Berdasarkan penelitian Clifford Geertz "Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa," Dalam kebudayaan Jawa, masyarakat terbagi menjadi tiga varian utama: Abangan, Santri, dan Priyayi. Masing-masing varian ini memiliki karakteristik yang unik dalam struktur sosial dan budaya Jawa.
Penelitian Geertz di Mojokuto ini memberikan gambaran bagaimana Islam diterima dan diintegrasikan ke dalam kehidupan masyarakat Jawa. Islam pertama kali masuk ke Jawa melalui pedagang dari Arab dan India pada abad ke-13.
Seiring waktu, Islam berkembang melalui pengaruh kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak dan Mataram. Varian Santri muncul sebagai kelompok yang sangat taat dalam menjalankan ajaran Islam, berbeda dengan kaum Abangan yang lebih syncretic dan Priyayi yang cenderung aristokratik.
Menurut Geertz, Santri adalah kelompok yang paling taat dalam menjalankan ajaran Islam. Mereka seringkali berperan sebagai pemimpin agama di komunitas mereka dan sangat terlibat dalam kegiatan keagamaan seperti pengajian, shalat berjamaah, dan dakwah. Kehidupan sehari-hari mereka sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam, dan mereka sering menjadi panutan dalam hal moral dan etika.
Santri versus Abangan
Terdapat perbedaan utama antara Santri dan Abangan adalah dalam cara mereka mempraktikkan agama. Santri lebih mementingkan pelaksanaan syariat Islam secara ketat, sementara Abangan lebih cenderung menggabungkan unsur-unsur kepercayaan tradisional Jawa dengan Islam.
Geertz menjelaskan bahwa bagi Santri, mengikuti ajaran Islam secara ketat adalah bagian penting dari identitas mereka. Mereka cenderung menghindari praktik-praktik yang dianggap bid'ah atau tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni.
Konflik antara Santri dan Abangan sering kali muncul karena perbedaan pandangan ini. Namun, disisi lain, perbedaan ini juga menciptakan dinamika yang menarik dalam kehidupan sosial dan budaya Jawa. Santri sering kali dianggap sebagai pembawa pembaharuan dan modernisasi dalam masyarakat, sementara Abangan dianggap lebih konservatif dan tradisional.
Pada dasarnya, konflik antara santri dan abangan berakar dari perbedaan ideologis yang mendalam. Kaum santri dikenal sebagai kelompok yang sangat religius dan berpegang teguh pada ajaran Islam. Mereka cenderung mempraktikkan agama secara ketat dan teratur, serta seringkali menganggap diri mereka lebih suci dibandingkan dengan kelompok lain.
Di sisi lain, kaum abangan adalah kelompok yang lebih longgar dalam praktik beragama. Mereka cenderung menggabungkan ajaran Islam dengan praktik-praktik lokal dan kepercayaan tradisional seperti animisme dan Hinduisme.
Kaum abangan memiliki pandangan negatif terhadap kaum santri. Mereka menganggap kaum santri sebagai kelompok yang "sok suci" dan munafik. Dalam kehidupan sehari-hari, meskipun kaum santri menunjukkan simbol-simbol ketaatan beragama seperti mengenakan kerudung, kaum abangan merasa bahwa tindakan kaum santri tidak selalu sesuai dengan penampilan religius mereka.
Hal ini tercermin dalam pantun masyarakat abangan yang mengejek kaum santri: "mendung-mendung cap gomek, kudung-kudung digawe lemek.” Yang artinya, meskipun kaum santri sehari-hari mengenakan "kerudung" sebagai simbol ketaatan beragama, kenyataannya mereka juga terlibat dalam perbuatan mesum.
Sebaliknya, kaum santri juga memiliki pandangan negatif terhadap kaum abangan. Mereka menuduh kaum abangan sebagai penyembah berhala dan tidak menjalankan ajaran Islam dengan benar.
Santri juga menganggap bahwa kaum abangan tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang Islam dan lebih condong pada praktik-praktik yang tidak islami. Ketegangan ini sering kali memunculkan tuduhan-tuduhan yang keras dari kedua belah pihak, memperparah konflik di antara mereka.
Pola Ritual, Organisasi, dan Pendidikan Kaum Santri
Komunitas Santri memiliki pola organisasi yang cukup khas. Mereka biasanya terorganisir dalam kelompok-kelompok kecil yang dipimpin oleh seorang kyai atau ulama.
Kyai adalah tokoh sentral dalam komunitas Santri, yang tidak hanya berperan sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai pemimpin sosial dan moral. Kyai pada umumnya memiliki pesantren, yaitu lembaga pendidikan Islam tradisional dimana santri (murid) belajar tentang ajaran Islam.
Pesantren berperan dalam membentuk karakter dan pengetahuan Santri. Di pesantren, para santri diajarkan berbagai ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, dan tasawuf. Selain itu, mereka juga dilatih untuk menjadi pemimpin yang berakhlak mulia dan bertanggung jawab. Pesantren tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga menjadi pusat kegiatan sosial dan keagamaan di komunitas Santri.
Proses pembelajaran di pesantren biasanya bersifat informal dan berpusat pada hubungan antara kyai dan santri. Kyai memberikan pelajaran secara langsung kepada santri melalui pengajian atau ceramah. Santri diharapkan untuk mematuhi ajaran dan petunjuk kyai, serta mengamalkan ilmu yang mereka peroleh dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu keunikan dari sistem pendidikan di pesantren adalah adanya sistem sorogan dan bandongan. Sorogan adalah metode pembelajaran di mana santri belajar secara individu dengan membaca kitab di hadapan kyai dan menerima koreksi langsung. Sementara itu, bandongan adalah metode pembelajaran kelompok di mana kyai membacakan dan menjelaskan kitab di hadapan sejumlah santri.
Pola ritual Santri sangat kental dengan praktik-praktik Islam yang formal. Mereka menjalankan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadan, zakat, dan haji bagi yang mampu.
Selain itu, mereka juga sering mengadakan pengajian, majelis taklim, dan kegiatan keagamaan lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam. Dari sekian banyaknya ritual, yang menonjol di komunitas Santri adalah perayaan Maulid Nabi, Isra' Mi'raj, dan berbagai hari besar Islam lainnya.
Pada acara-acara ini, Santri biasanya mengadakan pengajian, ceramah agama, dan kegiatan sosial seperti santunan kepada fakir miskin. Kegiatan-kegiatan ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana ibadah, tetapi juga sebagai media untuk memperkuat ikatan sosial dan solidaritas antar anggota komunitas.
Referensi
Geertz, C. (2014). Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa. Komunitas Bambu.
Shonhaji. (2010). Agama: Konflik dan integrasi sosial (Agama Jawa dalam perspektif Clifford Geertz). Jurnal Al-Adyan, 5(1), 17-32.
Amrozi, S. R. (2021). Keberagamaan orang Jawa dalam pandangan Clifford Geertz dan Mark R. Woodward. Jurnal Fenomena, 20(1), 1-15.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H