Mohon tunggu...
Naufal Al Zahra
Naufal Al Zahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP UNSIL

Dari Sumedang untuk Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kondisi Kesehatan Si Bung Besar Menjelang Berpulang

16 Maret 2021   18:30 Diperbarui: 17 Maret 2021   01:42 1104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Sukarno di masa tua yang menderita sakit ginjalinstagram.com/presidensukarno

Bung Besar tak lagi seperkasa dahulu, keriput di wajahnya menandakan usianya sudah tak lagi muda. Di masa tuanya ia merasakan kesepian yang amat mendalam, Sang Ibu Negara pertama tercinta tak sudi lagi menemaninya. Sementara, kawan-kawan seperjuangannya satu per satu meninggalkan dirinya, baik karena telah berpulang keharibaan-Nya maupun karena kebijakan politik yang diberlakukannya sewaktu dahulu menjabat sebagai presiden.

Titik nadir Bung Karno bermula ketika para pengincar kedudukan melancarkan pelbagai skenario muslihat untuk melengserkan posisi Bung Besar dari kursi kepresidenan. 

Dimulai sejak keluarnya Supersemar hingga yang paling jelas ialah dengan terbitnya TAP MPRS No XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno. Semua ini terjadi sebagai imbas dari insiden malam yang memilukan yaitu Tragedi 1965.

Kekuasaan dan harapan Bung Besar benar-benar sirna. Hak-hak yang semestinya ia peroleh sebagai tokoh yang berjasa dalam memperjuangkan bangsa, tak dapat ia rasakan di saat usianya tak lagi muda.

Fase hidup menyedihkan Bung Karno dimulai pada 1967 ketika ia menjalani hari di Paviliun Istana Bogor sebagai tahanan politik bersama dengan Hartini, istri yang setia merawatnya serta dua orang anaknya, Taufan dan Bayu.

Sebagai tahanan politik, hampir seluruh kebebasan Bung Karno termasuk dalam hal mobilitas sangat diawasi dengan ketat oleh aparat waktu itu. Hal ini tergambarkan ketika Pangdam V/Jayakarta, Mayjen Amir Machmud mengeluarkan surat yang isinya melarang Bung Besar masuk ke DKI Jakarta.

"...menyusul larangan yang juga datang dari Mayor Jenderal Amir Machmud, Panglima Kodam V/Jayakarta selaku Penguasa Pelaksana Daerah Jakarta Raya dan Sekitarnya. Isinya lebih tegas lagi, yaitu Sukarno tidak boleh masuk ke wilayah Daerah Khusus Ibukota dalam hal ini Jakarta." tulis Peter Kasenda dalam Hari-Hari Terakhir Sukarno.

Kondisi di atas terjadi tatkala sebelumnya Pangdam VI/Siliwangi Mayjen H.R Dharsono mengeluarkan SK bertitimangsa 13 Agustus 1967 yang bertujuan membatasi mobilitas Bung Besar. Sewaktu di Istana Bogor, Bung Besar diketahui sering berpergian ke sana kemari. Sehingga, untuk mempertegas surat keputusan dari Pangdam Siliwangi itu, diterbitkanlah surat keputusan dari Pangdam Jayakarta yang isinya seperti di atas.

Hal yang tak kalah menyedihkan dalam detik-detik terakhir hidup Bung Besar ialah tatkala kondisi kesehatannya yang semakin buruk di saat usia senja dan setelah kekuasaannya diambil secara hina.

Peter Kasenda dalam Hari-Hari Terakhir Sukarno menjelaskan, "Menurut berkas catatan medis Sukarno 29 Oktober 1966 yang dibuat oleh dokter pribadinya, dr. Soeharto, Sukarno mulai memiliki penyakit kompleks yang memerlukan penanganan serius".

Penyakit yang paling menyiksa Bung Besar ialah penyakit yang menyerang ginjalnya. Ia diharuskan diet dari protein dan garam. Selain itu, terjadi penyempitan pembuluh darah jantung, pembesaran otot jantung, dan gejala gagal jantung yang turut mencabik-cabik kondisi kesehatannya.

Bung Karno juga didiagnosa mengalami keretakan tulang rusuk yang ditandai dengan seringnya batuk-batuk keras dan dada sebelah kirinya sering terasa sakit. Dan penyakit lainnya turut memperburuk kondisi bagian paru-parunya seperti bronchi basah, sesak nafas, dan sedikit asthma.

Kondisi menyedihkan yang menimpa Bung Besar seringkali membuat dirinya mengeluh kepada Hartini. Ia sering menumpahkan keluh kesah tentang kebahagiaan, kasih sayang, dan pendidikan anak-anak tersayangnya kepada Hartini.

Menjelang 1968, Bung Besar dipindahkan secara paksa dan mendadak dari Paviliun Istana Bogor ke Batutulis, Bogor. Di sana penjagaan semakin diperketat dan Bung Karno dipisahkan dengan Hartini. Di Batutulis, Bung Karno menjalani hari-hari tanpa ditemani orang-orang yang dikasihi. Perihal kondisi kesehatannya, dijelaskan oleh Peter Kasenda.
 
"Jika dilihat dari catatan medis dokter pribadi Bung Karno,  kondisinya cenderung semakin memburuk. Selain penyakit ginjal, jantung, serta darah tinggi muncul diagnosis baru. Rematik Sukarno sering kambuh akibat udara Bogor yang sangat dingin."

Pada 1968, di samping kondisi kesehatannya, psikologi Bung Besar juga turut terganggu. Ia menjadi sulit tidur, depresi yang berlebihan, dan menjadi pelupa. Oleh sebab itu, Bung Karno harus diberi obat tidur untuk menenangkannya. Selain itu, sakit yang dirasanya terus bertambah dan semakin sering mengalami influenza, radang sendi, dan ngilu di gigi.

Dalam upaya mengobati rasa sakit Bung Besar, tentu saja tim ahli medis dikerahkan untuk merawat kondisi kesehatannya. Di samping itu, untuk mengobati kondisi psikisnya, anak-anak tersayangnya dari Fatmawati secara rutin seringkali menjenguknya baik sewaktu di Istana Bogor maupun di Batutulis. Namun, intervensi dari Rezim Orde Baru kala itu pelayanan yang diberikan pada kondisi kesehatan Bung Karno tidak maksimal dan mengecewakan.

Dr. Soerojo, salah satu dokter yang menangani kondisi kesehatan Bung Besar bukanlah  dokter spesialis. Ia adalah seorang dokter hewan. Ia sendiri tidak begitu optimal dalam menangani dan melayani Bung Besar. Kemudian, Rezim Orde Baru nampak tidak serius mengurus kondisi kesehatan Bung Karno. Sebagai contoh, pemerintah mempersulit mobilitas Bung Karno untuk berobat ke DKI Jakarta akibat larangan yang diberlakukan Pangdam Siliwangi dan Jayakarta. Selain itu, pemerintah tak kunjung mendatangkan peralatan medis yang direkomendasikan oleh dr. Soerojo.

Bung Karno dipindahkan ke Wisma Yaso pada 1969 di sana ia diawasi dengan lebih ketat dan terus menerus ditanyai tentang keterlibatannya dalam Tragedi 1965. Dan tentu saja, penyakit yang dideritanya tak kunjung hilang. Kondisi Bung Karno dari hari ke hari semakin memburuk. Ia harus mengonsumsi lebih banyak obat-obatan dan asupan vitamin supaya kondisi kesehatannya tetap terjaga.

Memasuki tahun 1970, kondisi kesehatannya tak kunjung membaik, Bung Besar mulai dilarikan ke RSPAD. Dengan dijaga personil bersenjata lengkap, ia terbaring lemah di salah satu kamar RSPAD. Tak membaik juga, Bung Besar akhirnya dilarikan ke RSPAD Gatot Subroto. 

Di sana, ia dijenguk sahabat  seperjuangannya, Mohammad Hatta namun tak banyak interaksi keduanya. Beberapa jam sebelum berpulang, Bung Besar sempat tak sadarkan diri dan akhirnya Bung Besar, Pahlawan Proklamator Indonesia itu menghembuskan nafas terakhirnya pada pagi hari 21 Juni 1970 tepatnya pukul 07.07 WIB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun