Hai kamu…
Haruskah aku mendoakanmu selalu sedih agar kamu mengingat aku?
Karena aku memang hanya diingat ketika kamu sedih. Karena aku memang hanya dicari ketika kamu membutuhkan seseorang untuk mendengarkan. Karena aku memang hanya sebagai tempat pelampiasan yang akan kamu lupakan dalam sekejap ketika kamu sudah berada diatas.
Kamu tidak amnesia kan?
Tidak ingat siapa yang menasehatimu disaat kamu mulai menyerah dengan kehidupan ini?
Tidak ingat siapa yang menghiburmu disaat kamu membutuhkan tempat untuk tertawa?
Tidak ingat siapa yang siap membantumu berdiri kembali ketika kamu jatuh?
Tidak ingat siapa yang siap menahanmu agar kamu tidak jatuh lagi di bebatuan yang keras?
Tidak ingat siapa yang selalu menyemangatimu ketika kamu terpuruk?
Tidak ingatkah kamu akan semua itu? Jadi, tidak salah kan jika aku mendoakan agar kamu selalu sedih? Atau mungkin karena aku terlalu “berharga” sehingga kamu bisa secepat itu mengenyahkanku disaat kamu tidak membutuhkanku lagi?
Entah, tapi menatap matamu sudah menjadi hal yang kuhindari. Melihat sosokmu, menatap matamu, melihatmu tertawa, itu menyakitkan. Pada awalnya aku memang menyukai melihatmu kembali tersenyum, kembali tertawa dan melupakan masalahmu. Tapi jika itu sama dengan melupakan pengorbananku selama ini, maaf jika aku menganggapmu curang. Aku bukan tempat sampah dimana kamu bisa dengan seenaknya membuang segala penat dan kesemrawutan di otakmu.