Mohon tunggu...
Naufal Fajri
Naufal Fajri Mohon Tunggu... Lainnya - Community Education

Community Education

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Transformative Learning sebagai Sarana Belajar Sepanjang Hayat

28 September 2024   08:43 Diperbarui: 28 September 2024   12:33 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Transformative Learning adalah sebuah teori pembelajaran untuk orang dewasa yang menghendaki terjadinya suatu perubahan tertentu yang sifatnya mendasar pada diri peserta didik. Artinya, pembelajaran ini berurusan dengan aspek-aspek psikologis tertentu yang dipandang perlu untuk diubah pada diri peserta didik dan prosedur dalam mengupayakan terjadinya perubahan tersebut. Perubahan yang dimaksud terkait dengan adanya suatu stagnasi atau dilema tertentu yang bersumber pada dimensi kognitif ataupun emosional, sehingga yang bersangkutan sangat kesulitan untuk bisa menolong diri sendiri dalam rangka mengembangkan potensi dirinya lebih lanjut. Dalam keadaan seperti itu, bantuan pihak lain untuk mengupayakan terjadinya perubahan tertentu merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak, sehingga pendidik yang baik adalah yang dapat memahami kendala yang dialami peserta didik, yang dapat membantu untuk mengatasi kendala tersebut, dan yang dapat memberi inspirasi baru ke arah solusi yang lebih diharapkan, dan pada akhirnya terjadi perubahan baik dalam hal pemahaman, kesadaran serta pengalamannya.

Transformative Learning merupakan suatu pendekatan pengajaran berdasarkan pada mempromosikan perubahan, dimana pendidik menantang peserta didik untuk secara kritis mempertanyakan dan menilai integritas asumsi mereka yang dipegang teguh tentang bagaimana mereka berhubungan dengan dunia di sekitar mereka (Mezirow dan Taylor, 2009). Hal ini dilakukan melalui refleksi premis, bahwa kita sampai pada kerangka acuan yang lebih inklusif dan diskriminatif dan menghasilkan kesadaran kritis yang lebih besar tentang bagaimana dan mengapa asumsi kita membatasi cara kita memandang, memahami, dan merasakan tentang dunia kita (Mezirow, 1991).

Dalam dunia pendidikan, seseorang dapat dikatakan telah belajar jika telah mengalami perubahan. Maka, perubahan menjadi sesuatu yang mendasar bagi setiap orang yang belajar, baik anak-anak atau orang dewasa. Sejatinya, pendidikan adalah melakukan upaya penyadaran untuk mengalami sebuah perubahan dan pengembangan potensi dari masing-masing peserta didik. Transformative Learning pada dasarnya merupakan suatu pembelajaran yang menghasilkan suatu perubahan mendasar pada diri peserta didik. Adapun pengertian transformasi yang dikutip dari Webster Dictionary bahwa transformasi memiliki makna: (1) merubah bentuk, penampilan atau struktur, (2) mengubah kondisi, hakikat atau karakteristik, (3) mengganti substansi (Moedzakir, 2010). Transformative Learning menurut Mezirow (2000) didefinisikan sebagai suatu proses yaitu dengan mentransformasikan kerangka acuan (seperti pola pikir, kebiasaan pikiran, dan perspektif makna), kumpulan asumsi serta harapan yang problematis dan membuatnya lebih inklusif, memilah, terbuka, reflektif, dan secara emosional bisa berubah. Kerangka tersebut menjadi lebih baik karena berpeluang lebih besar untuk menumbuhkan keyakinan dan opini yang akan terbukti lebih benar atau dapat dijustifikasikan guna menuntun tindakan (Illeris, 2011).

Teori Transformative Learning pertama kali dikembangkan oleh Mezirow dan Marsick pada tahun 1978 dan dijadikan sebagai andragogi baru oleh beberapa para ahli sebagai pusat pembelajaran orang dewasa. Teori Transformative Learning menjelaskan asumsi, keyakinan, dan harapan orang dewasa tentang dunia sebagai bagian dari kerangka acuan untuk menyaring kesan indera dari individu itu sendiri tentang dunia yang mereka tempati. Transformative Learning dapat didefinisikan sebagai pembelajaran yang mengubah kerangka acuan yang bermasalah menjadi lebih inklusif, diskriminatif, reflektif, terbuka, dan mampu berubah secara emosional. Setelah proses Transformative Learning individu itu berhasil dicapai maka mereka akan melihat diri mereka sendiri dan dunianya dengan cara yang lebih unggul dari sebelumnya.

Latar belakang dan inspirasi asli diambil dari gerakan pembebasan perempuan di Amerika Serikat pada tahun 1970-an dan pada dasarnya mengacu pada perkembangan kesadaran dan pembebasan dari kondisi yang menyebabkan penindasan sosial dan pribadi terhadap perempuan. Hal ini dapat dilihat sebagai paralel dengan upaya Paulo Freire untuk membantu pekerja pertanian Brasil yang buta huruf membebaskan diri mereka sendiri melalui kombinasi pendidikan dan peningkatan kesadaran (Freire, 1970), yang juga dirujuk oleh Mezirow (Mezirow, 1978). Namun, Mezirow juga menjadikan gerakan pembebasan perempuan sebagai titik tolaknya untuk pengembangan teori umum dan ide-idenya tentang Transformative Learning (Mezirow, 1978). Selama dekade berikutnya, teori dan ide Mezirow telah menjadi kontribusi yang terkenal dan diakui secara internasional untuk memahami apa yang dapat dianggap sebagai jenis pembelajaran manusia yang paling maju.

Studi asli Mezirow, yang berfokus pada perubahan perspektif yang dialami oleh wanita yang kembali ke pendidikan formal setelah lama istirahat dari sekolah, membuat beberapa wawasan yang mengungkapkan tentang bagaimana kita memahami pembelajaran di masa dewasa dan peran pembelajaran sebelumnya. Belajar, menurut Mezirow adalah dipahami sebagai proses menggunakan interpretasi sebelumnya untuk menafsirkan interpretasi baru atau revisi makna pengalaman seseorang untuk memandu tindakan masa depan. Mezirow memproyeksikan skema makna pembelajaran sebelumnya ke pengalaman sensorik dan secara imajinatif menggunakan analogi untuk menafsirkan pengalaman baru (Mezirow, 1996).

Teori Transformative Learning menjelaskan proses menggunakan pengalaman kita sendiri, dari pada nilai-nilai yang telah kita asimilasi secara tidak kritis dari orang lain, untuk memahami dunia di sekitar kita. Proses ini yang mengharuskan kita untuk merefleksikan keyakinan kita, menilai validitasnya, dan memeriksa struktur dasarnya yang bersifat inkremental, artinya kita sering tidak menyadari bahwa transformasi sedang berlangsung. Menurut Cranton (2002) pada intinya teori Transformative Learning sangat sederhana. Melalui beberapa peristiwa, seorang individu menjadi sadar dalam memegang pandangannya. Mereka secara kritis akan memeriksa pandangan tersebut, membuka dirinya terhadap alternatif, dan pada akhirnya akan mengubah cara mereka melihat sesuatu dan mengubah beberapa bagian dari cara mereka tentang makna dunia.

Transformative Learning adalah salah satu teori belajar yang muncul di bidang pendidikan orang dewasa dan menawarkan teori belajar yang unik bagi orang dewasa (Taylor, 2007). Mezirow mendefinisikan Transformative Learning sebagai proses pembelajaran dan perubahan orang dewasa. Sebagai orang dewasa, mereka menghadapi situasi dimana metode sebelumnya untuk mengatasi atau membuat makna tentang dunia menjadi tidak efektif. Dilema ini menyebabkan tekanan dan kecemasan individu sehingga mereka secara kritis memeriksa asumsi budaya yang telah mengarahkan tindakan mereka sebelumnya. Dalam lingkungan yang mendukung, pemeriksaan dapat menghasilkan perspektif makna yang lebih efektif (Mezirow, 1978). Mezirow mendefinisikan perspektif makna sebagai struktur asumsi psiko-budaya dimana pengalaman baru diasimilasi dan diubah oleh pengalaman masa lalu seseorang.

Transformative Learning dibangun oleh dua struktur kerangka acuan; struktur pertama adalah skema makna yang mengandung keyakinan tentang bagaimana sesuatu bekerja, bagaimana melakukan sesuatu, bagaimana memahami sesuatu, seseorang, dan kelompok, serta bagaimana memahami diri sendiri. Sedangkan struktur kedua adalah perspektif makna, yaitu struktur asumsi dimana pengalaman masa lalu seseorang mengasimilasi dan mengubah pengalaman mereka menjadi baru. Keyakinan perspektif makna mungkin mencakup; gagasan tentang peran seseorang di dunia, pentingnya keluarga atau identitas seseorang itu sendiri. Dengan demikian, penting untuk dicatat bahwa kerangka acuan mungkin juga kecenderungan dengan dimensi kognitif, afektif, dan konatif  (Mezirow, 2009). Sulit untuk menghindari kesimpulan bahwa kerangka acuan mungkin hampir semua aspek identitas seseorang dan bahwa setiap perubahan di dalamnya dapat merupakan sebuah transformasi.

Transformasi yang digunakan Mezirow adalah domain konseptual untuk meningkatkan kesadaran, menjadi bebas dari masa lalu, mengubah cara pandang tentang dunia, melampaui batasan diri, mewujudkan masa depan yang berorientasi, tercerahkan, dan terbuka secara spiritual serta menciptakan rasa ketidakpuasan yang menghasilkan dorongan dari diri seseorang untuk memperbesar pemahaman dan apresiasi mereka terhadap kehidupan. Mezirow mencatat ironi bahwa program yang dia pelajari, dan dari mana teori muncul, telah mengubah perspektif ratusan ribu wanita melalui kelas peningkatan kesadaran, namun tidak pernah menemukan jalan mereka untuk membawanya ke dalam literatur pendidikan orang dewasa.

Proses transformasi ini menciptakan sebuah kerangka konseptual melalui kegiatan Transformative Learning yang bisa dibilang sebagai sebuah proses awal untuk membawa legitimasi melalui peningkatan kesadaran dalam pendidikan orang dewasa. Mezirow (Mezirow dan Marsick, 1978) mengusulkan bahwa tujuan pendidikan orang dewasa harus mendorong gerakan menuju tingkat perkembangan yang lebih tinggi pada tahap kedewasaan melalui Transformative Learning yaitu pengalaman yang membantu orang dewasa melihat sumber kebutuhan mereka. Transformative Learning merupakan sebuah pencerahan revolusioner dalam jiwa seseorang. Bukan hanya sekedar pembelajaran keterampilan atau ide, atau hanya kebangkitan dalam beberapa pengertian spiritual saja, akan tetapi kebangkitan yang mengarah pada pembelajaran baru yang sebaliknya tidak pernah terjadi sebelumnya. Transformative Learning adalah sebuah proses dimana seseorang mengalami perubahan kerangka acuan berpikir. Kerangka ini menentukan apa yang diketahui dan bagaimana orang mengetahui. Seseorang yang mengalami perubahan jenis ini berarti memperoleh kemampuan untuk melakukan refleksi kritis terhadap asumsi-asumsi, kepercayaan, nilai-nilai, dan perspektif yang melekat pada diri sendiri maupun orang lain. Namun, proses ini tidak hanya melibatkan operasi kognitif dan rasional, tetapi juga melibatkan pergerakan emosional.

Transformative Learning menitikberatkan pada proses penyadaran diri individu untuk berubah secara reflektif, terbuka, dan kritis terhadap permasalahan hidup. Dalam konsepnya, individu akan bertransformasi menjadi pembelajar yang mampu mengarahkan diri sendiri sehingga dapat mencapai sebuah perubahan, baik dalam segi pemahaman, kesadaran maupun pengalamannya. Secara khusus, pembelajaran ini dikembangkan untuk menemukan model pembelajaran yang mampu secara efektif menumbuhkembangkan kreatifitas belajar  sebagai salah satu bentuk perubahan pada diri individu. Lebih lanjut, Transformative Learning merupakan proses pembelajaran yang berorientasi pada perubahan diri seseorang, baik sisi kognitif (cara berpikir), afektif (sikap dan nilai) maupun dalam psikomotorik (keterampilan). Proses perubahan ini didasari oleh kesadaran atas kesalahan atau kelemahan yang dimiliki individu, sehingga akan merubah perspektif baru yang dinilai tepat agar menjadi pondasi dalam melakukan sebuah transformasi.

Pendidikan sepanjang hayat didefinisikan sebagai pengembangan potensi manusia melalui proses yang medukung secara terus menerus yang menstimulasi dan memberdayakan individu-individu agar memperoleh semua pengetahuan, nilai-nilai, keterampilan-keterampilan, dan pemahaman. Semuanya itu akan diperoleh dalam keseluruhan hidup individu dan kemudian menerapkannya dengan penuh percaya diri, penuh kreatifitas, dan menyenangkan dalam seluruh peran, iklim, dan lingkungan (Longworth dan Davies, 1996). Transformative Learning sebagai sarana belajar sepanjang hayat memiliki tujuan untuk memberikan kesadaran bagi masyarakat agar mereka memiliki komitmen yang kuat untuk mengalami perubahan dalam hidupnya. Transformative Learning adalah produk refleksi kritis tentang pengalaman yang mengarah pada perubahan perspektif individu peserta didik. Transformasi akan terjadi apabila asumsi masa lalu disadari oleh pembelajar sebagai sesuatu yang tidak logis dan mereka berusaha untuk mendamaikan ide-ide baru dengan perspektif maknanya masing-masing. Perspektif makna ini sebagai sumber belajar dengan membuat makna dari pengalaman manusia. Merefleksikan pembelajaran sebelumnya menunjukkan apakah konten tetap relevan dalam keadaan sekarang, atau apakah pengambilan keputusan di masa depan memerlukan interpretasi, pemahaman, apresiasi, dan tindakan yang direvisi (Mezirow, 1990).

Urgensi berkembangnya pendidikan sepanjang hayat dilatarbelakangi oleh kondisi nyata bangsa-bangsa di dunia yang dihadapkan pada kian banyaknya pengangguran, bertambahnya penduduk miskin, melemahnya standar kehidupan dalam populasi penduduk dunia yang makin bertambah, dan makin tajamnya jurang antara yang kaya dan yang miskin. Kondisi tersebut menjadi inspirasi dan kunci bagi berkembangnya belajar sepanjang hayat melalui pengembangan potensi manusia (Longworth dan Davies, 1996). Tujuan Transformative Learning (Soenarwan, 2008) adalah untuk mentransformasikan pembelajar ke dalam suatu keadaan sehingga mereka dapat mencapai pembelajaran, mengembangkan semua potensi yang diinginkan, dan untuk memperkuat serta memotivasi pembelajar dalam usaha pengalaman belajarnya. Transformative Learning merupakan model pembelajaran yang dikembangkan dari perspektif transformasi.

Pendidikan sepanjang hayat mempunyai ruang lingkup sepanjang kehidupan manusia. Artinya, seluruh kegiatan pendidikan berlangsung seumur hidup bagi seorang manusia dan juga berlangsung di mana saja. Jangka waktu dan tempat kegiatan pembelajaran mencakup dan memadukan semua tahapan pendidikan dan tidak terhenti pada seluruh kegiatan pendidikan masa persekolahan saja. Jadi, pendidikan sepanjang hayat meliputi semua pola kegiatan pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal, baik kegiatan belajar yang terencana maupun yang bersifat insidental (Suhartono, 2008). Pendidikan sepanjang hayat bertumpu pada keyakinan bahwa pendidikan itu tidak identik dengan persekolahan, pendidikan sepanjang hayat merupakan suatu proses berkesinambungan yang berlangsung sepanjang hayat (Cropley, 2001).

Mezirow (1995) sendiri menekankan bahwa proses yang paling signifikan dalam Transformative Learning terjadi pada domain komunikatif, yakni bermula dari identifikasi masalah, nilai-nilai, atau perspektif awal, pengujian asumsi, dialog dengan diskursus kritis, hingga pada pengambilan kesimpulan berdasarkan hasil diskursus. Salah satu produk dari Transformative Learning adalah terciptanya sebuah kreatifitas dan kecerdasan bertindak dalam proses interaksi melalui sebuah kegiatan pembelajaran yang dapat meningkatkan kepercayaan diri peserta didik. Sebagai bagian dari pembelajaran yang inovatif, Transformative Learning dapat memberikan kemampuan kepada peserta didik untuk lebih percaya diri dengan membangun pondasi pembelajaran yang berorientasi kepada interaksi antara pendidik dan peserta didik. Pola interaksi ini merupakan salah satu faktor yang sangat penting, dimana transformasi dapat dimulai dan didirikan. Interaksi menjadi alat untuk peserta didik agar dapat berpikir secara kritis dan mewujudkan pembelajaran sosial yang dipraktikkan oleh individu itu sendiri. Komunikasi dengan penuh rasa percaya diantara masing-masing individu adalah faktor kunci yang mengarah pada kesuksesan dan transformasi peserta didik.

Patricia Cranton (2012) memahami Transformative Learning sebagai kegiatan pembelajaran yang ditujukan untuk proses penyadaran peserta didik terhadap kesalahan atau kelemahan persepektif dan asumsi dasar yang dimiliki untuk kemudian beralih pada perspektif baru yang dinilai tepat. Melalui Transformative Learning, para peserta didik dikondisikan untuk secara terus menerus melakukan refleksi, mempertanyakan atau bahkan menggugat terhadap perspektif yang telah dimiliki selama ini. Adapun strategi implementasi model Transformative Learning diantaranya sebagai berikut:

1.  Persiapan Pembelajaran

a. Melakukan prakondisi kepada peserta didik.

b. Penyiapan perangkat dan media pembelajaran.

c. Pengaturan latar belajar.

d. Penyiapan strategi monitoring dan evaluasi belajar.

e. Peningkatan pemahaman pendidik tentang Transformative Learning.

2. Pelaksanaan Pembelajaran

a. Mengubah peran pendidik menjadi fasilitator belajar.

b. Memperlakukan peserta didik sebagai subjek belajar.

c. Mendayagunakan pengalaman peserta didik dan potensi lingkungan sebagai penunjang sumber belajar.

d. Membangun interaksi pembelajaran berbasis interaksi konsultatif-dialogik.

e. Rambu-rambu pola interaksi edukatif dalam Transformative Learning.

f. Memilih dan menggunakan kata-kata persuasif dalam pembelajaran.

g. Persyaratan pendidik dalam pembelajaran fasilitatif.

h. Suasana kreatif dalam proses Transformative Learning.

3. Evaluasi pembelajaran

Sebagai produk belajar yang bercirikan kinerja proses, evaluasi pembelajaran pada model transformative learning difokuskan pada performansi peserta didik sebagai indikatornya. Untuk memperkuat hasil evaluasi perlu juga diungkapkan aspek-aspek pembelajaran seperti jadwal pembelajaran, lama belajar, waktu belajar, bahan belajar, metode belajar, dan relevansi kualifikasi pendidik. Selain itu, model transformative learning diharapkan mampu untuk menghasilkan dampak pembelajaran seperti tanggung jawab dan kepercayaan diri dari peserta didik dalam setiap pikiran dan tindakan yang dilakukan. Fokus utama evaluasi pada transformative learning adalah self evaluation, self improvement, critical reflective, dan self awareness (Hardika, 2012).

Menurut Erich Fromm, yang diangkat kembali oleh Harefa dalam bukunya yang berjudul "Menjadi Manusia Pembelajar" dikatakan bahwa pendidikan telah banyak menganut pola antagonisme pendidikan "gaya bank," yaitu guru mengajar sedangkan murid diajar; guru tahu segalanya sedangkan murid tidak tahu apa-apa; guru berpikir sedangkan murid dipikirkan; guru bicara sedangkan murid mendengarkan; guru mengatur sedangkan murid diatur; guru memilih dan memaksakan pilihannya sedangkan murid menuruti dan menyesuaikan kehendaknya; guru bertindak sedangkan murid membayangkan bagaimana tindakan sesuai dengan tindakan gurunya; guru memilih apa yang akan diajarkan sedangkan murid menyesuaikan; dan guru bertindak sebagai subjek belajar sedangkan murid adalah objeknya. Dalam pendidikan gaya bank tidak terjadi komunikasi dua arah yang berarti bahwa selama proses pembelajaran hanya terjadi komunikasi monolog dan hafalan. Pendidikan gaya bank berakibat tidak adanya kemitraan dan kebersamaan, sehingga kurang mampu menghasilkan aktifitas dan kreatifitas belajar (Harefa, 2005).

Sedangkan kegiatan Transformative Learning memfasilitasi peserta didik untuk dapat mengembangkan setiap potensi yang dimiliki karena sifat pembelajaran yang mengedepankan pola interaksi dua arah. Peserta didik diberikan kenyamanan untuk mengekplorasi setiap pengetahuan yang dimilikinya sehingga membuat suasana pembelajaran berjalan dengan menarik sehingga menciptakan pola pembelajaran yang komunikatif. Transformative Learning mengacu pada proses yang menghasilkan perubahan signifikan dan tidak dapat diubah dalam cara seseorang mengalami, mengkonseptualisasikan, dan berinteraksi dengan dunia. Deskripsi pengalaman, konseptualisasi, dan interaksi peserta didik mencerminkan berbagai cara hasil transformatif yang dapat mempengaruhi orang lain. Tetapi, bukan berarti peran pendidik tidak diperlukan dalam Transformative Learning ini, hanya saja lebih memfokuskan dan menciptakan pola interaksi yang komunikatif antara pendidik dan peserta didik sehingga dapat mengakui eksistensinya masing-masing sebagai manusia pembelajar baik bagi diri sendiri dan orang lain.

Perolehan pendidikan merupakan prasyarat bagi perkembangan kehidupan manusia, yaitu untuk meningkatkan kemampuannya agar manusia selalu melakukan kegiatan belajar guna memenuhi kebutuhan hidupnya (Sudjana, 2001). Menurut Illeris (2011) perolehan pendidikan tersebut dapat diberikan melalui proses Transformative Learning yang meliputi: (1) merenungkan secara kritis sumber, karakteristik, dan konsekuen dari asumsi-asumsi yang relevan dari kita sendiri maupun orang lain. (2) dalam pembelajaran instrumental, menetapkan kebenaran bahwa sesuatu adalah benar (sesuai dengan apa yang dikatakan tentangnya) dengan menggunakan metode riset empiris, (3) dalam pembelajaran komunikatif, tiba pada keyakinan yang dapat dijustifikasi dengan cara berperan serta secara penuh dan bebas dalam wacana yang berwawasan dan berkesinambungan. (4) menjalankan perspektif yang telah tertransformasikan yaitu dengan mengambil keputusan dan menempuh apa yang telah kita yakini sampai kemudian menemukan fakta, argumen atau perspektif baru yang menyebabkan orientasi tersebut bermasalah dan menghendaki pertimbangan ulang. (5) menghasilkan kecenderungan alamiah sehingga menjadi lebih reflektif dan kritis terhadap asumsi sendiri dan pihak lain, mengusahakan pengesahan atas wawasan transformatif kita dengan berpartisipasi secara lebih leluasa dan penuh dalam wacana serta menindaklanjuti keputusan dengan menjalankan wawasan yang sudah tertransformasikan.

KESIMPULAN

Belajar sepanjang hayat adalah suatu konsep tentang belajar terus menerus dan berkesinambungan dari buaian sampai akhir hayat, sejalan dengan fase-fase perkembangan pada manusia. Transformative Learning sebagai sarana belajar sepanjang hayat bisa dijadikan rujukan bagi semua orang bahwa ketika manusia itu masih hidup, mereka akan terus mengalami proses pembelajaran, tidak ada kata berhenti untuk belajar. Transformative Learning menyediakan ruang bagi para peserta didik untuk terus belajar dalam kondisi apapun. Tidak ada syarat batasan usia yang dapat menjadi hambatan setiap individu untuk melanjutkan pendidikan. Kemauan dan kerja keras adalah salah satu kunci mereka dapat senantiasa memahami apa yang kurang dari dalam diri mereka sehingga setiap kekurangannya tersebut dapat dijadikan motivasi untuk belajar sepanjang hidupnya. Pembinaan daya intelektual individu manusia melalui pendidikan yang tepat akan membina mereka untuk mengeluarkan semua potensi yang ada dalam dirinya untuk kemudian dapat memberikan kontribusi besar bagi pembangunan bangsa dan negara.

Transformative Learning sebagai sarana belajar sepanjang hayat memiliki tujuan untuk memberikan kesadaran bagi peserta didik agar mereka memiliki komitmen yang kuat untuk mengalami perubahan dalam hidupnya. Transformative Learning adalah produk refleksi kritis tentang pengalaman yang mengarah pada perubahan perspektif individu peserta didik. Transformasi akan terjadi apabila asumsi masa lalu yang disadari oleh pembelajar sebagai sesuatu yang tidak logis dan mereka berusaha untuk mendamaikan ide-ide baru dengan perspektif maknanya masing-masing. Transformative Learning juga dikatakan sebagai pembelajaran yang inovatif karena Transformative Learning dapat memberikan kemampuan kepada peserta didik untuk lebih percaya diri dengan membangun pondasi pembelajaran yang berorientasi kepada interaksi antara pendidik dan peserta didik. Pola interaksi menjadi alat untuk peserta didik agar dapat berpikir secara kritis sehingga peserta didik dapat memberikan kontribusi nyata bagi lingkungan sekitarnya.

Seorang pelajar akan belajar karena respon terhadap keinginan yang didasari untuk belajar, dan angan-angan pendidikan menyediakan kondisi-kondisi yang membantu belajar. Belajar ini merupakan kegiatan yang dikelola dan kegiatan ini justru mengarah pada penyelenggaraan asas pendidikan sepanjang hayat. Konsep ini bertujuan agar orang-orang sadar tentang diri mereka sebagai pelajar sepanjang hayat, melihat belajar baru sebagai cara yang logis untuk mengatasi problematika, dan terdorong untuk belajar di seluruh tingkat usia. McGonigal (2005) mengemukakan lima langkah implementatif agar transformasi peserta didik dapat terwujud, yaitu: (1) Activating event, yaitu peristiwa atau kejadian yang membuat peserta didik menyadari keterbatasan pengetahuan/pemahaman yang dimilikinya, (2) Ketersediaan ruang atau kesempatan untuk mengidentifikasi dan mengartikulasikan asumsi-asumsi yang mendasari pengetahuan awalnya tersebut, (3) Refleksi kritis, (4) Diskursus kritis, dengan dialog dan diskusi, dan (5) Kesempatan untuk menguji dan mengaplikasikan perspektif baru.

Dorongan untuk belajar terjadi karena dirasakan sebagai kebutuhan. Setiap orang merasa butuh untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya dalam menghadapi dorongan-dorongan dari dalam dan tantangan alam sekitar yang selalu berubah. Pendidikan bukan hanya didapatkan dari bangku sekolah saja, namun dapat diperoleh dari pendidikan yang berlangsung sepanjang hayat melalui pengalaman-pengalaman yang dijalani dalam kehidupan manusia. Pendidikan akan terus berkesinambungan dengan proses kehidupan manusia sampai manusia itu sudah pergi meninggalkan alam dunia. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengungkapkan lebih jauh lagi mengenai perkembangan Transformative Learning ini sehingga akan lebih banyak studi literatur yang dapat mendukung penelitian pembelajaran trasnfomatif agar dapat memudahkan peneliti-peneliti di masa depan. Untuk studi masa depan, metodologi dapat ditingkatkan dengan menambahkan praktik Transformative Learning untuk menyarankan kemungkinan tindakan masa depan yang dapat dilakukan oleh peneliti selanjutnya.(*)

REFERENSI

Cranton, Patricia. (2002). Teaching for Transformation. In J.M. Ross Gordon (Ed.) Contemporary Viewpoints on Teaching Adults Effectively, New Directions for Adult and Continuing Education. San Francisco: Jossey-Bass.

Cranton, Patricia, and Edward W Taylor. (2012). Transformative Learning Theory: Seeking A More Unified Theory. In Handbook of Transformative Learning: Theory, Research and Practice, edited J. Yee et al. by Edward W. Taylor and Patricia Cranton. San Francisco: Jossey-Bass.

Cropley. 2001. Pendidikan Sepanjang Hayat. Penyunting M. Sarjan Kadir. Surabaya: Usaha Nasional.

Denney, A. S., and Tewksbury, R. (2013). How to Write a Literature Review. Journal of Criminal Justice Education, 24 (2), 218-234.

Freire, P. (1970). Pedagogy of The Oppressed. New York: Seabury.

Hardika. (2012). Pembelajaran Transformatif Berbasis Learning How to Learn.
Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.

Harefa, A. (2005). Menjadi Manusia Pembelajar (On Becoming a Learner): Pemberdayaan Diri, Transformasi Organisasi dan Masyarakat Lewat Proses Pembelajaran. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Illeris, K. (2011). Contemporary Theories of Learning. London, New York: Routledge.

Longworth, N and Davies, W.K. 1996. Lifelong Learning. London: Kogan Page Limited.

McGonigal, K. (2005). Teaching for Transformation: From Learning Theory to Teaching Strategies. Speaking of Teaching (Newsletter), The Center for Teaching and Learning, Stanford University, 14 (2).

Mezirow, J. (1978). Perspective Transformation. Adult Education, 28, 100-110.

Mezirow, J., Marsick, V. (1978). Education for Perspective Transformation: Women's Re-entry Programs in Community College. New York: Teachers College, Columbia University.

Mezirow, J., ed. (1990). Fostering Critical Reflection in Adulthood: A Guide to Transformative and Emancipatory Learning. San Francisco: Jossey-Bass.

Mezirow, J. (1991). Transformative Dimensions of Adult Learning. San Francisco: Jossey-Bass.

Mezirow, J. (1995). Transformation Theory of Adult Learning. In M. R. Welton (Ed.), in Defense of The Life World. New York: SUNY Press.

Mezirow, J. (1996). Contemporary Paradigms of Learning. Adult Education Quarterly, 46, 158-172.

Mezirow, J., Taylor, E. W. (Eds.). (2009). Transformative Learning in Practice: Insights from Community, Workplace, and Higher Education. San Francisco: Jossey-Bass.

Moedzakir, Djauzi. (2010). Metode Pembelajaran untuk Program-Program Pendidikan Luar Sekolah. Malang: UM Press.

Soenarwan. (2008). Pendekatan Sistem dalam Pendidikan. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Sudjana, Djudju. 2001. Pendidikan Luar Sekolah: Wawasan, Sejarah Perkembangan Falsafah, Teori Pendukung Azas. Bandung: Falah Production.

Suhartono, Suparlan. 2008. Wawasan Pendidikan (Sebuah Pengantar Pendidikan). Yogyakarta: AR-RUZZ Media Group.

Taylor, E. W. (2007). An Update of Transformative Learning Theory: A Critical Review of The Empirical Research (1999-2005). International Journal of Lifelong Education, 26, 173-191.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun