Mohon tunggu...
Secangkir Angan
Secangkir Angan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

it's me. i find my own way.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Layar

6 Desember 2012   05:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:06 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hai kamu…

Haruskah aku mendoakanmu selalu sedih agar kamu mengingat aku?

Karena aku memang hanya diingat ketika kamu sedih. Karena aku memang hanya dicari ketika kamu membutuhkan seseorang untuk mendengarkan. Karena aku memang hanya sebagai tempat pelampiasan yang akan kamu lupakan dalam sekejap ketika kamu sudah berada diatas.

Kamu tidak amnesia kan?

Tidak ingat siapa yang menasehatimu disaat kamu mulai menyerah dengan kehidupan ini?

Tidak ingat siapa yang menghiburmu disaat kamu membutuhkan tempat untuk tertawa?

Tidak ingat siapa yang siap membantumu berdiri kembali ketika kamu jatuh?

Tidak ingat siapa yang siap menahanmu agar kamu tidak jatuh lagi di bebatuan yang keras?

Tidak ingat siapa yang selalu menyemangatimu ketika kamu terpuruk?

Tidak ingatkah kamu akan semua itu? Jadi, tidak salah kan jika aku mendoakan agar kamu selalu sedih? Atau mungkin karena aku terlalu “berharga” sehingga kamu bisa secepat itu mengenyahkanku disaat kamu tidak membutuhkanku lagi?

Entah, tapi menatap matamu sudah menjadi hal yang kuhindari. Melihat sosokmu, menatap matamu, melihatmu tertawa, itu menyakitkan. Pada awalnya aku memang menyukai melihatmu kembali tersenyum, kembali tertawa dan melupakan masalahmu. Tapi jika itu sama dengan melupakan pengorbananku selama ini, maaf jika aku menganggapmu curang. Aku bukan tempat sampah dimana kamu bisa dengan seenaknya membuang segala penat dan kesemrawutan di otakmu.

Bukan berarti aku pamrih dengan segala yang telah aku lakukan, tetapi sifat egoisku sebagai manusia, berontak secara alamiah. Mungkin aku harus meredam segala perasaan berontak ini. Dan kamu anggap apa aku selama ini? Aku tidak akan rela jika kamu mengatakan teman, kamu selalu mencariku untuk menahanmu. Aku tidak akan rela jika kamu mengatakan sahabat, sahabat yang baik tidak akan melupakan sahabatnya disaat bahagia. Lalu apa? Aku juga tidak tau dan tidak mau tau.

Lihat saja,

Ketika kamu sedang bahagia, kita kembali seperti tidak saling mengenal. Mungkin memang lebih baik kamu bersedih saja terus dan sebelum kamu bahagia kembali, catat siapa yang selalu ada disaat kamu terpuruk.

Apa itu terlalu sulit? Tidak kan?

Yah, mungkin aku yang terlalu egois. Terlalu merindukan kebahagiaan hingga menginginkan kebahagiaan orang lain hilang.

Seharusnya aku ikhlas menjalani ini, bukankah seharusnya aku senang bisa membuat orang yang berharga bagiku bisa kembali tertawa dan meraih bahagianya? Walaupun aku hanya menjadi tokoh sampingan di ceritamu dan hanya bisa menikmati “keringatku” dari balik layar?

Tuhan, ajari aku tentang keikhlasan. Ajari aku tentang kesabaran, atau mungkin saat ini Tuhan sedang mengajariku tentang kehidupan. Atau mungkin aku sedang diingatkan jika Tuhan memiliki rencana yang lebih indah dan aku hanya perlu sabar menunggu?

Berbagai kemungkinan telah berkelebat dalam benakku. “Kapan aku bisa bahagia seperti dia atau dia atau dia??” adalah pertanyaan yang mendominasi di otakku kini. Tapi aku harus mengerti posisiku, siapa aku dan konsekuensi dari posisi yang telah aku lakoni.

Setidaknya aku harus tersenyum karena pernah menjadi bagian darimu dan pernah menjadi tokoh yang bisa membuatmu kembali tersenyum.

Selamat tinggal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun