Pilar III: Jika negara gagal melindungi warganya, komunitas internasional memiliki tanggung jawab untuk melakukan intervensi kolektif, baik secara preventif maupun melalui tindakan langsung, dengan persetujuan Dewan Keamanan PBB.
Teori vs. Praktik Penerapan R2P di Sudan
Dalam kasus Sudan, khususnya di Darfur, komunitas internasional telah mengakui bahwa genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi sejak awal 2000-an. Namun, penerapan R2P dalam praktiknya masih terbatas.
Keterlibatan Internasional: Dewan Keamanan PBB mengesahkan beberapa resolusi, termasuk pengiriman pasukan perdamaian melalui misi UNAMID (United Nations--African Union Mission in Darfur). Misi ini bertujuan untuk melindungi warga sipil, memfasilitasi bantuan kemanusiaan, dan mendukung perjanjian damai. Namun, efektivitasnya terbatas karena kurangnya sumber daya dan dukungan politik yang solid.
Sanksi dan Tindakan Hukum: Komunitas internasional menjatuhkan sanksi kepada individu tertentu dan membawa Presiden Omar al-Bashir ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas tuduhan genosida. Namun, eksekusi sanksi ini seringkali terhambat oleh keberpihakan politik dan kurangnya konsensus global.
Kegagalan Penuh Pilar III: Ketika kekerasan meningkat, termasuk selama krisis terbaru pada 2023 antara SAF (Sudanese Armed Forces) dan RSF (Rapid Support Forces), intervensi militer internasional tidak pernah benar-benar diwujudkan, meski pelanggaran HAM terus berlanjut.
Tantangan dan Hambatan dalam Penerapan R2P di Sudan
Penerapan Responsibility to Protect (R2P) di Sudan menghadapi berbagai tantangan besar, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial. Secara politik, keterlibatan Dewan Keamanan PBB yang sering terhambat oleh veto dari anggota tetap seperti Rusia dan China menjadi penghalang signifikan untuk mengambil tindakan tegas.
 Konflik kepentingan geopolitik ini menciptakan kebuntuan dalam merespons krisis yang memerlukan intervensi segera.Â
Di sisi lain, pemerintah Sudan, terutama selama era Omar al-Bashir, menggunakan kedaulatan nasional sebagai tameng untuk menolak intervensi internasional, meskipun terjadi pelanggaran HAM berat. Ketidakstabilan internal, yang semakin diperburuk oleh konflik kekuasaan antara Sudan Armed Forces (SAF) dan Rapid Support Forces (RSF), memperburuk situasi dengan menciptakan kekacauan politik yang sulit diredakan melalui pendekatan internasional.
Secara ekonomi, Sudan menghadapi hambatan besar akibat kemiskinan struktural dan ketergantungan pada ekspor sumber daya seperti minyak dan emas, yang sering kali menjadi sumber utama konflik. Sanksi ekonomi yang diterapkan terhadap rezim otoriter Sudan oleh negara-negara Barat memperparah krisis ekonomi, menciptakan penderitaan bagi masyarakat sipil yang sudah terpinggirkan.Â