Mohon tunggu...
Naufal Fadhil MR
Naufal Fadhil MR Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

mahasiswa aktif telkom university

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Metode Penguburan dalam Kepercayaan Megalitik

13 November 2023   09:45 Diperbarui: 13 November 2023   10:26 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komunikasi sosial dilakukan dengan pesta seko yaitu penyembelihan untuk makhluk halus yang korbannya adalah seekor kerbau. Dalam pesta seko juga dilakukan pembersihan harta karun, selain ukiran daun lontar atau tanduk kerbau, tongkat, pedang, bilah, kalung khusus, tembikar Cina dan barang-barang penting lainnya. Atau istilah lainnya kenduri seko dilakukan menjaga silaturahmi dengan mambang dan arwah para pendahulu sambil memanggil nama para pendahulu hingga tak sadarkan diri. Perkataan yang terlontar dari mulut seorang yang tak sadarkan diri dipercaya merupakan pesan nenek moyang sekaligus pertanda telah terjalinnya kembali tali keakraban antar pendahulu dan sanak saudaranya. Akibat arwah nenek moyang menjelma menjadi macan, maka mereka yang dipercaya telah tergerak oleh arwah para pendahulu yang sewaktu-waktu bergemuruh bagaikan macan. Pada malam hari ada gerakan dan persembahan daging dan darah (kerbau) yang tergeletak di pinggir kota untuk para arwah pendahulu.  

Terakhir komunikasi budaya tempayan kubur saat ini misalnya perkenalan kepala kota yang dilakukan di kenduri sekolah membuat sumpah suci (koral persembahkan) yang menandai koalisi antara manusia dan makhluk halus. Roh-roh tersebut tidak hanya sebagai pihak yang menyetujui persatuan, namun juga sebagai penjaga sumpah. Mengikuti cara untuk mengungkapkan ketergantungan karang, para makhluk halus mengucapkan sumpah perbayo yang ditujukan kepada individu yang melanggar sumpah suci. Ini ada kaitannya dengan sosial bahwa untuk menandai sumpah tersebut disembelih kerbau dan kepalanya dipasang di sekitar tempat bergaya sebagai sumbangan kepada roh. Jiwa kerbau diterima sebagai pengamat tersumpah. Sebagian dagingnya dimasak untuk dimakan bersama warga setempat yang ikut serta dalam perkumpulan dan sebagian daging baru ditaruh di pinggir kota untuk diperkenalkan kepada makhluk halus 

d. Relevansi Nilai Budaya Berdasarkan informasi tersebut, maka tempayan kubur dapat terlihat bahwa sisa-sisa kebudayaan lama masih sulit dipertahankan di kalangan masyarakat sekitar, namun mereka secara pribadi tidak mengetahui atau mengakui keterkaitan dengan kebudayaan besar dan guci kuburan. Kepercayaan yang tersisa di wilayah tersebut tampaknya masuk akal, meskipun faktanya agama Islam telah menggantikan keyakinan lama. Kepercayaan yang tidak mengakar terhadap ajaran Islam dan didapat dari cerita rakyat dan adat istiadat. Dipercaya secara kuat bahwa sisa keyakinan pernah hidup dan berkreasi serta menjelma menjadi sebuah gagasan yang melandasi pembuatan monumen dan penutup wadah pada masa lampau. Maka sekarangpun terdapat dibeberapa meseum untuk menghormati nilai budayanya. 

e. Nilai Komunikasi Ada keyakinan pada kepercayaan setelah mati bahwa landasan untuk memberikan pengaturan serius kepada individu yang telah meninggal adalah keyakinan akan kehidupan kekal. Individu pada masa budidaya telah mendominasi habitat umum disekitarnya dan nilai-nilai kehidupannya semakin berkembang. Salah satu perbaikan nyata dalam arena publik adalah mentalitas menuju ranah kehidupan setelah mati. Pada masa ini, masyarakat percaya bahwa jiwa seseorang yang meninggal tidak hilang begitu saja. Makhluk halus dianggap mempunyai kehidupan di wilayahnya sendiri yang sama dengan kehidupan ketika ia masih hidup. Akhirnya, identitas individu yang meninggal biasanya disertai dengan bekal di mana mereka dikubur. Dengan mengetahui adanya metode penguburan tempayan, maka dalam lingkup dunia pendidikan akan terus terhubung untuk ilmu penguburan ini. 

Penulisan artikel ini memuat kesimpulan bahwa salah satu metode yang digunakan pada masa kepercayaan megalitik adalah kubur tempayan yang berbentuk wadah dan jasad manusia dimasukkan ke dalamnya dengan cara ditekukkan ataupun diringkukkan. Dengan mengetahui informasi tersebut bisa kita ambil dari sisi komunikasi ritual/sosial/budaya Dipercaya secara kuat bahwa sisa keyakinan pernah hidup dan berkreasi serta menjelma menjadi sebuah gagasan yang melandasi pembuatan monumen dan penutup wadah pada masa lampau untuk menghargai apa yang terjadi di masa prasejarah 

REFERENSI Aziz, F.A (1998). Karakteristik dan Sebaran Situs Kubur Tempayan di Asia Daratan dan Kepulauan, Kawasan Asia Tenggara. Buku. Berkala Arkeologi, 18(2), 57-71. https://doi.org/10.30883/jba.v18i2278 Budisantosa, T.M (2015). Kuburan Tempayan Di Siulak Tenang, Dataran Tinggi Jambi Dalam Perspektif Ekonomi, Sosial Dan Kepercayaan. Forum Arkeologi, 28(1), 1-10. Indriastuti, K (2019). Tempayan Kubur Di Desa Tebat Monok, Kecamatan Kepahiang, Kabupaten Kapahiang, Provinsi Bengkulu. Siddhayatra: Jurnal Arkeologi, 24(2), 106- 119.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun