Mohon tunggu...
Naurah Husna
Naurah Husna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mmbaca, menulis, olahraga

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengapa Kita Harus Menghargai Kehidupan di Sini dan Sekarang: Surga dan Neraka sebagai Pendorong untuk Berbuat Baik

21 Januari 2025   07:06 Diperbarui: 21 Januari 2025   07:06 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuntutan pekerjaan yang semakin tinggi juga menjadi faktor besar dalam masalah ini. Dalam banyak kasus, pekerjaan telah menjadi pusat hidup bagi banyak orang. Ketersediaan pekerjaan yang fleksibel melalui teknologi juga membuat batas antara waktu pribadi dan pekerjaan menjadi semakin kabur. Meski terkesan efisien, situasi ini malah membuat kita terus-menerus terjebak dalam rutinitas kerja yang tak ada habisnya. Kita terjebak dalam pekerjaan yang menuntut kecepatan dan hasil instan, tanpa memberikan kesempatan untuk merenung dan menghargai nilai-nilai hidup yang lebih dalam. Ketika pekerjaan menjadi prioritas utama, sering kali kita kehilangan kesempatan untuk berhubungan dengan diri sendiri dan orang lain secara lebih bermakna.

Kehilangan Koneksi dengan Diri Sendiri

Kehilangan koneksi dengan diri sendiri menjadi salah satu tantangan terbesar dalam hidup modern. Ketika kita terus menerus tergoda oleh distraksi, baik itu dari pekerjaan atau media sosial, kita kehilangan ruang untuk introspeksi. Tanpa waktu untuk benar-benar mendengarkan diri kita sendiri, kita menjadi terasing dari suara hati yang sering kali memberi petunjuk tentang apa yang sebenarnya kita butuhkan. Ketidakmampuan untuk menghubungkan diri dengan perasaan atau kebutuhan internal kita menyebabkan kebingungannya arah hidup. Kita berlarian mengejar tujuan yang tidak selalu sesuai dengan nilai-nilai atau keinginan sejati kita, sehingga hidup terasa hampa dan tidak memuaskan.

Kondisi ini semakin memperburuk cara kita berinteraksi dengan orang lain. Ketika kita tidak mengenal diri kita dengan baik, kita sering kali terjebak dalam perilaku yang lebih egois, terfokus hanya pada kebutuhan pribadi dan pencapaian individual. Tanpa adanya pemahaman diri, kita cenderung memperlakukan hubungan dengan orang lain sebagai alat untuk memenuhi kepentingan kita, bukan sebagai bentuk berbagi kasih dan perhatian yang tulus. Hal ini menyebabkan keterasingan dalam hubungan interpersonal, yang seharusnya menjadi sumber kebahagiaan dan kenyamanan. Dalam jangka panjang, ketidakmampuan untuk membangun hubungan yang sehat ini merusak kesejahteraan emosional kita.

Selain itu, kehilangan koneksi dengan diri sendiri menghalangi kita untuk merasa terhubung dengan dunia sekitar. Ketika kita terlalu fokus pada hal-hal luar yang seringkali bersifat sementara, kita gagal menghargai kehidupan dalam bentuk yang lebih sederhana dan alami. Kita menjadi kurang peka terhadap lingkungan sekitar, kurang peduli pada kondisi sosial dan lingkungan yang membutuhkan perhatian kita. Padahal, memperhatikan dan merawat dunia sekitar adalah bagian dari proses menemukan makna hidup yang lebih dalam. Tanpa koneksi yang kuat dengan diri kita sendiri, kita terjebak dalam rutinitas yang tidak membawa kita pada pertumbuhan yang bermakna.

Untuk menghargai kehidupan dengan cara yang sejati, kita harus menemukan kembali hubungan yang dalam dengan diri kita sendiri (Wood, 2024). Hanya dengan mengenal dan menerima diri, kita bisa menemukan tujuan hidup yang lebih jelas dan memuaskan. Dalam keadaan ini, kita bisa melihat dunia dengan cara yang lebih penuh empati dan rasa syukur, serta membangun hubungan yang lebih kuat dengan orang lain. Koneksi yang sehat dengan diri sendiri memungkinkan kita untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna, penuh dengan perhatian, kasih sayang, dan kepedulian terhadap sesama. Tanpa hal ini, kita terus terjebak dalam siklus kehidupan yang terasa kosong, tanpa arah yang jelas.

Tantangan untuk Tetap Berempati

Di tengah arus informasi yang begitu deras dan persaingan hidup yang semakin intens, kita sering kali kehilangan perspektif tentang pentingnya empati. Fokus utama kita sering kali tercurah pada pencapaian pribadi dan kesuksesan yang bersifat individualistis, sehingga kita lupa untuk memikirkan kebutuhan dan perasaan orang lain. Media sosial yang dirancang untuk berbagi cerita, sering kali justru menciptakan jarak emosional antara kita dengan mereka yang sedang mengalami kesulitan. Alih-alih memberi dukungan, kita malah sibuk mengejar perhatian dan validasi diri, tanpa menyadari bahwa empati adalah jembatan yang seharusnya menghubungkan kita satu sama lain.

Dalam dunia yang serba cepat ini, rasa empati pun seringkali terpinggirkan. Ketika kita terjebak dalam rutinitas yang tidak ada habisnya, kita menjadi lebih terfokus pada urusan pribadi dan pekerjaan, sehingga kita tidak lagi peka terhadap penderitaan orang lain. Kita mulai melihat dunia melalui lensa yang sangat sempit, hanya menilai dari apa yang kita miliki dan apa yang kita inginkan, tanpa menyadari bahwa banyak orang di sekitar kita yang sedang berjuang dalam diam. Kondisi ini berbahaya karena tanpa empati, kita akan kesulitan membangun hubungan yang sehat dan saling mendukung, yang seharusnya menjadi dasar bagi masyarakat yang sejahtera.

Kurangnya empati juga mengarah pada ketidakpedulian terhadap masalah sosial yang lebih besar. Ketika kita terfokus pada dunia pribadi kita sendiri, kita sering kali mengabaikan ketidakadilan, kemiskinan, atau ketimpangan yang ada di sekitar kita (Fitriani et al., 2024). Akibatnya, kita tidak berkontribusi untuk perubahan positif yang dibutuhkan dunia ini. Padahal, melalui empati, kita bisa mulai merasakan penderitaan orang lain dan merasa terdorong untuk ikut berperan dalam memperbaiki keadaan. Tanpa rasa empati, kita tidak hanya kehilangan hubungan yang lebih dalam dengan orang lain, tetapi juga menjadi bagian dari sistem yang terus mempertahankan ketidakadilan dan ketidaksetaraan.

Untuk dapat menghargai kehidupan dengan lebih bermakna, kita perlu mengembalikan empati dalam setiap aspek kehidupan kita. Memahami perasaan dan kebutuhan orang lain adalah langkah pertama untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Dengan empati, kita bisa memperbaiki hubungan yang renggang, memberikan dukungan emosional kepada mereka yang membutuhkan, dan bersama-sama berusaha menciptakan perubahan sosial yang positif. Empati tidak hanya memperkaya kualitas hidup kita, tetapi juga membuka jalan bagi terciptanya dunia yang lebih penuh kasih dan pengertian. Tanpa empati, kita akan terus terjebak dalam kesendirian dan ketidakpedulian, yang semakin menjauhkan kita dari makna kehidupan yang sejati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun