Mohon tunggu...
Naufal Rifqi Yusron
Naufal Rifqi Yusron Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa - Universitas Muhammadiyah Jakarta

kadang suka menulis kadang suka mengambil foto

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Revisi UU Penyiaran: Tantangan dan Masa depan Penyiaran Indonesia

4 Juli 2024   16:28 Diperbarui: 4 Juli 2024   16:33 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Revisi Undang-Undang Penyiaran di Indonesia telah menjadi topik perdebatan yang hangat selama beberapa tahun terakhir. Revisi ini diperlukan untuk menyesuaikan regulasi penyiaran dengan perkembangan teknologi dan dinamika sosial yang konstan. Namun, proses revisi ini tidak berlangsung dengan semestinya dan menghasilkan sejumlah masalah yang memerlukan perhatian serius.

Salah satu isu penting dalam revisi UU Penyiaran adalah komposisi anggota Dewan Penyiaran Publik. Dalam rancangan revisi UU Penyiaran, pemerintah menginginkan adanya lebih banyak perwakilan pemerintah dalam DPP. Tentu saja, hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat sipil, karena itu dianggap sebagai langkah pengendalian perkataan dan pembatasan pers.

Dalam era digital yang semakin berkembang, peran media massa menjadi semakin penting dalam membentuk opini publik. Sayangnya, upaya pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Penyiaran di Indonesia telah menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Revisi UU ini disebut oleh banyak pihak menjadi ancaman terhadap kemerdekaan pers serta kebebasan berekspresi.

Revisi Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran) telah menjadi perhatian utama masyarakat Indonesia. Kritik terhadap RUU Penyiaran ini berfokus di beberapa aspek, termasuk pelanggaran hak asasi manusia, pengabaian terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, dan perluasan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

salah satu problematika utama dalam revisi UU Penyiaran adalah banyaknya kepentingan beragam pihak yang harus diakomodasi. Pihak-pihak tadi meliputi pemerintah, penyiar, lembaga penyiaran swasta, komunitas, serta warga luas. Setiap pihak memiliki kepentingan dan agenda masing-masing, yang sering kali bertentangan satu sama lain. contohnya, pemerintah mungkin ingin memperkuat regulasi untuk memastikan kepatuhan terhadap norma-adat tertentu, sementara penyiar swasta mungkin menginginkan lebih banyak kebebasan untuk berinovasi serta bersaing pada pasar.

TANTANGAN YANG AKAN DIHADAPI  

Menghadapi tantangan-tantangan ini membutuhkan pendekatan yang komprehensif serta kolaboratif. Revisi UU Penyiaran harus mampu menyeimbangkan antara kebutuhan untuk mengatur dan mendukung inovasi, melindungi hak asasi manusia, dan membangun lingkungan yang adil bagi seluruh pelaku industri. menggunakan demikian, masa depan penyiaran pada Indonesia bisa lebih cerah dan relevan menggunakan perkembangan zaman.

Guna memahami lebih lanjut mengenai problematika revisi UU Penyiaran, yuk kita lihat studi kasus dari Indonesia. pada tahun 2022, pemerintah Indonesia mengajukan rancangan revisi UU Penyiaran yang menuai banyak kritik dari berbagai pihak.

salah satu kontroversi terbesar merupakan mengenai peran Dewan Penyiaran Publik (DPP). dalam rancangan revisi, pemerintah ingin menempatkan lebih banyak perwakilan dari unsur pemerintah dalam keanggotaan DPP. Hal ini diklaim oleh banyak pihak menjadi upaya untuk mengontrol serta membatasi independensi lembaga penyiaran publik.

Selain itu, revisi UU Penyiaran juga mencoba untuk memperluas cakupan regulasi penyiaran ke pada ranah digital. Ini berarti bahwa pemerintah akan mempunyai wewenang untuk mengawasi dan mengatur konten yang disebarkan melalui platform digital, mirip media sosial dan situs berita online. Bagi banyak aktivis serta pemerhati media, langkah ini berpotensi membuka jalan bagi sensor dan pembatasan isu yang bisa diakses oleh warga.

sebagai bentuk kritik terhadap revisi UU Penyiaran, kami menyoroti beberapa poin utama:

1. Independensi lembaga Penyiaran Publik: Upaya menempatkan lebih banyak perwakilan pemerintah pada keanggotaan DPP akan mengancam independensi dan kredibilitas lembaga penyiaran publik. Hal ini dapat mengarah pada intervensi pemerintah dalam pemberitaan serta konten yang disiarkan.

2. Kebebasan Berekspresi dan Pers: perluasan cakupan regulasi penyiaran ke ranah digital berpotensi membatasi kebebasan masyarakat pada mengakses berita dan berekspresi. Ini bisa sebagai ancaman terhadap demokrasi dan hak asasi manusia.

3. Transparansi dan Akuntabilitas: dalam proses revisi UU Penyiaran, kami melihat kurangnya transparansi serta ruang partisipasi bagi rakyat sipil. Proses ini wajib melibatkan seluruh pemangku kepentingan demi terciptanya aturan yang adil serta berkeadilan.

MASA DEPAN PENYIARAN DI INDONESIA

Revisi Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran) telah menjadi perhatian utama rakyat Indonesia. Kritik terhadap RUU Penyiaran ini berfokus pada beberapa aspek, termasuk pelanggaran hak asasi manusia, pengabaian terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, dan ekspansi wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). terdapat beberapa kontra yg perlu dipertimbangkan terkait dampaknya terhadap masa depan penyiaran. Beberapa kekhawatiran serta potensi persoalan yang bisa terdapat antara lain:
1. Potensi pembatasan Kebebasan Berekspresi


salah satu kekhawatiran utama ialah bahwa regulasi yang terlalu ketat dapat membatasi kebebasan berekspresi. Meskipun tujuan dari revisi UU Penyiaran artinya untuk menjaga kualitas dan etika konten, terdapat risiko bahwa aturan yang berlebihan mampu menghambat kreativitas dan inovasi di produksi konten. pembatasan ini bisa berdampak negatif pada keragaman berita dan pendapat yang disampaikan pada publik.


2. Ketidakjelasan dan Ketidakkonsistenan pada Penegakan hukum


Ketidakjelasan dalam definisi serta interpretasi hukum baru dapat menyebabkan ketidakkonsistenan di penegakan aturan. Ini dapat membentuk ketidakpastian bagi penyiar serta menimbulkan kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan wewenang oleh pihak berwenang. Ketidakpastian ini dapat merugikan industri penyiaran dan mengurangi kepercayaan publik terhadap regulasi tersebut.

Untuk mengklaim keseimbangan yang sempurna antara kebebasan berekspresi dan perlindungan rakyat, RUU Penyiaran wajib terdapat penilaian serta penyempurnaan lebih lanjut. Regulasi yang lebih fleksibel serta responsif terhadap kemajuan teknologi juga diperlukan. Selain itu, melibatkan berbagai pihak terkait dalam proses perumusan kebijakan, seperti pemangku kepentingan masyarakat dan industri kreatif, akan membantu membentuk RUU Penyiaran yang lebih inklusif serta berkelanjutan.

dalam kesimpulan, revisi UU Penyiaran pada Indonesia masih memerlukan perhatian serta perbaikan lebih lanjut. Kritik terhadap RUU Penyiaran ini serius pada beberapa aspek, termasuk pelanggaran hak asasi manusia, pengabaian terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, dan perluasan kewenangan KPI. untuk mengatasi masalah ini, diharapkan evaluasi serta penyempurnaan lebih lanjut, dan melibatkan banyak sekali pihak terkait pada proses perumusan kebijakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun