Hamka dibuat kagum oleh Tuan Tjokroaminoto yang mampu menerangkan hubungan Islam dengan ide sosialisme-komunisme yang saat itu sedang digandrungi kaum muda. Sedangkan, bersama Surjopranoto, ia mendapat pelajaran sosiologi agama. Adapun bersama Haji Fakhruddin, Hamka memperoleh materi tentang penguatan akidah.
Dalam kursus itu pula, Hamka mulai mengenal magnum opus karya Muhammad Abduh, seorang tokoh pembaharu Islam dari Mesir.Â
Pasalnya, dalam kursus itu, Ki Bagus Hadikusumo mengajarkan tafsir Al-Manar karangan Abduh yang fenomenal pada sekitar awal abad ke-20.Â
Namun, secara pribadi, Hamka menyayangkan penggunaan metode pembelajaran tafsir yang dibawakan oleh tokoh Muhammadiyah tersebut.
Modal Seorang Mubalig
Hamka yang berusia remaja menghabiskan waktu selama satu tahun di Jawa. Setelah itu, ia kembali ke kampung halaman dengan membawa bekal-bekal ilmu yang didapatkannya.Â
Sesampainya di kampung, Hamka secara perlahan mulai berani unjuk tampil di muka, menyampaikan ilmu seraya mempraktikkan retorika ala tokoh-tokoh Islam yang ia ambil ilmunya di Jawa.
Berkat pengaruh figur Tjokroaminoto, kemampuan retorika Hamka meningkat. Pidatonya di hadapan massa mampu memikat hati. Bila Hamka berpidato di depan sebayanya, tampaklah semangat mudanya nyala berkobar.Â
Kandungan pidato yang disampaikannya berisi, tidak seperti pada umumnya. Hal itu disebabkan, karena sewaktu mengikuti kursus SI di Jawa, pelajaran yang diberikan kepadanya lebih banyak berkutat soal ideologi, politik, dan kondisi sosial yang sesuai dengan jiwa zaman itu.
Meski Hamka fasih berbicara dengan gaya retorikanya sendiri. Haji Rasul, ulama terpandang dari Minang yang juga ayahnya sendiri mengetahui titik kelemahan putranya. Utamanya dalam penguasaan bahasa Arab. Sehingga, ayahnya ini merekomendasikan Hamka untuk lebih intens lagi mempelajari bahasa Arab sebagai modal pokok seorang mubalig.
Selepas petualangannya dari Jawa, Hamka secara bertahap mampu menjadi seorang juru dakwah yang bernilai lebih. Oleh karena Hamka mampu meramu materi keislaman dengan kandungan materi yang berkesesuaian dengan zeitgeist (jiwa zaman) kala itu.Â