Mohon tunggu...
M Naufal Rizqullah Fahmi
M Naufal Rizqullah Fahmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Mercubuana

Muhammad Naufal Rizqullah Fahmi NIM : 41522110054 Jurusan : Teknik Informatika Fakultas : Ilmu Komputer Dosen : Prof. Dr. Apollo, AK. M.Si.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

P07- Dialektis antara Jagat Gumelar, Jagat Gemulung

17 Mei 2024   20:52 Diperbarui: 17 Mei 2024   20:53 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Modul 7 Dokpri_Prof Apollo

PENDAHULUAN

Kebudayaan Jawa dikenal memiliki kekayaan literatur dan filosofi yang mendalam. Salah satu konsep penting dalam filosofi Jawa adalah "Dialektis Antara Jagat Gumelar dan Jagat Gumulung." Konsep ini mengintegrasikan pandangan hidup, moralitas, dan hubungan antara manusia dengan alam serta sesamanya. Memahami dialektika ini memerlukan pengetahuan tentang berbagai naskah sastra Jawa klasik dan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya.

DEFINISI

Dalam budaya dan spiritualitas Nusantara, konsep "Jagat Gumelar" dan "Jagat Gumulung" menggambarkan pemahaman mendalam tentang alam semesta dan keberadaan manusia di dalamnya. Jagat Gumelar  dan  Jagat Gumulung  adalah dua konsep yang sering muncul dalam literatur dan filosofi Jawa.  Jagat Gumelar  merujuk pada dunia yang terbuka, tampak, dan nyata. Ini adalah alam semesta yang kita lihat dan alami setiap hari, yang meliputi segala sesuatu yang fisik dan tampak oleh panca indera. Sebaliknya,  Jagat Gumulung  merujuk pada dunia yang tersembunyi, batiniah, dan tidak tampak. Ini adalah alam semesta yang ada di dalam diri kita, yang meliputi pikiran, perasaan, dan spiritualitas.

Kedua konsep ini menggambarkan dualitas dan kesatuan yang ada dalam kehidupan manusia. Dialektika antara Jagat Gumelar dan Jagat Gumulung mencerminkan hubungan antara dunia luar dan dunia dalam, serta bagaimana keduanya saling mempengaruhi dan membentuk keberadaan manusia.


SEJARAH

Konsep Jagat Gumelar dan Jagat Gumulung memiliki akar yang mendalam dalam tradisi dan filsafat Jawa, yang dipengaruhi oleh berbagai agama dan kepercayaan seperti Hindu, Buddha, dan kepercayaan asli Nusantara.

  • Pengaruh Hindu-Buddha: Pada masa kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit dan Mataram, ajaran Hindu dan Buddha mendominasi dan memberikan kerangka spiritual serta filosofis yang memperkaya pemikiran Jawa. Dalam ajaran ini, konsep dualitas dan keseimbangan antara dunia fisik dan spiritual sangat ditekankan.
  • Kepercayaan Asli Nusantara: Sebelum pengaruh luar, masyarakat Jawa sudah memiliki konsep spiritual yang kuat tentang alam dan keseimbangan. Kepercayaan animisme dan dinamisme yang melihat semua benda memiliki roh atau kekuatan gaib juga berperan dalam membentuk pemahaman tentang Jagat Gumelar dan Jagat Gumulung.
  • Sinkretisme Islam: Dengan masuknya Islam ke Nusantara, terjadi proses sinkretisme di mana konsep-konsep Islam diselaraskan dengan kepercayaan dan praktik lokal. Ini memperkaya dan memperdalam konsep Jagat Gumelar dan Jagat Gumulung dengan dimensi ketuhanan yang lebih personal dan transenden.

Dalam budaya Jawa, terdapat metafora yang sarat makna, seperti kisah tentang Semar/Ismoyo, Togog, dan Batara Guru. Metafora ini menggambarkan kompleksitas hidup, hubungan antara manusia dan alam, serta refleksi tentang kebijaksanaan. Mari kita selami makna yang terkandung dalam metafora yang kaya akan nilai filosofis ini.

  • Semar/Ismoyo: Lambang Kebijaksanaan dan Kelucuan

Semar/Ismoyo adalah karakter unik dalam budaya Jawa, sering dianggap sebagai lambang kebijaksanaan dan penasihat yang bijak, namun juga dikenal karena kelucuannya. Dalam metafora ini, Semar/Ismoyo merepresentasikan aspek dalam diri manusia yang bijak namun tetap rendah hati, mampu menyelesaikan masalah dengan cara yang tak terduga. Kehadirannya mengingatkan kita akan pentingnya kecerdasan emosional dan sosial dalam menghadapi tantangan hidup.

  • Togog: Lambang Keteguhan dan Kesetiaan

Togog, dengan wajah serius dan teguh, melambangkan keteguhan dan kesetiaan. Dalam metafora ini, Togog merepresentasikan kekuatan dalam diri manusia untuk tetap teguh dan setia pada prinsip, meskipun menghadapi kesulitan atau godaan. Kehadirannya mengingatkan kita akan pentingnya memiliki integritas dan konsistensi dalam menjalani kehidupan.

  • Batara Guru: Lambang Ketinggian Spiritual dan Kebijaksanaan Ilahi

Batara Guru adalah sosok yang dianggap sebagai guru para dewa, yang memiliki pengetahuan mendalam dan kebijaksanaan ilahi. Dalam metafora ini, Batara Guru merepresentasikan aspek spiritualitas dan pencarian akan makna hidup yang lebih tinggi. Kehadirannya mengajak kita merenungkan hubungan kita dengan Yang Maha Kuasa, serta pentingnya menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran dan pengabdian.

 

SERAT DARMAGANDHUL

"Serat Darmagandhul" adalah salah satu karya sastra Jawa klasik yang kaya akan nilai dan filosofi. Untuk memahaminya lebih dalam, kita dapat mengaitkannya dengan berbagai literatur Jawa klasik lainnya, seperti "Babad Tanah Jawi", "Serat Wulangreh", "Kitab Pararaton", "Serat Centhini", "Serat Purwacarita", dan "Kakawin Nagarakretagama". Dengan mengaitkan karya ini dengan literatur lain, kita dapat memahami konteksnya dengan lebih luas dan mendalam, seperti berikut :

  • Babad Tanah Jawi  - Sebuah kronik sejarah Jawa yang mencatat sejarah raja-raja Jawa dan peristiwa penting dari masa lalu.
  • Serat Wulangreh  - Ditulis oleh Sri Susuhunan Pakubuwana IV, teks ini berfokus pada kebajikan moral dan ajaran etika.
  • Kitab Pararaton  - Sebuah karya sastra Jawa yang menceritakan sejarah kerajaan Majapahit.
  • Serat Centhini  - Sebuah ensiklopedia budaya Jawa yang mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk adat istiadat, agama, dan seni.
  • Serat Purwacarita  - Mengisahkan cerita-cerita wayang dan mitologi Jawa.
  • Kakawin Nagarakretagama  - Sebuah puisi epik Jawa Kuno yang memuji kejayaan kerajaan Majapahit.

Aksara Jawa Kuno Hanacaraka

Aksara Jawa Kuno, yang dikenal sebagai Hanacaraka, adalah sistem tulisan kuno yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa pada masa lalu. Aksara ini memiliki sejarah panjang dan merupakan bagian penting dari warisan budaya Indonesia. Meskipun telah digantikan oleh aksara Jawa modern, usaha untuk memulihkan dan melestarikannya terus berlanjut.

 

Sanghiyang Wenang

"Sanghiyang Wenang/Sanghiyang Tunggal" adalah konsep dalam kepercayaan dan mitologi Jawa yang mengacu pada Tuhan Yang Maha Esa. Konsep ini memiliki makna mendalam dalam kehidupan spiritual dan filosofis Jawa, menekankan pentingnya keberadaan Tuhan, hubungan manusia dengan alam, serta nilai-nilai spiritual dalam kehidupan sehari-hari.

 

Trikotonomi Jawa Kuno

Trikotonomi adalah konsep filsafat yang terdiri dari tiga aspek penting dalam kehidupan spiritual dan filosofis Jawa. Konsep ini mencakup pemikiran-pemikiran dari berbagai tokoh dan periode dalam sejarah Jawa yang mempengaruhi budaya dan kepercayaan masyarakatnya. Trikotonomi Jawa Kuno terdiri dari tiga prinsip utama, yaitu:

1. Manunggaling Kawula Gusti

  • Tokoh yang terkait: Syekh Siti Jenar
  • Arti: "Penyatuan antara hamba dengan Sang Pencipta."
  • Pengertian: Konsep ini menekankan pentingnya pencarian kesatuan spiritual antara manusia dengan Tuhan. Manusia dianggap sebagai bagian dari Tuhan yang menciptakan segala sesuatu. Dengan menghayati prinsip ini, seseorang diharapkan dapat mencapai pemahaman akan kesatuan yang mendasari alam semesta dan hubungan yang erat antara manusia dengan penciptanya.

2. Sangkan Paraning Dumadi

  • Tokoh yang terkait: Mangkunegara IV
  • Arti: "Mencari tahu tentang tujuan hidup."
  • Pengertian: Konsep ini menyoroti pentingnya mencari makna hidup dan tujuan eksistensial manusia. Manusia dianggap harus menyadari tujuan sejati dari kehidupannya, yang melampaui kepentingan duniawi semata. Dengan pemahaman akan prinsip ini, manusia diharapkan dapat menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran akan tujuan dan makna yang lebih dalam.

3. Tanah Jawi

  • Tokoh yang terkait: Wirid Hidayat Jati' R Ng Ranggawarsito
  • Arti: "Bumi Jawa."
  • Pengertian: Konsep ini menekankan pentingnya menghormati dan menjaga alam serta keberadaan alam sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Tanah Jawi dipandang sebagai tempat yang suci dan memiliki nilai spiritual yang tinggi. Dengan memahami prinsip ini, masyarakat diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara manusia dan alam, serta menghormati lingkungan tempat mereka tinggal.

Trikotonomi ini mencerminkan pemahaman mendalam tentang hubungan antara manusia, Tuhan, dan alam semesta dalam kehidupan spiritual dan filosofis Jawa. Konsep-konsep ini tidak hanya memandu individu dalam mencari makna hidup mereka, tetapi juga membentuk landasan moral dan etika dalam kehidupan sehari-hari.

Sumber : Modul 7 Dokpri_Prof Apollo
Sumber : Modul 7 Dokpri_Prof Apollo

Gambar ini menggambarkan konsep "Dialektis Jagat Gumelar, Jagat Gumulung"  dalam berbagai aspek kehidupan dan moralitas.

Telos Hidup

Tujuan hidup, atau telos hidup, dalam filsafat Jawa adalah mencapai "ngunduh wohing pakarti" (memetik hasil dari perbuatan) dan "memayu hayuning bawana" (memperindah dunia). Ini merujuk pada tanggung jawab moral untuk hidup dengan baik dan memberikan kontribusi positif kepada dunia.

Alam sebagai Tanggung Jawab Moral

Dalam filsafat Jawa, alam dipandang sebagai tanggung jawab moral yang harus dijaga dan dilestarikan. Ada tiga prinsip utama dalam menjaga alam:

1. Momong - Mengasuh dan menjaga alam seperti seorang ibu merawat anaknya.

2. Momor - Mendekatkan diri dan menyatu dengan alam.

3. Momot - Menerima dan menanggung tanggung jawab terhadap alam.

Sikap Papan Empan Adepan

Konsep "Sikap Papan Empan Adepan" menekankan pentingnya kesadaran waktu dan tempat dalam bertindak. Ini tercermin dalam empat sikap:

1. Saiki - Sekarang

2. Neng Kene - Di sini

3. Ngene - Begini

4. Aku Gelem - Aku bersedia

Perilaku pada Alam

Dalam berinteraksi dengan alam, manusia Jawa diajarkan untuk tidak:

1. Golek Menange Dewe - Mencari kemenangan sendiri.

2. Golek Butuhe Dewe - Mencari keuntungan sendiri.

3. Golek Benere Dewe - Mencari kebenaran sendiri.

4. Golek Enake Dewe - Mencari kenyamanan sendiri.

Serat Paramayoga

Dalam "Serat Paramayoga" karya Rangga Warsita, konsep Dharma antara Manusia dengan Manusia dan Manusia dengan Alam tercermin melalui prinsip-prinsip yang mengajarkan perilaku manusia terhadap sesama dan lingkungan. Prinsip-prinsip ini menekankan pentingnya hidup harmonis dengan sesama manusia dan menjaga keseimbangan serta keberlanjutan lingkungan untuk generasi mendatang.

Mangginglingan - Sistem Sikap Mental

Konsep Mangginglingan mengacu pada sikap mental yang menerima segala sesuatu dengan istilah "Nrimo ing pandum," mirip dengan filosofi Amor fati dalam Stoikisme. Ini terdiri dari:

1. Tadah - Tidak meminta apa pun, bersyukur dengan apa yang ada.

2. Pradah - Ikhlas memberi apa pun potensi yang dimiliki.

3. Ora Wegah - Tidak memilih pekerjaan, selalu memberikan yang terbaik.

Memayu Alam

Memayu alam berarti memperlakukan alam sebagai keluarga, dengan nama-nama yang mencerminkan hubungan kekeluargaan seperti:

1. Bapak Angkasa, Ibu Pertiwi, Kakang Kawah, Ade Ari-ari.

2. Tata Nama: Nama-nama yang diberikan kepada benda-benda penting seperti Gajah Mada, Kebo Ijo, dan sebagainya.

3. Benda Barang: Pemberian nama pada alat-alat dan senjata seperti tombak, pedang, keris.

Sumber : Modul 7 Dokpri_Prof Apollo
Sumber : Modul 7 Dokpri_Prof Apollo

Bisa kita lihat pada gambar, gambar ini menyoroti hubungan antara sastra, gending (musik), dan alam dalam filosofi Jawa. Di gambar tersebut terdapat SINOM 1:12. Sinom ini adalah sebuah jenis tembang atau puisi tradisional Jawa yang menggunakan bahasa Jawa klasik. Sinom ini memiliki makna yang dalam tentang pentingnya menjaga kelestarian gending atau musik tradisional dalam kehidupan spiritual dan moral seseorang. Berikut adalah penjelasan dari isi sinom tersebut:

Tema pada Sinom:

Sinom ini menggambarkan pentingnya menjaga dan menghargai keberadaan gending atau musik tradisional dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam konteks spiritualitas dan keagamaan.

Isinya yaitu:

  • Pramila gending yen bubrah: Mengungkapkan bahwa jika gending atau musik tradisional rusak atau hilang, maka itu akan berdampak pada hubungan manusia dengan Tuhan.
  • Gugur sembahe mring Widdhi: Menjelaskan bahwa ketika gending rusak, maka keberadaan atau jati diri seseorang juga ikut rusak, sehingga hubungan spiritual dengan Tuhan menjadi terganggu.
  • Batal wisesaning salat: Menyatakan bahwa ketika gending hilang atau rusak, kegiatan ibadah seperti salat menjadi tidak bermakna atau terganggu.
  • Tanpa gawe ulah gending: Menyatakan bahwa tanpa adanya gending, kegiatan membuat atau memainkan gending tidak memiliki nilai atau manfaat yang signifikan.
  • Dene ngaran ulah gending: Menggambarkan bahwa gending atau musik tradisional memuji nama Tuhan dengan irama yang agung.
  • Tukireng swara linuhung: Menggambarkan bahwa irama gending yang agung memuji nama Tuhan dengan penuh penghormatan dan kekaguman.
  • Amuji asmaning Dat: Menggambarkan bahwa gending memuji keagungan nama Tuhan.
  • Swara saking osik wadi: Menunjukkan bahwa irama gending yang berasal dari dalam hati, menyentuh kedalaman jiwa.
  • Osik mulya wataring cipta surasa: Menggambarkan bahwa irama gending yang berasal dari hati yang tulus adalah ungkapan keagungan ciptaan Tuhan.

Hamemayu Ekologi

Konsep  Hamemayu Ekologi  menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dan keindahan alam melalui tindakan yang harmonis dan bertanggung jawab. Ini meliputi:

  • Hamemayu Hayuning Wono  - Menjaga keindahan hutan.
  • Hamemayu Hayuning Samodro  - Menjaga keindahan laut.
  • Hamemayu Hayuning Tirto  - Menjaga keindahan air.
  • Hamemayu Hayuning Howo  - Menjaga keindahan udara.
  • Hamemayu Hayuning Budayo  - Menjaga keindahan budaya.
  • Hamemayu Hayuning Manungso  - Menjaga keindahan manusia.

  Cara Rawat Alam (3N)

Terdapat tiga cara utama dalam merawat alam, yang dikenal dengan konsep  3N :

  • Ni Teni  - Mengingat, mengenali, dan memahami alam.
  • NiRokake  - Meniru, memedomani, dan mengikuti cara-cara alam.
  • NaMbahai  - Memberikan nilai kebaikan pada alam.

Kesimpulan :

Filosofi Jawa yang tercermin dalam konsep  Dialektis Antara Jagat Gumelar dan Jagat Gumulung  mengajarkan kita untuk hidup harmonis dengan alam dan sesama. Mengintegrasikan ajaran dari berbagai naskah sastra klasik seperti  Serat Darmagandhul ,  Serat Wulangreh , dan lainnya, memberikan pandangan mendalam tentang bagaimana seharusnya manusia menjalani hidup dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran moral. Melalui pemahaman dan penerapan prinsip-prinsip ini, kita dapat mencapai kehidupan yang seimbang dan bermakna, baik dalam dimensi fisik maupun spiritual.

Citasi :

1. Purnomo, B. (2020). Hubungan Manusia dan Alam dalam Tradisi Nusantara. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

2. Suryadi, E. (2018). Struktur Sosial dan Budaya di Indonesia. Bandung: Penerbit ITB.

3. Natawijaya, H. (2019). Psikologi Kesadaran dan Pikiran Manusia. Jakarta: Pustaka Pelajar.

4. Kusuma, D. (2017). Emosi dan Perasaan dalam Kehidupan Sehari-hari. Surabaya: Universitas Airlangga Press.

5. Widodo, A. (2015). Meditasi dan Pencerahan Spiritual. Semarang: Pustaka Dharma.

6. Setiawan, I. (2021). Pengalaman Mistis dalam Tradisi Nusantara. Malang: Universitas Brawijaya Press.

7. Nugroho, T. (2016). Psikoanalisis: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kanisius.

8. Hidayat, R. (2022). Analisis Mimpi dan Maknanya. Jakarta: Pustaka Cendekia.

9. Anggraeni, L. (2018). Keseimbangan Hidup dalam Filosofi Jawa. Solo: UNS Press.

10. Ardiansyah, Y. (2020). Praktik Yoga dan Meditasi. Bandung: Mizan.

11. Wulandari, A. (2019). Pemahaman Diri dan Refleksi. Depok: Pustaka UI.

12. Pratama, B. (2021). Pengembangan Diri Holistik. Denpasar: Universitas Udayana Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun