Hal terlihat, sebagaimana telah diterbitkan SHGU jelas tidak sesuai dengan Tataruang. Mengapa demikian, karena PERDA tataruang Pemda Banten menyatakan bahwa lokasi tersebut diperuntukan untuk kegiatan mangrove, pariwisata dan perikanan.
Selain itu adalah tidak adanya izin pemanfaatan tataruang laut yang di keluarkan oleh kementerian KKP.
Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa terbitnya SHGU tersebut melawan hukum kepala BPN Tanggerang kabupaten.
Apa yang harus di lakukan dan lantas bagaimana solusinya?
Bilamana pengembang bisa mengurus dan menyelesaikan permasalahan hukum yang terjadi, apakah proyek ini tetap bisa di lanjut?
Jawabannya tentu bisa! Pertama, selama proses bisnis dalam ekosistem property sesuai pada aturan perundang-undangan maka tetap jalan.
Kedua, perlunya perubahan PERDA pemprov BANTEN dalam perubahan zonasi tataruang. Perubahan tersebut PEMDA harus secara teliti dalam menentukan tataruang dengan mempertimbangkan sosialkultur masyarakat setempat, untuk menghindari konflik horizontal.
Ketiga, ketika sosialkultur tidak di pertimbangkan, atau dalam kata lain memaksakan perubahan PERDA tersebut maka, prinsip keadilan dalam konsep pembangunan yang berkelanjutan tidak diindahkan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H