Bung Karno juga didiagnosa mengalami keretakan tulang rusuk yang ditandai dengan seringnya batuk-batuk keras dan dada sebelah kirinya sering terasa sakit. Dan penyakit lainnya turut memperburuk kondisi bagian paru-parunya seperti bronchi basah, sesak nafas, dan sedikit asthma.
Kondisi menyedihkan yang menimpa Bung Besar seringkali membuat dirinya mengeluh kepada Hartini. Ia sering menumpahkan keluh kesah tentang kebahagiaan, kasih sayang, dan pendidikan anak-anak tersayangnya kepada Hartini.
Menjelang 1968, Bung Besar dipindahkan secara paksa dan mendadak dari Paviliun Istana Bogor ke Batutulis, Bogor. Di sana penjagaan semakin diperketat dan Bung Karno dipisahkan dengan Hartini. Di Batutulis, Bung Karno menjalani hari-hari tanpa ditemani orang-orang yang dikasihi. Perihal kondisi kesehatannya, dijelaskan oleh Peter Kasenda.
Â
"Jika dilihat dari catatan medis dokter pribadi Bung Karno, Â kondisinya cenderung semakin memburuk. Selain penyakit ginjal, jantung, serta darah tinggi muncul diagnosis baru. Rematik Sukarno sering kambuh akibat udara Bogor yang sangat dingin."
Pada 1968, di samping kondisi kesehatannya, psikologi Bung Besar juga turut terganggu. Ia menjadi sulit tidur, depresi yang berlebihan, dan menjadi pelupa. Oleh sebab itu, Bung Karno harus diberi obat tidur untuk menenangkannya. Selain itu, sakit yang dirasanya terus bertambah dan semakin sering mengalami influenza, radang sendi, dan ngilu di gigi.
Dalam upaya mengobati rasa sakit Bung Besar, tentu saja tim ahli medis dikerahkan untuk merawat kondisi kesehatannya. Di samping itu, untuk mengobati kondisi psikisnya, anak-anak tersayangnya dari Fatmawati secara rutin seringkali menjenguknya baik sewaktu di Istana Bogor maupun di Batutulis. Namun, intervensi dari Rezim Orde Baru kala itu pelayanan yang diberikan pada kondisi kesehatan Bung Karno tidak maksimal dan mengecewakan.
Dr. Soerojo, salah satu dokter yang menangani kondisi kesehatan Bung Besar bukanlah  dokter spesialis. Ia adalah seorang dokter hewan. Ia sendiri tidak begitu optimal dalam menangani dan melayani Bung Besar. Kemudian, Rezim Orde Baru nampak tidak serius mengurus kondisi kesehatan Bung Karno. Sebagai contoh, pemerintah mempersulit mobilitas Bung Karno untuk berobat ke DKI Jakarta akibat larangan yang diberlakukan Pangdam Siliwangi dan Jayakarta. Selain itu, pemerintah tak kunjung mendatangkan peralatan medis yang direkomendasikan oleh dr. Soerojo.
Bung Karno dipindahkan ke Wisma Yaso pada 1969 di sana ia diawasi dengan lebih ketat dan terus menerus ditanyai tentang keterlibatannya dalam Tragedi 1965. Dan tentu saja, penyakit yang dideritanya tak kunjung hilang. Kondisi Bung Karno dari hari ke hari semakin memburuk. Ia harus mengonsumsi lebih banyak obat-obatan dan asupan vitamin supaya kondisi kesehatannya tetap terjaga.
Memasuki tahun 1970, kondisi kesehatannya tak kunjung membaik, Bung Besar mulai dilarikan ke RSPAD. Dengan dijaga personil bersenjata lengkap, ia terbaring lemah di salah satu kamar RSPAD. Tak membaik juga, Bung Besar akhirnya dilarikan ke RSPAD Gatot Subroto.Â
Di sana, ia dijenguk sahabat  seperjuangannya, Mohammad Hatta namun tak banyak interaksi keduanya. Beberapa jam sebelum berpulang, Bung Besar sempat tak sadarkan diri dan akhirnya Bung Besar, Pahlawan Proklamator Indonesia itu menghembuskan nafas terakhirnya pada pagi hari 21 Juni 1970 tepatnya pukul 07.07 WIB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H