Kekurangan sumber daya juga menghambat efektivitas misi perdamaian internasional seperti UNAMID, yang tidak mampu menyediakan perlindungan memadai bagi warga sipil di wilayah konflik. Ketidakadilan dalam distribusi sumber daya alam di Sudan turut memperbesar kesenjangan sosial dan memicu ketegangan etnis, terutama di Darfur, di mana kelompok minoritas non-Arab menjadi korban diskriminasi dan kekerasan sistematis.
Dari sisi sosial, ketegangan berbasis identitas menjadi salah satu akar konflik yang sulit diatasi. Marginalisasi kelompok etnis tertentu dan meningkatnya migrasi akibat konflik menghasilkan tekanan sosial baik di dalam negeri maupun di negara-negara tetangga seperti Chad dan Sudan Selatan.Â
Meskipun PBB dan organisasi regional seperti Uni Afrika (AU) telah berupaya mengatasi tantangan ini melalui resolusi perdamaian, pengiriman misi kemanusiaan, dan mediasi, keterbatasan kapasitas dan dukungan politik internasional membuat hasilnya tidak maksimal. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa memberikan sanksi dan mendukung penyelidikan kejahatan perang, namun pendekatan mereka sering dianggap reaktif dan tidak konsisten.
 Sementara itu, Uni Afrika, meski berperan penting dalam dialog regional, masih bergantung pada dukungan donor asing untuk menjalankan operasinya. Tanpa reformasi dalam mekanisme global dan upaya kolektif yang lebih kuat, penerapan R2P di Sudan akan terus menghadapi hambatan serius, meninggalkan warga sipil dalam situasi rentan.
KesimpulanÂ
Konflik Sudan tahun 2023 menjadi gambaran nyata tantangan dalam menerapkan prinsip Responsibility to Protect (R2P) untuk melindungi warga sipil dari kejahatan berat terhadap kemanusiaan. Meskipun prinsip ini menawarkan tiga pilar utama---tanggung jawab negara, bantuan komunitas internasional, dan intervensi kolektif---implementasinya di Sudan terbukti sulit.Â
Upaya seperti resolusi PBB, misi perdamaian UNAMID, dan pemberian sanksi kepada individu yang bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan tidak memberikan hasil signifikan. Keterbatasan ini disebabkan oleh kurangnya sumber daya, dinamika politik global yang rumit, serta konflik kepentingan antara negara-negara besar.
Tantangan utama penerapan R2P di Sudan mencakup kebuntuan politik di Dewan Keamanan PBB akibat hak veto anggota tetap, serta ketidakstabilan internal Sudan yang semakin diperburuk oleh konflik antara faksi militer.Â
Selain itu, masalah sosial dan ekonomi seperti diskriminasi etnis, ketidakadilan distribusi sumber daya, dan dampak buruk sanksi ekonomi memperparah krisis. Marginalisasi sosial dan tekanan geopolitik regional juga membuat situasi semakin kompleks, menjadikan Sudan medan konflik yang sulit ditangani dengan pendekatan internasional yang ada saat ini.
Keberhasilan R2P di masa depan membutuhkan reformasi mendalam pada mekanisme global, terutama penguatan kapasitas Dewan Keamanan PBB untuk menghindari kebuntuan politik. Upaya kolaboratif yang lebih kuat antara aktor internasional dan regional diperlukan untuk mengatasi akar penyebab konflik, seperti ketidakadilan struktural dan diskriminasi sosial.Â
Konflik Sudan menyoroti pentingnya tanggung jawab kolektif komunitas internasional dalam mencegah tragedi kemanusiaan dan menegakkan prinsip perlindungan global secara efektif.