Adanya keterbatasan lapangan pekerjaan dan dorongan keterbatasan ekonomi menjadi faktor pendorong banyaknya perempuan di Indonesia menjadi pekerja migran di luar negeri. Namun terdapat banyak kasus yang terjadi pada pekerja migran khususnya perempuan yang mengalami tindakan diskriminatif. Indonesia sebagai negara kesatuan republik Indonesia memiliki peran untuk bertanggung jawab dalam melindungi hak warga negaranya, baik warga negara Indonesia yang berada di luar negeri. Dalam rangka melindungi Hak Asasi Manusia bagi pekerja migran Indonesia terdapat berbagai peraturan baik peraturan internasional maupun nasional. Peraturan internasional tertuang dalam konvensi ILO sedangkan peraturan nasional Indonesia dalam melindungi warga negaranya tertuang dalam UUD 1945 (Pasal 28 dan Pasal 27). Selain itu Indonesia juga memberikan pengawasan dan pemantauan (Sistem monitoring) terhadap pekerja migran.
Kata Kunci : Pekerja Migran Indonesia, Hak Asasi Manusia, Peran Negara Indonesia
PENDAHULUAN
Pekerja migran adalah warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau sudah melakukan pekerjaan dan sedang berada di Luar negara kesatuan Republik Indonesia. Pekerja migran memiliki risiko yang tinggi, yaitu berhubungan erat dengan peraturan-peraturan yuridis nasional maupun internasional. Jika ditelusuri banyak terjadi kasus mengenai kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, penganiayaan dan pelecehan seksual oleh majikan, hal ini sangat sering terjadi terutama pada perempuan.
Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Maka negara yang mempunyai tanggung jawab terhadap warga negara baik berdomisili di luar negeri maupun dalam negeri. Sebagai bentuk perlindungan terhadap HAM, negara Indonesia menjadi salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengemban penuh atas segala perjanjian-perjanjian yang telah disepakati yaitu mengenai HAM dalam konvensi deklarasi universal, konvensi ILO, Konvensi CEDAW.
PEMBAHASAN
Berdasarkan data BP2MI (2020) Pekerja Migran Indonesia semakin meningkat dari tahun 2020 serta Pekerja Migran Indonesia (Pekerja Migran Indonesia) didominasi oleh perempuan. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor yaitu: sebagai tulang punggung keluarga, status janda, keterbatasan ekonomi, wanita yang memang dipersiapkan untuk mencari pendapatan yang jauh lebih tinggi dibanding tempat asal (Vika Widyastuti, 2020). Selain membawa dampak positif baik untuk pekerja migran Indonesia dan negara (sumber penghasilan devisa negara), pekerja migran Indonesia juga lekat dengan permasalahan pelanggaran HAM, seperti pelanggaran pulang, upah tidak dibayarkan, tidak diberikan akses komunikasi dengan keluarga, penganiayaan, pelecehan seksual, meninggal karena dugaan tindak kriminal majikan, korban TPO, tuduhan pencurian, dll.
Sebagai negara tujuan utama pekerja migran, Malaysia dan Arab Saudi masih minim pengawasan dan pemantauan perlindungan HAM bagi pekerja migran Indonesia tersebut. Akibatnya, perdagangan budak sering terjadi dengan kedok bimbingan tenaga kerja. Bahkan, beberapa pekerja migran Indonesia bekerja tanpa PPTKIS dan memalsukan dokumen, seperti visa turis daripada visa kerja, melalui jalur darat dan laut tanpa mengikuti prosedur yang benar dan tidak memiliki dokumen yang lengkap dan sah, hal menandakan bahwa mereka sedang diperdagangkan manusia (trafficking human). Hal ini bertentangan dengan larangan perdagangan budak yang diatur dalam Pasal 4 Universal Declaration of Human Right tahun 1948. Diskriminasi berdasarkan ketentuan normatif tentang pekerja migran Indonesia karena pemerintah Malaysia sering menunda keputusan (penyelesaian) bersama atas berbagai kasus yang melibatkan pekerja Indonesia yang tinggal di Malaysia.
Hak-hak pekerja migran Indonesia diatur oleh peraturan internasional, seperti yang dinyatakan oleh ILO yang menyatakan bahwa hak-hak pekerja migran Indonesia adalah; dapatkan gaji untuk pekerjaan, dapatkan fasilitas kesehatan, keseragaman dan kesetaraan di bawah asuransi hukum, tidak adanya pekerjaan yang dibatasi, jam kerja yang masuk akal, istirahat dan waktu yang bebas dari semua perpisahan, dan peluang gaya hidup afiliasi. Konvensi mendasar organisasi perburuhan internasional juga memasukkan ketentuan untuk perlindungan hak-hak pekerja migran Indonesia, yaitu sebagai berikut: Kebebasan berserikat diatur dalam Konvensi ILO No. 87 dan 98, sedangkan diskriminasi diatur dalam Konvensi ILO No. 100 dan 111, dan kerja paksa dihapuskan dalam Konvensi ILO No. 29 dan 105.
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia bertanggung jawab atas kesejahteraan warganya, baik di dalam maupun di luar negeri. Pemerintah Indonesia melindungi hak asasi pekerja migran Indonesia dengan menyediakan sistem pemantauan, khususnya pengawasan berkala terhadap para pekerja ini, yang dapat dibagi menjadi beberapa kategori berikut:
Pekerja migran Indonesia wajib melaporkan sendiri sosialisasinya pada saat kedatangan, pemindahan, dan kepulangan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kondisi pekerja migran Indonesia saat melakukan perjalanan