Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Menyusun Interaksi Manusia di Rumah Susun

10 Mei 2016   10:39 Diperbarui: 10 Mei 2016   12:34 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Vertical housing atau perumahan vertikal telah menjadi salah satu alternatif solusi yang saat ini gencar dicanangkan pemerintah daerah di Indonesia. Di Bandung sendiri saat ini, seperti dikutip dari kabar24.com April yang lalu, Pemkot Bandung merencanakan akan membangun 13 rusun baru di Bandung, yang dimulai dari Juli 2015 lalu. Di DKI Jakarta sendiri menurut data yang dilansir data.go.id, telah ada total 48 rumah susun yang terdaftar.

Dari sekian banyaknya jumlah rumah susun baik yang masih direncanakan sampai yang telah terbangun, apakah sebenarnya permasalahan perumahan di Indonesia telah teratasi? Apakah rusun yang ditinggali lantas sustain dan juga livable bagi penghuninya?

Indonesia dengan populasi lebih dari 250 juta jiwa mengalami fenomena urbanisasi yang luar biasa dalam beberapa dekade terakhir. Fenomena ini menyebabkan membludaknya permasalahan yang ada di kota-kota di Indonesia. Yang paling menjadi masalah mungkin adalah penyediaan kebutuhan dasar manusia, yakni papan atau tempat tinggal. Penyediaan perumahan rakyat bagi masyarakat berpendapatan rendah di Indonesia mengalami hambatan karena tingginya biaya beli ataupun sewa dari perumahan tersebut. Ironinya, solusi yang ditawarkan, diakibatkan dari masalah biaya tadi, malah memunculkan slum & squatter baru di mana-mana. (Sudarmo 1997; Tunas and Peresthu 2010).

Lantas apakah sebenarnya kebijakan untuk mengatasi permasalahan perumahan di Indonesia, termasuk rusun yang disediakan pemerintah, menemui titik buntu?

Aspek yang Terpinggirkan: Sosial dan Budaya
Seperti yang tertera dalam judul tulisan ini, hal yang membuat saya heran adalah salah satu hambatan vertical housing di Indonesia, yakni budaya. Hal ini saya dapat dari salah satu kuliah wajib yang saya ambil terkait perencanaan perkotaan tepatnya permasalahan perumahan di Indonesia. Seketika hal tersebut membuat saya bertanya-tanya: kalau memang budaya yang menjadi hambatan, berarti memang sulit untuk merubah budaya tersebut supaya solusi yang diambil menjadi efektif untuk diterapkan. Apakah begitu adanya?

Secara tidak sengaja saya menemukan sebuah tulisan terkait dengan mengapa seseorang atau pun kelompok masyarakat tidak bisa tinggal di high-rise building, tulisan ini dipublikasi dalam sebuah situs di dunia maya oleh Taz Loomans.

  1. Memisahkan penghuninya dari jalanan
What high-rise does is separate large numbers of people from the street, so we end up with a city that is detached from street life, we end up with a city that is based on enclaves and gated communities,” — Michael Buxton

Mungkin fenomena ini juga terjadi pada rusun atau pun apartemen yang ada di Indonesia. Hal ini seringkali dikuatkan dengan penyediaan fasilitas umum dan sosial yang tersedia juga di kompleks gedung tersebut. Pemenuhan kebutuhan dan aksesibilitas yang mudah menjadi poin positifnya. Tetapi efek yang lainnya adalah terbentuknya komunitas yang enclaved dan menyebabkan jaringan antar komunitas menjadi lemah. Hal ini tentunya berdampak pada keterbatasan pengembangan komunitas atau kelompok penghuni yang mendiami rusun atau apartemen tersebut.

Hal lainnya yang menarik adalah konsep yang dikemukakan Jan Gehl, bahwa sebuah kota paling baik untuk dilihat secara eye-level. Ketika kita tinggal di high-rise building, kita dapat menikmati pemandangan yang bagus, melihat banyak orang berlalu-lalang, mobil-mobil, dan cahaya lampu kota dari lantai sekian. Tapi kita tidak bisa melihat orang lain dalam penglihatan yang menimbulkan koneksi antar individu. Simpelnya hal ini menimbulkan efek kurangnya interaksi antar individu penghuni kota, bahkan untuk hanya sekedar bertatap muka.

2. Bukan skala manusia

High-rises are simply so tall that they make no visual sense to a pedestrian at eye-level. You can’t even see the whole building unless you’re in another high-rise. You become lost and engulfed in glass and steel canyons which can be isolating and dehumanizing.”

Kata yang mungkin menarik adalah 'dehumanisasi'. Kenyataan ini ibarat menegasikan solusi dari high-rise building. Fenomena ini dapat terjadi, dan memang dapat diperhatikan. Cobalah sesekali berjalan di kampung-kampung kota atau pun desa, lalu bandingkan dengan berjalan di antara kompleks apartemen atau rusun. Di desa, ketika kita membuka pintu rumah, kita bisa melihat warganya beraktivitas, anak-anak kecil berlarian, tukang bakso menjajakan dagangannya, dan berbagai romantisme desa lainnya. Ketika kita berada di kompleks high-rise building, maka kita akan kehilangan pemandangan seperti ini, pemandangan yang sejatinya merupakan skala manusia. Hal ini merupakan sebuah fenomena dari konsep eye-level yang dikemukakan Jan Gehl, bahwasanya high-rise scale is not a human scale.

3. Mengurangi Kesempatan untuk Berinteraksi dan Mengurangi Propinquity

“Because high-rises tend to separate people from the street and each other, they greatly reduce the number of chance encounters that happen, which are crucial to the liveliness of a city and to creating social capital. And because people are cooped up in tall buildings, they are less likely to experience propinquity”

Menurut Sirianni dan Friedland, 1997, modal sosial atau social capital diartikan sebagai “…stocks of social trust, norms and networks that people can draw upon in order to solve common problems”. Jaringan atau networks yang dimaksud termasuk di dalamnya adalah keterlibatan sipil atau civic engagement, di antaranya partisipasi individu dalam sebuah kelompok masyarakat dalam kegiatan bersama seperti kerja bakti, musyawarah, perlombaan, dan sebagainya. Dengan tinggal di rusun atau apartemen melalui alasan pada poin-poin sebelumnya, tentunya modal sosial menjadi sulit untuk ditingkatkan. Lalu kenapa modal sosial menjadi begitu penting? Untuk mencapai sebuah masyarakat yang produktif, dalam artian masyarakat mampu mencapai tujuan bersama seperti kesejahteraan, kedekatan sosial, dan keamanan bersama, modal sosial harus mulai ditanam sejak masyarakat itu terbentuk, terutama secara geografis. Ruang yang ditinggali masyarakat haruslah menjadi public space di mana mereka bisa berinteraksi tanpa batasan-batasan tertentu. Gedung bertingkat ibarat mengurangi bahkan menghilangkan ruang publik di mana masyarakat bisa berinteraksi.

Sedangkan propinquity, menurut Wikipedia, berarti kedekatan fisik dan psikologis antara manusia. Propinquity merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsep modal sosial di mana hal ini akan terjadi dan dapat ditingkatkan melalui keberadaan ruang publik seperti di taman, lapangan olahraga, bahkan jalanan depan rumah. Vertical housing tentunya mengurangi bahkan menghilangkan propinquity.

4. Vertical Sprawl

Dengan digalakkannya high-rise building sebagai solusi atas keterbatasan lahan di Indonesia, ada satu masalah yang (mungkin akan) tercipta. Layaknya urban sprawl yang terkadang menciptakan berbagai masalah terutama secara administratif, gedung-gedung bertingkat yang terlalu banyak juga dapat menciptakan masalah ini. Pada sebuah kawasan di Portland, Amerika, banyak gedung-gedung bertingkat yang akhirnya tidak dihuni. Penyediaan gedung-gedung ini cenderung spekulatif dan tidak mempertimbangkan beberapa aspek hingga akhirnya banyak gedung-gedung yang kosong.

5. Menciptakan Ketidaksetaraan

Ketidaksetaraan yang dimaksud adalah bahwa pembangunan gedung-gedung bertingkat memang menjadi pemasukan ekonomi yang lumayan besar untuk pemerintah daerah, juga menguntungkan bagi developer terkait. Namun semakin tinggi gedung tersebut maka biaya konstruksinya juga akan makin mahal. Hal ini menuntut harga jual yang akan menjadi mahal pula, pada akhirnya hanya orang-orang berpendapatan tinggi saja yang bisa mengusahakannya. Secara tidak langsung, harga jual yang tinggi akan meningkatkan harga lahan-lahan di sekitarnya menjadi tinggi. Pada akhirnya, ketidaksetaraan secara ekonomi akan tercipta melalui harga lahan di sekitarnya yang juga tidak affordable.

Lebih lanjut, keberadaan retail dan pertokoan yang landed cenderung lebih stabil dalam menghadapi perubahan ekonomi dan sosial dari sebuah daerah. Contohnya Paris yang tetap mempertahankan kawasan pertokoan, perdagangan, dan wisata belanja, dengan peraturan sebuah gedung yang akan dibangun tidak boleh memiliki tinggi lebih dari 100', menjadi sebuah daerah yang lebih walkable. Dengan hal sederhana tersebut, Paris terbukti menjadi kota yang durable dan resilient. (Lennard, 2010)

Terdapat dua poin lagi yang menerangkan bahwa tempat tinggal atau gedung bertingkat terbukti tidak “hijau”, serta gedung bertingkat juga dapat merusak kesehatan penghuninya. Namun mungkin hal tersebut memiliki perbedaan perspektif dari beberapa poin sebelumnya dan oleh karena itu tidak akan diterangkan lebih lanjut dalam tulisan ini.

Subjektif saya, di luar segala apa yang telah disampaikan, ada baiknya memang jika kita merefleksikan pada kenyataan bahwa: beberapa lapisan masyarakat memang tidak bisa tinggal di perumahan vertikal. Perubahan budaya yang terjadi tidak bisa dipaksakan dan dipastikan hasilnya. Ketidakberlanjutan dari solusi perumahan vertikal akan mengikis peradaban yang telah ada sejak turun temurun, bahwasanya manusia Indonesia belum terbiasa tinggal di perumahan vertikal. Mungkin jika kita bandingkan dengan negara-negara di Eropa atau Amerika yang memang telah terlebih dulu maju dan menerapkan solusi tersebut di negaranya masing-masing, Indonesia termasuk yang terlambat dalam mengimplementasikan solusi ini. Hal ini akan berimbas pada permasalahan baru yang terus muncul dari solusi yang telah ada. Perlu adanya pertimbangan-pertimbangan yang lebih mendalam dari solusi ini, di mana akan saya coba rekomendasikan di akhir tulisan ini.

Beberapa Pengamatan

Saya pernah terlibat dalam sebuah penelitian sebagai tugas akademik untuk meneliti kondisi sebuah rusun. Kebetulan saat itu rusun yang saya teliti adalah sebuah rusun bagi MBR yang berada di Jalan Industri Dalam, Kota Bandung. Cukup banyak permasalahan yang saya temui di sana, seperti pengelolaan top-down yang kurang baik, masalah infrastruktur pendukung seperti air bersih, dan masalah biaya sewa yang tidak jelas. Namun yang paling saya soroti adalah munculnya vertical slum. Rusun tersebut dibangun sebagai solusi atas pemukiman kumuh yang muncul di bantaran sungai di tempat yang sama. Terlepas dari permasalahan biaya dan administrasi yang pengelolaannya tidak jelas, saya mengambil kesimpulan bahwa masyarakat yang memang sudah memiliki budaya untuk tinggal di kawasan perumahan yang kumuh, mau vertikal atau horizontal, layaknya akan memiliki fenomena kumuh yang sama pula.

Namun yang saya senangi dari rusun tersebut adalah interaksi masyarakat yang tetap kuat. Keberadaan ruang publik tercipta di koridor-koridor rusun di setiap lantai serta di lapangan parkir rusun tersebut. Walaupun tidak sepantasnya koridor-koridor menjadi kotor dan tidak tertata namun hal ini menegasikan poin-poin tentang interaksi dan permasalahan sosial yang disampaikan di atas. Tetapi sebenarnya tetap menjadi masalah yang harus diatasi, dalam artian bagaimana tidak membatasi interaksi antar penghuninya dengan mempertahankan kelayakan tinggal dari rusun tersebut.

Dalam beberapa kali kesempatan saya juga mengunjungi apartemen di Kuningan, Jakarta Selatan, tepatnya apartemen Taman Rasuna. Konsep penyediaan ruang publik di apartemen ini juga menarik, dengan menyediakan berbagai sarana rekreasi di lantai 5 kompleks apartemen tersebut. Jika dilihat dari lantai 15 ke atas, pemandangan yang sangat bagus akan kita dapat, melihat penghuni apartemen tersebut berinteraksi, mengahabiskan sore, berolahraga dan sebagainya di ruang publik yang cukup luas tersebut.

Beberapa contoh tadi saya coba sampaikan sebagai pertimbangan bahwa poin-poin yang disampaikan sebelumnya tidak sepenuhnya benar. Beberapa rusun yang disediakan pemerintah dan juga pihak swasta berhasil (sedikit) mengurangi permasalahan-permasalahan yang disebutkan.

Mencoba Memberikan Alternatif

Nampaknya jika kita bandingkan langsung antara rusun yang diperuntukkan bagi MBR dan juga apartemen mahal yang disediakan pihak privat, terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan. Padahal sepantasnya, jika tujuannya adalah untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat, terutama dalam beberapa kasus relokasi kampung kota ke rusun, hasil yang diharapkan dari perumahan vertikal dapat menciptakan kondisi yang sama baiknya. Entah bagaimana ke depannya perbaikan pada rusun-rusun yang lebih 'tertinggal' akan dilakukan, tapi tetap saja di sini saya melihat masih terdapat beberapa alternatif yang bisa dilakukan di luar menggalakkan gedung-gedung tertinggi.

  1. Penegakkan regulasi mengenai gedung-gedung bertingkat agar tetap sesuai standar, jika memang tidak ada solusi atau kebijakan lain. Selain itu regulasi ini juga harus memperhatikan aspek sosial dan budaya dari penghuni yang diharapkan. Terlepas dari keuntungan yang akan didapat dari penyediaan perumahan vertikal, tetap saja aspek sosial (sesuai dengan apa-apa yang disampaikan dari poin-poin yang disampaikan diatas) dan budaya saya nilai lebih penting karena menyangkut manusia yang tinggal di dalamnya. Manusia yang juga merupakan warga kota dan memiliki hak yang sama dalam pemenuhan kebutuhannya, baik fisik maupun non-fisik (kebutuhan sosial).
  2. Mempertimbangkan solusi berupa revitalisasi, alih-alih langsung merelokasi masyarakat kampung kota. Beberapa kasus relokasi saya nilai masih tidak layak untuk dilakukan, karena ada unsur kemanusiaan yang dilanggar disitu. Revitalisasi masih mungkin dilakukan dan tidak memerlukan biaya yang sama tingginya dengan penyediaan dan relokasi ke rusun. Hal ini bisa dilakukan apabila melibatkan masyarakat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara individu dan kolektif dari komunitas yang ada. Contoh kasus yang mungkin bisa dikatakan berhasil adalah Kampung Kreatif Dago Pojok atau pun Kampung Jambangan di Yogyakarta. Tentunya pertimbangan solusi apa yang ditawarkan harus didasari analisis yang kuat dari berbagai aspek termasuk lingkungan dan hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun