Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Menyusun Interaksi Manusia di Rumah Susun

10 Mei 2016   10:39 Diperbarui: 10 Mei 2016   12:34 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Sirianni dan Friedland, 1997, modal sosial atau social capital diartikan sebagai “…stocks of social trust, norms and networks that people can draw upon in order to solve common problems”. Jaringan atau networks yang dimaksud termasuk di dalamnya adalah keterlibatan sipil atau civic engagement, di antaranya partisipasi individu dalam sebuah kelompok masyarakat dalam kegiatan bersama seperti kerja bakti, musyawarah, perlombaan, dan sebagainya. Dengan tinggal di rusun atau apartemen melalui alasan pada poin-poin sebelumnya, tentunya modal sosial menjadi sulit untuk ditingkatkan. Lalu kenapa modal sosial menjadi begitu penting? Untuk mencapai sebuah masyarakat yang produktif, dalam artian masyarakat mampu mencapai tujuan bersama seperti kesejahteraan, kedekatan sosial, dan keamanan bersama, modal sosial harus mulai ditanam sejak masyarakat itu terbentuk, terutama secara geografis. Ruang yang ditinggali masyarakat haruslah menjadi public space di mana mereka bisa berinteraksi tanpa batasan-batasan tertentu. Gedung bertingkat ibarat mengurangi bahkan menghilangkan ruang publik di mana masyarakat bisa berinteraksi.

Sedangkan propinquity, menurut Wikipedia, berarti kedekatan fisik dan psikologis antara manusia. Propinquity merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsep modal sosial di mana hal ini akan terjadi dan dapat ditingkatkan melalui keberadaan ruang publik seperti di taman, lapangan olahraga, bahkan jalanan depan rumah. Vertical housing tentunya mengurangi bahkan menghilangkan propinquity.

4. Vertical Sprawl

Dengan digalakkannya high-rise building sebagai solusi atas keterbatasan lahan di Indonesia, ada satu masalah yang (mungkin akan) tercipta. Layaknya urban sprawl yang terkadang menciptakan berbagai masalah terutama secara administratif, gedung-gedung bertingkat yang terlalu banyak juga dapat menciptakan masalah ini. Pada sebuah kawasan di Portland, Amerika, banyak gedung-gedung bertingkat yang akhirnya tidak dihuni. Penyediaan gedung-gedung ini cenderung spekulatif dan tidak mempertimbangkan beberapa aspek hingga akhirnya banyak gedung-gedung yang kosong.

5. Menciptakan Ketidaksetaraan

Ketidaksetaraan yang dimaksud adalah bahwa pembangunan gedung-gedung bertingkat memang menjadi pemasukan ekonomi yang lumayan besar untuk pemerintah daerah, juga menguntungkan bagi developer terkait. Namun semakin tinggi gedung tersebut maka biaya konstruksinya juga akan makin mahal. Hal ini menuntut harga jual yang akan menjadi mahal pula, pada akhirnya hanya orang-orang berpendapatan tinggi saja yang bisa mengusahakannya. Secara tidak langsung, harga jual yang tinggi akan meningkatkan harga lahan-lahan di sekitarnya menjadi tinggi. Pada akhirnya, ketidaksetaraan secara ekonomi akan tercipta melalui harga lahan di sekitarnya yang juga tidak affordable.

Lebih lanjut, keberadaan retail dan pertokoan yang landed cenderung lebih stabil dalam menghadapi perubahan ekonomi dan sosial dari sebuah daerah. Contohnya Paris yang tetap mempertahankan kawasan pertokoan, perdagangan, dan wisata belanja, dengan peraturan sebuah gedung yang akan dibangun tidak boleh memiliki tinggi lebih dari 100', menjadi sebuah daerah yang lebih walkable. Dengan hal sederhana tersebut, Paris terbukti menjadi kota yang durable dan resilient. (Lennard, 2010)

Terdapat dua poin lagi yang menerangkan bahwa tempat tinggal atau gedung bertingkat terbukti tidak “hijau”, serta gedung bertingkat juga dapat merusak kesehatan penghuninya. Namun mungkin hal tersebut memiliki perbedaan perspektif dari beberapa poin sebelumnya dan oleh karena itu tidak akan diterangkan lebih lanjut dalam tulisan ini.

Subjektif saya, di luar segala apa yang telah disampaikan, ada baiknya memang jika kita merefleksikan pada kenyataan bahwa: beberapa lapisan masyarakat memang tidak bisa tinggal di perumahan vertikal. Perubahan budaya yang terjadi tidak bisa dipaksakan dan dipastikan hasilnya. Ketidakberlanjutan dari solusi perumahan vertikal akan mengikis peradaban yang telah ada sejak turun temurun, bahwasanya manusia Indonesia belum terbiasa tinggal di perumahan vertikal. Mungkin jika kita bandingkan dengan negara-negara di Eropa atau Amerika yang memang telah terlebih dulu maju dan menerapkan solusi tersebut di negaranya masing-masing, Indonesia termasuk yang terlambat dalam mengimplementasikan solusi ini. Hal ini akan berimbas pada permasalahan baru yang terus muncul dari solusi yang telah ada. Perlu adanya pertimbangan-pertimbangan yang lebih mendalam dari solusi ini, di mana akan saya coba rekomendasikan di akhir tulisan ini.

Beberapa Pengamatan

Saya pernah terlibat dalam sebuah penelitian sebagai tugas akademik untuk meneliti kondisi sebuah rusun. Kebetulan saat itu rusun yang saya teliti adalah sebuah rusun bagi MBR yang berada di Jalan Industri Dalam, Kota Bandung. Cukup banyak permasalahan yang saya temui di sana, seperti pengelolaan top-down yang kurang baik, masalah infrastruktur pendukung seperti air bersih, dan masalah biaya sewa yang tidak jelas. Namun yang paling saya soroti adalah munculnya vertical slum. Rusun tersebut dibangun sebagai solusi atas pemukiman kumuh yang muncul di bantaran sungai di tempat yang sama. Terlepas dari permasalahan biaya dan administrasi yang pengelolaannya tidak jelas, saya mengambil kesimpulan bahwa masyarakat yang memang sudah memiliki budaya untuk tinggal di kawasan perumahan yang kumuh, mau vertikal atau horizontal, layaknya akan memiliki fenomena kumuh yang sama pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun