembangunan infrastruktur dan program sosial. Namun, belanja tersebut sering kali melebihi pendapatan yang diperoleh, sehingga menciptakan defisit anggaran. Sementara itu, peningkatan impor barang dan jasa, yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan ekspor yang memadai, menyebabkan neraca berjalan juga mengalami defisit. Bank Indonesia mencatat bahwa ketidakstabilan ekonomi global, termasuk krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998, memperburuk situasi ini, menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah dan meningkatnya utang luar negeri.
Kondisi ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara kebijakan fiskal dan neraca pembayaran, di mana defisit anggaran yang tinggi berkontribusi terhadap defisit neraca berjalan. Dalam upaya memperbaiki kondisi ekonomi, pemerintah saat itu mengadopsi berbagai kebijakan, termasuk reformasi struktural dan keterbukaan pasar. Namun, tantangan seperti korupsi, ketidakpastian politik, dan kurangnya daya saing industri domestik menjadi hambatan signifikan dalam proses pemulihan.
Di samping itu, fenomena twin deficit pada era tersebut juga mempengaruhi kepercayaan investor dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Ketidakpastian yang diakibatkan oleh defisit yang berkepanjangan menciptakan kekhawatiran di kalangan investor asing, yang berpotensi mengurangi aliran investasi langsung ke Indonesia. Misalnya, pada tahun 1997, defisit neraca berjalan mencapai sekitar 3,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB), sementara defisit anggaran pemerintah juga melonjak, mencapai lebih dari 2% dari PDB. Bank Indonesia berusaha untuk menstabilkan situasi ini dengan menerapkan kebijakan moneter yang lebih ketat, termasuk menaikkan suku bunga untuk menarik kembali modal yang keluar dan mengendalikan inflasi. Namun, langkah-langkah tersebut sering kali berdampak pada pertumbuhan ekonomi, yang semakin melambat; pada tahun 1998, PDB Indonesia menyusut hingga 13,1% akibat krisis yang melanda
Twin Deficit di Era Reformasi
Twin deficit di era Reformasi di Indonesia menjadi masalah yang kompleks dan berkelanjutan, di mana defisit anggaran dan defisit neraca berjalan terjadi secara bersamaan, terutama pada awal 2000-an. Setelah krisis ekonomi 1998, pemerintah berusaha untuk memulihkan perekonomian dengan meningkatkan belanja publik, tetapi ini sering kali tidak diimbangi oleh peningkatan pendapatan negara. Menurut data Bank Indonesia, pada tahun 2002, defisit anggaran pemerintah mencapai sekitar 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB), sementara defisit neraca berjalan tercatat sekitar 2,8% dari PDB. Hal ini menunjukkan ketergantungan yang signifikan pada utang luar negeri dan menimbulkan kekhawatiran tentang stabilitas ekonomi jangka panjang.
Di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terutama di tahun-tahun pertama pemerintahannya, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil, namun defisit anggaran mulai muncul akibat peningkatan belanja publik untuk program-program pembangunan dan perlindungan sosial. Pada tahun 2008, defisit anggaran mencapai sekitar 1,6% dari PDB. Sementara itu, defisit neraca berjalan juga meningkat, dipicu oleh lonjakan impor barang dan bahan baku seiring dengan meningkatnya permintaan domestik. Menurut data Bank Indonesia, pada tahun 2011, defisit neraca berjalan tercatat sekitar 2,7% dari PDB, yang menunjukkan tantangan dalam menjaga keseimbangan perdagangan.
Memasuki era Jokowi, fokus pada infrastruktur menjadi prioritas utama, dengan harapan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Namun, ambisi ini juga berdampak pada defisit anggaran, yang diharapkan meningkat untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur. Pada tahun 2015, defisit anggaran mencapai sekitar 2,5% dari PDB. Defisit neraca berjalan pun tetap menjadi isu, dengan tekanan dari meningkatnya impor untuk kebutuhan pembangunan. Pada tahun 2016, defisit neraca berjalan tercatat sekitar 1,8% dari PDB. Meskipun demikian, kebijakan Jokowi yang lebih pro-investasi dan fokus pada pengembangan industri diharapkan dapat memperbaiki neraca perdagangan dan mengurangi ketergantungan pada impor dalam jangka panjang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI