Sesampainya pada usia remaja, Hamka sempat merasa menjadi anak muda yang nakal. Dalam buku Ayahku (cetakan ulang 2019) karangan Hamka, dikisahkan bahwa saat usianya 15 tahun, ia pergi bertualang ke Bengkulu lalu pulang ke kampung dengan membawa penyakit. Tak sampai lama tinggal di kampung, Hamka meneruskan petualangannya ke Tanah Jawa sendirian.
Kali ini ia hendak melawat ke sana untuk mencari ilmu Islam. Semula tekadnya ditentang oleh Haji Rasul. Namun, bila maksudnya ingin menimba ilmu kepada iparnya yaitu A.R Sutan Mansur di Pekalongan, ayahnya itu membolehkannya. Hamka mengenang dalam buku Ayahku, menurutnya, kelakuannya saat itu telah membuat ayahnya pusing.
Di balik pusingnya sang ayah akibat ulah Hamka, rupanya terdapat keberkahan yang sedang menanti putranya di Tanah Jawa.
Yusuf Maulana dalam bukunya berjudul Buya Hamka Ulama Umat Teladan Rakyat (2018), menerangkan bahwa pengalaman paling mengesankan yang dirasakan Hamka selama berada di Tanah Jawa yaitu manakala dirinya menimba ilmu di Yogyakarta.
Pada saat Hamka berada di Yogyakarta, tokoh-tokoh pergerakan sedang aktif-aktifnya membangun kekuatan. Tak terkecuali para tokoh pergerakan Islam khususnya dari Sarekat Islam dan Muhammadiyah.
Bertemu dengan Beberapa Tokoh Islam
Di Yogyakarta, Hamka mengikuti kursus yang diselenggarakan SI. Saat itu, untuk kali pertama, ia berkesempatan melihat langsung wajah tokoh-tokoh yang sebelumnya hanya bisa ia baca atau dengar namanya dari kampung.
Beberapa tokoh yang sempat ia lihat dan ambil ilmunya langsung dalam kursus SI waktu itu ialah Tuan Tjokroaminoto (SI), Surjopranoto (SI), Haji Fakhruddin (Muhammadiyah), dan Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah).
Bagi seorang Hamka yang berasal jauh dari kampung, kesempatan itu ia manfaatkan sebaik mungkin untuk menimba ilmu dari mereka. Dari sekian tokoh yang mengajarinya, Hamka terkesan dengan tiga orang tokoh, yaitu; Tjokroaminoto, Surjopranoto, dan Haji Fakhruddin.
Dari beberapa tokoh yang sempat ia ambil untaian ilmunya dalam kurusus itu, rupanya Hamka menyimpan kesan tersendiri kepada Tjokroaminoto. Anhar Gonggong dalam bukunya HOS. Tjokroaminoto (1985) memuat ulasan Hamka tentang perawakkan tokoh yang dianggap sebagai guru bangsa itu.
“Badannya sedikit kurus, tetapi matanya bersinar. Kumisnya melentik ke atas. Badannya tegak dan sikapnya penuh keagungan, sehingga walaupun beliau telah tidak mempedulikan lagi titel Raden Mas yang tersunting di depan namanya, namun masuknya ke dalam majelis tetap membawa kebesaran dan kehormatan, sehingga segala wajah mesti tunduk kepadanya, tunduk penuh cinta.”, demikian terang Hamka.