Mohon tunggu...
Naufal Fadhil
Naufal Fadhil Mohon Tunggu... Mahasiswa - Karyawan Swasta

Penikmat Filsafat, Pemerhati Media Sosial & Studi Gerakan Islam

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Buzzer Politik : Patologi Demokrasi di Era Digital

10 Januari 2025   00:06 Diperbarui: 10 Januari 2025   00:06 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena buzzer di era digital telah menjadi salah satu isu paling hangat dalam perpolitikan Indonesia. Kehadiran buzzer mencerminkan bagaimana perkembangan teknologi informasi telah dimanfaatkan tidak hanya untuk menyebarkan informasi, tetapi juga untuk mengarahkan opini publik secara masif dan terencana. Dalam konteks ini, buzzer berfungsi sebagai aktor politik yang memainkan peran strategis dalam membentuk narasi, baik untuk mendukung kandidat tertentu, menyerang lawan politik, maupun menciptakan isu yang memecah belah masyarakat.

Media sosial, yang awalnya dirancang sebagai ruang demokrasi, kini kerap berubah menjadi medan manipulasi. Kehadiran buzzer tidak hanya mengancam dialog publik yang sehat tetapi juga menambah kompleksitas lanskap politik modern. Mereka memanfaatkan algoritma media sosial untuk menyebarkan narasi tertentu dengan tujuan utama memengaruhi persepsi dan tindakan masyarakat.

1. Buzzer sebagai Alat Kekuasaan Tersembunyi

Dalam pandangan Foucault, kekuasaan tidak selalu bersifat eksplisit, tetapi sering kali tersembunyi dan beroperasi melalui mekanisme yang halus. Fenomena buzzer menjadi manifestasi dari kekuasaan modern yang tersembunyi ini. Buzzer bekerja dengan memanfaatkan algoritma media sosial untuk membangun narasi yang menguntungkan pihak tertentu, baik untuk kepentingan politik maupun ekonomi.

Media sosial yang pada awalnya dimaksudkan sebagai ruang demokratis kini bertransformasi menjadi alat manipulasi. Narasi yang disebarkan oleh buzzer sering kali dirancang untuk menciptakan bias tertentu, sehingga masyarakat tanpa sadar menjadi bagian dari agenda politik yang lebih besar. Dalam konteks ini, buzzer dapat dianggap sebagai agen "biopolitik," yang mengontrol cara masyarakat berpikir dan bertindak.

2. Masyarakat "Sakit" dan Patologi Sosial

Konsep "sick civilization" Foucault menggambarkan masyarakat modern sebagai entitas yang terjebak dalam patologi sosial akibat dominasi kekuasaan. Dalam konteks buzzer, patologi ini terlihat jelas melalui penyebaran hoaks, misinformasi, dan politik identitas yang kerap memecah belah masyarakat.

Buzzer tidak hanya menyebarkan informasi yang salah, tetapi juga memanfaatkan ketakutan, kebencian, dan sentimen kelompok untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari isu-isu penting. Akibatnya, ketegangan sosial meningkat, dan hubungan antarkelompok menjadi semakin rapuh. Dalam situasi ini, masyarakat menjadi korban sekaligus pelaku dari patologi sosial yang terus berulang.

3. Pengaruh terhadap Demokrasi

Demokrasi yang sehat membutuhkan dialog yang jujur dan terbuka. Namun, fenomena buzzer justru memperburuk kualitas demokrasi dengan menciptakan ruang penuh manipulasi dan disinformasi. Alih-alih menjadi alat pemberdayaan masyarakat, media sosial sering kali digunakan untuk membungkam lawan politik dan memanipulasi opini publik.

Pengaruh algoritma media sosial memperburuk situasi ini. Pengguna cenderung hanya terpapar pada informasi yang mendukung pandangan mereka, memperkuat bias konfirmasi, dan menghambat diskusi lintas kelompok. Akibatnya, fragmentasi sosial semakin tajam, dan kepercayaan terhadap institusi demokrasi melemah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun