Sebagai produk belajar yang bercirikan kinerja proses, evaluasi pembelajaran pada model transformative learning difokuskan pada performansi peserta didik sebagai indikatornya. Untuk memperkuat hasil evaluasi perlu juga diungkapkan aspek-aspek pembelajaran seperti jadwal pembelajaran, lama belajar, waktu belajar, bahan belajar, metode belajar, dan relevansi kualifikasi pendidik. Selain itu, model transformative learning diharapkan mampu untuk menghasilkan dampak pembelajaran seperti tanggung jawab dan kepercayaan diri dari peserta didik dalam setiap pikiran dan tindakan yang dilakukan. Fokus utama evaluasi pada transformative learning adalah self evaluation, self improvement, critical reflective, dan self awareness (Hardika, 2012).
Menurut Erich Fromm, yang diangkat kembali oleh Harefa dalam bukunya yang berjudul "Menjadi Manusia Pembelajar" dikatakan bahwa pendidikan telah banyak menganut pola antagonisme pendidikan "gaya bank," yaitu guru mengajar sedangkan murid diajar; guru tahu segalanya sedangkan murid tidak tahu apa-apa; guru berpikir sedangkan murid dipikirkan; guru bicara sedangkan murid mendengarkan; guru mengatur sedangkan murid diatur; guru memilih dan memaksakan pilihannya sedangkan murid menuruti dan menyesuaikan kehendaknya; guru bertindak sedangkan murid membayangkan bagaimana tindakan sesuai dengan tindakan gurunya; guru memilih apa yang akan diajarkan sedangkan murid menyesuaikan; dan guru bertindak sebagai subjek belajar sedangkan murid adalah objeknya. Dalam pendidikan gaya bank tidak terjadi komunikasi dua arah yang berarti bahwa selama proses pembelajaran hanya terjadi komunikasi monolog dan hafalan. Pendidikan gaya bank berakibat tidak adanya kemitraan dan kebersamaan, sehingga kurang mampu menghasilkan aktifitas dan kreatifitas belajar (Harefa, 2005).
Sedangkan kegiatan Transformative Learning memfasilitasi peserta didik untuk dapat mengembangkan setiap potensi yang dimiliki karena sifat pembelajaran yang mengedepankan pola interaksi dua arah. Peserta didik diberikan kenyamanan untuk mengekplorasi setiap pengetahuan yang dimilikinya sehingga membuat suasana pembelajaran berjalan dengan menarik sehingga menciptakan pola pembelajaran yang komunikatif. Transformative Learning mengacu pada proses yang menghasilkan perubahan signifikan dan tidak dapat diubah dalam cara seseorang mengalami, mengkonseptualisasikan, dan berinteraksi dengan dunia. Deskripsi pengalaman, konseptualisasi, dan interaksi peserta didik mencerminkan berbagai cara hasil transformatif yang dapat mempengaruhi orang lain. Tetapi, bukan berarti peran pendidik tidak diperlukan dalam Transformative Learning ini, hanya saja lebih memfokuskan dan menciptakan pola interaksi yang komunikatif antara pendidik dan peserta didik sehingga dapat mengakui eksistensinya masing-masing sebagai manusia pembelajar baik bagi diri sendiri dan orang lain.
Perolehan pendidikan merupakan prasyarat bagi perkembangan kehidupan manusia, yaitu untuk meningkatkan kemampuannya agar manusia selalu melakukan kegiatan belajar guna memenuhi kebutuhan hidupnya (Sudjana, 2001). Menurut Illeris (2011) perolehan pendidikan tersebut dapat diberikan melalui proses Transformative Learning yang meliputi: (1) merenungkan secara kritis sumber, karakteristik, dan konsekuen dari asumsi-asumsi yang relevan dari kita sendiri maupun orang lain. (2) dalam pembelajaran instrumental, menetapkan kebenaran bahwa sesuatu adalah benar (sesuai dengan apa yang dikatakan tentangnya) dengan menggunakan metode riset empiris, (3) dalam pembelajaran komunikatif, tiba pada keyakinan yang dapat dijustifikasi dengan cara berperan serta secara penuh dan bebas dalam wacana yang berwawasan dan berkesinambungan. (4) menjalankan perspektif yang telah tertransformasikan yaitu dengan mengambil keputusan dan menempuh apa yang telah kita yakini sampai kemudian menemukan fakta, argumen atau perspektif baru yang menyebabkan orientasi tersebut bermasalah dan menghendaki pertimbangan ulang. (5) menghasilkan kecenderungan alamiah sehingga menjadi lebih reflektif dan kritis terhadap asumsi sendiri dan pihak lain, mengusahakan pengesahan atas wawasan transformatif kita dengan berpartisipasi secara lebih leluasa dan penuh dalam wacana serta menindaklanjuti keputusan dengan menjalankan wawasan yang sudah tertransformasikan.
KESIMPULAN
Belajar sepanjang hayat adalah suatu konsep tentang belajar terus menerus dan berkesinambungan dari buaian sampai akhir hayat, sejalan dengan fase-fase perkembangan pada manusia. Transformative Learning sebagai sarana belajar sepanjang hayat bisa dijadikan rujukan bagi semua orang bahwa ketika manusia itu masih hidup, mereka akan terus mengalami proses pembelajaran, tidak ada kata berhenti untuk belajar. Transformative Learning menyediakan ruang bagi para peserta didik untuk terus belajar dalam kondisi apapun. Tidak ada syarat batasan usia yang dapat menjadi hambatan setiap individu untuk melanjutkan pendidikan. Kemauan dan kerja keras adalah salah satu kunci mereka dapat senantiasa memahami apa yang kurang dari dalam diri mereka sehingga setiap kekurangannya tersebut dapat dijadikan motivasi untuk belajar sepanjang hidupnya. Pembinaan daya intelektual individu manusia melalui pendidikan yang tepat akan membina mereka untuk mengeluarkan semua potensi yang ada dalam dirinya untuk kemudian dapat memberikan kontribusi besar bagi pembangunan bangsa dan negara.
Transformative Learning sebagai sarana belajar sepanjang hayat memiliki tujuan untuk memberikan kesadaran bagi peserta didik agar mereka memiliki komitmen yang kuat untuk mengalami perubahan dalam hidupnya. Transformative Learning adalah produk refleksi kritis tentang pengalaman yang mengarah pada perubahan perspektif individu peserta didik. Transformasi akan terjadi apabila asumsi masa lalu yang disadari oleh pembelajar sebagai sesuatu yang tidak logis dan mereka berusaha untuk mendamaikan ide-ide baru dengan perspektif maknanya masing-masing. Transformative Learning juga dikatakan sebagai pembelajaran yang inovatif karena Transformative Learning dapat memberikan kemampuan kepada peserta didik untuk lebih percaya diri dengan membangun pondasi pembelajaran yang berorientasi kepada interaksi antara pendidik dan peserta didik. Pola interaksi menjadi alat untuk peserta didik agar dapat berpikir secara kritis sehingga peserta didik dapat memberikan kontribusi nyata bagi lingkungan sekitarnya.
Seorang pelajar akan belajar karena respon terhadap keinginan yang didasari untuk belajar, dan angan-angan pendidikan menyediakan kondisi-kondisi yang membantu belajar. Belajar ini merupakan kegiatan yang dikelola dan kegiatan ini justru mengarah pada penyelenggaraan asas pendidikan sepanjang hayat. Konsep ini bertujuan agar orang-orang sadar tentang diri mereka sebagai pelajar sepanjang hayat, melihat belajar baru sebagai cara yang logis untuk mengatasi problematika, dan terdorong untuk belajar di seluruh tingkat usia. McGonigal (2005) mengemukakan lima langkah implementatif agar transformasi peserta didik dapat terwujud, yaitu: (1) Activating event, yaitu peristiwa atau kejadian yang membuat peserta didik menyadari keterbatasan pengetahuan/pemahaman yang dimilikinya, (2) Ketersediaan ruang atau kesempatan untuk mengidentifikasi dan mengartikulasikan asumsi-asumsi yang mendasari pengetahuan awalnya tersebut, (3) Refleksi kritis, (4) Diskursus kritis, dengan dialog dan diskusi, dan (5) Kesempatan untuk menguji dan mengaplikasikan perspektif baru.
Dorongan untuk belajar terjadi karena dirasakan sebagai kebutuhan. Setiap orang merasa butuh untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya dalam menghadapi dorongan-dorongan dari dalam dan tantangan alam sekitar yang selalu berubah. Pendidikan bukan hanya didapatkan dari bangku sekolah saja, namun dapat diperoleh dari pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat melalui pengalaman-pengalaman yang dijalani dalam kehidupan manusia. Pendidikan akan terus berkesinambungan dengan proses kehidupan manusia sampai manusia itu sudah pergi meninggalkan alam dunia. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengungkapkan lebih jauh lagi mengenai perkembangan Transformative Learning ini sehingga akan lebih banyak studi literatur yang dapat mendukung penelitian pembelajaran trasnfomatif agar dapat memudahkan peneliti-peneliti di masa depan. Untuk studi masa depan, metodologi dapat ditingkatkan dengan menambahkan praktik Transformative Learning untuk menyarankan kemungkinan tindakan masa depan yang dapat dilakukan oleh peneliti selanjutnya.(*)
REFERENSI
Cranton, Patricia. (2002). Teaching for Transformation. In J.M. Ross Gordon (Ed.) Contemporary Viewpoints on Teaching Adults Effectively, New Directions for Adult and Continuing Education. San Francisco: Jossey-Bass.