Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Dimensi Manusia Dalam Perencanaan, Manusia Mana yang Merencanakan

28 Juni 2016   02:53 Diperbarui: 28 Juni 2016   03:04 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selayaknya kita ketahui, bahwa Indonesia banyak membutuhkan perencana. Sebuah perhitungan yang tadinya saya anggap konyol membuktikan ini: ada 34 provinsi di Indonesia, dengan 416 kabupaten dan 98 kota. Anggaplah setiap satuan wilayah tersebut memerlukan RTRW, berapa jumlah RTRW yang harusnya ada? Belum lagi RDTR, berapa banyak lagi RDTR yang harusnya dibuat? Jika kita kalkulasikan, maka jika satu kota atau kabupaten, atau bahkan provinsi memerlukan satu orang perencana, berapa jumlah perencana yang dibutuhkan Indonesia?

Masalahnya begini, jadi perencana itu tidak mudah: empat tahun kuliah di jenjang perguruan tinggi, plus sistem sertifikasi, belum lagi jika perlu kuliah lagi atau lanjut di luar negeri. Lucu rasanya, mengingat ketika negara ini membutuhkan banyak perencana, tapi untuk jadi perencana (apalagi yang handal dan kredibel) itu sulit.

Bagaimana negara begitu butuh perencana, bisa pula kita lihat melalui sistem peminatan untuk jurusan perencanaan wilayah dan kota di beberapa universitas, salah satunya di ITB. Ada pula pembukaan “cabang” jurusan PWK ITB di Cirebon. Tapi toh percuma rasanya, karena bagaimanapun mereka (baca: kita) ini akan melewati tantangan yang sama seperti yang dijelaskan di atas.

Jika “perencanaan” merupakan suatu hal yang penting untuk dimengerti, rasanya mungkin empat tahun kuliah tidak akan memberikan pemahaman soal hal ini. Entahlah, tapi tiga tahun kuliah belum membuat saya bisa mendefinisikan secara pasti makna dari kata yang diagungkan itu.

Beberapa waktu yang lalu, dalam rangka survey awal kuliah praktik, saya mengunjungi (untuk pertama kali) Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Bagi yang kurang familiar, di kecamatan inilah terletak Situ Cisanti. Daerah ini terletak sejauh 60 km dari Bandung, atau sekitar 2 jam menggunakan kendaraan bermotor.

Bersama seorang teman yang ternyata Ketua Himpunan, disana saya menghabiskan waktu di Desa Tarumajaya. Di desa ini terdapat sebuah perkumpulan pemuda lokal yang menamakan diri mereka “Institut Gunung Wayang” sesuai dengan letak desa tersebut yang berada di kaki Gunung Wayang. Banyak kegiatan bermanfaat yang mereka lakukan, seperti menjalankan sistem bank sampah kolektif, memproduksi pupuk organik secara mandiri, memproduksi panganan khas dari bahan susu dan teh, ataupun sekedar ngariung untuk berdiskusi membahas berbagai macam topik.

Kelompok ini terbentuk berkat pengembangan dari Perkumpulan Inisiatif, sebuah lembaga pengembangan kapasitas dan pendidikan kepemimpinan masyarakat yang berbasis di Kota Bandung. Sebagai salah satu asas pergerakannya, Institut Gunung Wayang diinisiasi sebagai wadah pengembangan kapasitas pemuda lokal. Selain berbagai kegiatan tersebut, terdapat sebuah kegiatan pendidikan yang pernah dilakukan beberapa waktu sebelumnya, yakni Sekolah Desa, yang pernah mengajarkan para pemuda disana tentang perencanaan tata ruang desa.

Segala cerita yang dihaturkan para tokoh yang kami temui, banyak membuat kami berdecak kagum. Salah satunya adalah Sekolah Desa tersebut. Saya pribadi merasa kecil dan kikuk berada di tengah-tengah mereka. Hampir 3 tahun saya mengenyam pendidikan planologi di kampus tercinta, tidak pernah terlintas pikiran soal membagi pengetahuan saya tentang tata ruang kepada pemuda disana (yang mudah-mudahan akan kami lakukan disana). Atau mungkin pernah — tapi saya tidak pernah benar-benar berpikir bahwa ternyata kegiatan semacam ini benar-benar dilakukan.

Yang membuat saya benar-benar berkontemplasi sampai tidak bisa tidur adalah, salah satunya tentang apakah untuk merencanakan tata ruang perlu perencana yang berkompetensi?

Melihat lingkup yang kecil, dalam hal ini “desa” atau bahkan hanya “dusun”, rasanya jika kita melakukan perhitungan seperti yang sudah kita lakukan di atas, maka entah berapa perencanan kompeten yang dibutuhkan untuk merencanakan tata ruang di seluruh “desa” atau “dusun” di negara ini. Mungkin jika pendidikan tinggi dan segala kebijakannya terus diarahkan untuk mencetak perencana sebanyak itu, jawabannya mungkin, tapi butuh waktu berapa lama?

Kita harus sama-sama sepakat bahwa desa berperan penting dalam konstelasi pembangunan yang lebih luas, misalnya dalam lingkup nasional. Desa memiliki posisi, potensi, dan peran yang penting dalam menggerakkan perekonomian wilayah dan nasional. Selain itu, jika kita bicara soal kearifan lokal (yang kadang diagung-agungkan), kita juga sama-sama sepakat bahwa ragam adat di Indonesia — setidaknya yang masih asli — bersemayam di balik kesederhanaan dan gaya hidup masyarakat desa.

Dengan perkembangan teknologi dan percepatan arus informasi, banyak polemik yang menghiasi pembangunan desa di era ini. Misalnya, pembangunan atau perbaikan jaringan jalan ataupun komunikasi yang menyebabkan arus barang, jasa, dan informasi menjadi sangat pesat, terutama antara desa dan kota. Hal ini meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui kesempatan dalam distribusi hasil tani, tetapi di satu sisi budaya kebersamaan dan gotong royong agaknya mulai hilang dengan masyarakat yang mulai mengenal teknologi seperti telepon seluler dan internet.

Hal-hal yang sebenarnya sulit untuk dikendalikan, menuntut desa untuk tetap tumbuh, namun tetap memegang nilai-nilai yang telah mengakar. Perencanaan pembangunan sangat berperan penting dalam hal ini, terutama sebagai fungsi “penyaring” di era globalisasi seperti sekarang ini. Meski monoton dalam urusan perekonomian (dengan umumnya bertumpu pada bidang pertanian), namun desa-desa Indonesia menjadi berbeda antara satu sama lain, karena seperti yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa kondisi budaya bahkan perpolitikan di tiap desa berbeda-beda isunya. Untuk itu, peran masyarakat dari desa itu sendiri sangat penting, bukan sebagai objek dari pembangunan, tapi sebagai subjek yang juga berpartisipasi dalam pembangunan desanya sendiri.

Tapi, kapasitas secara materi dan pengalaman, menjadi hambatan bagi masyarakat desa. Isu-isu pendidikan juga familiar di telinga kita jika mendengar kata “desa”: kurangnya fasilitas pendidikan dan tenaga pengajar, sampai anak-anak yang hanya bisa bersekolah sampai jenjang SMP. Saya melihat hal ini juga menjadi sebab adanya ketimpangan awareness dan knowledge dalam pembangunan yang kental terjadi, terutama antara aparat pemerintahan setempat dengan masyarakatnya. Sehingga, konsentrasi kekuasaan dan wewenang dalam menjalankan pembangunan menjadi sangat terpusat di antara aparat pemerintahan saja. Padahal, sebagai bagian dari desa, masyarakatlah yang seharusnya memiliki lebih banyak kontribusi dalam pembangunan.

Tidak hanya di pedesaan, kurangnya pemahaman tentang perencanaan juga terjadi di kota. Dengan masyarakat yang lebih heterogen, dengan kelas-kelas yang terbagi secara lebih kompleks, akumulasi pengetahuan juga terjadi di antara para pemangku kekuasaan saja. Sibuknya individu-individu di kota menjadikan mereka (atau juga kita) tidak sempat memikirkan soal pembangunan kota kita sendiri, bahkan tidak jarang kita tidak peduli dengan kondisi lingkungan rumah kita masing-masing.

Pembangunan yang semakin semena-mena terus merajalela. Bangunan-bangunan tinggi terus bermunculan, dimana di bawahnya masih banyak orang-orang yang memikirkan besok harus makan apa, sahur makan apa, apakah hasil jualan hari ini cukup untuk membeli takjil atau tidak. Anak-anak putus sekolah bermain di pinggiran rel sambil sesekali meghirup kantong plastik dengan isinya lem yang mengering, sedang ibu-ibu terus mengeluh masalah air yang makin susah mengucur dari keran, sampai-sampai harus berjalan jauh ke WC umum untuk mandi, cuci, dan kakus.

Ketimpangan dalam urusan pembangunan tidak seharusnya hanya menjadi tontonan. Seluruh lapisan masyarakat seharusnya menjadi aktor pembangunan. Tapi, lagi-lagi modal awal yang kita sama-sama lupakan: kesadaran dan lalu pengetahuan akan peran masyarakat dalam pembangunan.

Lagi-lagi kita berurusan dengan hak atas pembangunan. Selain menyangkut hak untuk “mendapatkan” dampak positif dari pembangunan, masyarakat juga memiliki hak untuk “berpartisipasi” atau “ikut serta” dalam proses pembangunan. Tapi apa masalahnya? Hak ini seolah-olah direnggut. Oleh siapa? Oleh orang-orang yang mengaku lebih berhak mengatur pembangunan, yang sebenarnya juga mengakui kalau pembangunan itu tidak serta-merta soal infrastruktur yang canggih ataupun pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga mengakui bahwa lagi-lagi pembangunan dilihat dari kesejahteraan masyarakatnya. Mungkin naif rasanya, tapi apa pula itu kesejahteraan masyarakat kalau masyarakatnya tidak diikutsertakan dalam memahami makna kesejahteraan itu sendiri?

Yang ingin saya ingatkan kepada kita semua adalah, perencanaan pembangunan bukan hanya milik kita yang sudah belajar saja, atau kita yang sudah berpengelaman. Perencanaan pembangunan adalah milik semua yang terlibat di dalamnya, termasuk alam. Mungkin tugas kita yang sudah belajar juga adalah, membagi pengetahuan dan teori yang sudah kita pelajari kepada mereka yang belum. Di beberapa daerah, apalagi di daerah yang terpencil dengan adat budaya yang masih mengakar, pembangunan bisa dibilang belum merata. Faktor pendidikan menjadi salah satu kuncinya, bahwa mereka yang tinggal disana masih belum bisa merasakan pendidikan yang sama, mungkin dengan masyarakat yang tinggal di kota-kota besar. Oleh karena itu, penting untuk para perencana pembangunan tidak hanya datang lalu membangun daerah tersebut, tetapi juga mengikutsertakan masyarakat dalam proses pembangunan, mulai dari pemetaan potensi dan masalah, serta penentuan tujuan, kebijakan, dan strategi pembangunan.

Tidak hanya konsep perencanaan partisipatif yang harus dieluh-eluhkan, tapi pendidikan pembangunan itu sendiri bagi masyarakatnya. Kedua hal tersebut bisa dilaksanakan secara paralel, dengan terlebih dahulu memperkenalkan model perencanaan pembangunan tertentu secara teoritis, lalu langsung melibatkan masyarakat dalam tahapan perencanaannya. Hal ini juga mendorong rasa kepemilikan atau sense of belonging dari masyarakat terhadap perencanaan pembangunan yang telah dilaksanakan. Alhasil, proses implementasi dan pengawasan juga tidak harus dilakukan oleh instansi pemerintahan, tapi juga oleh masyarakat itu sendiri.

Toh pada akhirnya, kita tidak perlu perencana profesional sebanyak itu. Perencana-perencana bisa lahir dari masyarakat yang bahkan tidak memiliki kesempatan untuk belajar di tingkat perguruan tinggi. Selain menjadi perencana profesional, mereka yang lahir dari jenjang yang lebih tinggi juga memiliki fungsi mendidik masyarakat, seperti yang telah diterangkan di atas.

Saya sangat senang, terkadang, menyamakan para planner sebagai jedi dalam Star Wars. Tugas para jedi adalah untuk membawa keseimbangan atau bring balance to the force. Jika kita sadar bahwa orang-orang yang telah menimba ilmu tinggi-tinggi lantas jadi “orang jahat”, seperti layaknya sith, maka harusnya para planner ini menumpas hal itu, lewat cara-cara yang baik. Mungkin dengan mengkader jedi muda yang berpotensi. Sehingga keseimbangan juga terjadi tidak hanya dalam lingkup jedi dan sith, tapi juga dalam lingkup pembangunan yang merata di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun