Laut China Selatan (LCS) dengan sembilan garis putus-putus atau yang biasa dikenal sebagai nine dash line (kini dikenal sebagai ten dash line setelah Tiongkok menambah garis baru) ini, tentu memicu pertentangan dari beberapa negara yang merasa bahwa wilayahnya telah di klaim sebagai bagian dari teritori Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Ini menciptakan konflik antara Tiongkok dengan negara-negara yang bersangkutan yaitu, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam hingga Taiwan yang kini wilayahnya termasuk dalam ten dash line. Adanya  klaim sepihak yang dilakukan oleh Tiongkok terhadap LCS bertentangan dengan klaim teritorial negara-negara yang bersangkutan dan dapat mengancam kedaulatan negara-negara tersebut.Â
Berawal dari terbentuknya petaMeski Indonesia tidak terlibat dalam perselisihan yang terjadi, perlu kita ketahui bahwa salah satu kepulauan milik Indonesia juga ikut disinggung dalam wilayah ten dash line yaitu, Kepulauan Natuna Utara. Indonesia memang telah menempatkan posisi sebagai non-claimant state atau menjadi pihak yang tidak menyuarakan tuntutan terhadap klaim sepihak yang dilakukan oleh Tiongkok. Namun, perlu kita ketahui bahwa klaim Tiongkok yang telah menyinggung Kepulauan Natuna ini telah melanggar ZEE Indonesia serta dapat mengancam kedaulatan Indonesia dengan adanya eksistensi kapal-kapal milik Tiongkok yang memasuki wilayah tersebut tanpa perizinan dari pihak Indonesia.
Kedaulatan telah menjadi aspek terpenting bagi semua negara, dimana setiap negara berhak atas pengakuan terhadap kedaulatannya sehingga kedaulatan menjadi salah satu status tertinggi yang dapat dicapai oleh sebuah negara. Untuk meraih kedaulatan, tentu menjadi salah satu hal yang sulit diraih, begitu pula dengan mempertahankannya.Â
Berbagai tantangan dapat dihadapi sebuah negara dalam upayanya mempertahankan kedaulatan negara, seperti persengketaan wilayah teritorial yang kerap terjadi dan juga dampak yang diciptakan dari berbagai aktor negara maupun non-negara yang berusaha mencapai kepentingan mereka. Dalam konteks konflik LCS, tentu kedaulatan Indonesia juga turut terguncang. Sebagai negara kesatuan yang berdaulat, Indonesia tentu akan berupaya semaksimal mungkin untuk mempertahankan keamanan setiap titik dari wilayahnya, termasuk Kepulauan Natuna Utara.Â
Indonesia memilih beberapa langkah yang lebih halus dalam merespon konflik LCS, dimana, pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Indonesia mengusung visi misi menjadi poros maritim dunia. Dalam arti lain, inilah yang menjadi kekuatan bagi Indonesia untuk mempertahankan akses kemaritiman serta memperkuat pengamanan di wilayah maritim Indonesia yang menjadi salah satu perbatasan sekaligus jalur keluar-masuk perdagangan internasional.Â
Selain menjadi kekuatan bagi Indonesia untuk mempertahankan wilayah perbatasan, hal ini dapat dimanfaatkan untuk mengkomunikasikan pentingnya keamanan dan pertahanan di wilayah perbatasan terkhususnya wilayah kemaritiman Indonesia yang turut terseret dalam klaim sepihak Tiongkok.Â
Dinamika yang terjadi di LCS tentu menunjukkan bahwa Indonesia harus mengambil langkah cerdas dalam menangani hal tersebut, langkah yang tetap mempertahankan kepentingan nasional Indonesia dengan cara yang halus seperti memasukkan benang ke jarum. Ini dapat dilakukan dengan naval diplomacy. Naval diplomacy merupakan penggunaan kekuatan angkatan laut suatu negara untuk mencapai kepentingan nasional serta tujuan diplomatiknya tanpa harus terlibat dalam peperangan.Â
Show of force misalnya, merupakan salah satu bentuk naval diplomacy dimana sebuah negara memiliki hak untuk menunjukkan eksistensi militer mereka di wilayah-wilayah strategis guna mengirim sinyal yang kuat terhadap negara lain mengenai kemampuan serta eksistensi militer mereka.Â
Show of force ini telah dilaksanakan Indonesia dalam beberapa kesempatan seperti, melakukan latihan bersama militer dengan Amerika Serikat di Batam dengan jarak sekitar 480 km dari Kepulauan Natuna (Arif et al., 2020, 141). Presiden Joko Widodo juga menyebutkan bahwa tidak ada gunanya untuk terlibat secara langsung dalam konflik LCS, namun, ada gunanya bagi Indonesia untuk tetap menunjukkan eksistensi militer serta pertahanan mereka di wilayah yang tersinggung oleh LCS sebagai sebuah bentuk peringatan bagi Tiongkok.Â
Selain itu, Indonesia juga memiliki UU No. 32 Tahun 2014 tentang kelautan, yang pada intinya menjelaskan bahwa sistem pertahanan kelautan dibentuk dengan tujuan untuk mengelola kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah negara, serta melindungi segenap bangsa Indonesia.Â
Peraturan undang-undang ini dirasa cukup untuk menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kekuatan besar dalam melindungi kedaulatan negaranya serta melindungi seluruh wilayah milik Indonesia, sehingga dapat mempersempit akses Tiongkok maupun negara asing untuk dapat bertingkah semau mereka yang dapat mengusik kedaulatan Indonesia. Â
Dengan tetap memajukan perdamaian antar negara, Indonesia juga tentu telah melakukan berbagai upaya dialog dengan Tiongkok, salah satu pembahasan utama dari dialog-dialog tersebut tentu mengenai konflik LCS yang telah berlangsung cukup lama antara Tiongkok dengan beberapa negara ASEAN. Indonesia sebagai salah satu negara pengusung ASEAN, tentu memainkan peran pentingnya dalam konflik ini serta dapat memanfaatkan posisinya untuk bernegosiasi dengan Tiongkok agar dapat mencapai titik terang dari konflik ini.Â
Meski terdapat berbagai upaya dialog dengan Tiongkok yang membahas isu LCS, Indonesia tetap menjalin hubungan yang baik dengan Tiongkok dalam rangka kerjasama ekonomi dan pembangunan, ini dapat dijadikan tonggak utama Indonesia untuk mendapatkan kepercayaan Tiongkok, sehingga mereka tidak mudah menyinggung serta mengusik kedaulatan Indonesia.Â
Meski begitu, tindakan klaim sepihak oleh Tiongkok terhadap LCS tetap harus ditinjau lebih lanjut. Dikarenakan, klaim yang dilakukan pihak Tiongkok, selain melanggar ZEE beberapa negara serta mengganggu kedaulatan negara-negara yang bersangkutan, Tiongkok juga melanggar United Nations Convention of Law of the Sea (UNCLOS) yang diresmikan pada tahun 1982.Â
Perjanjian ini pada dasarnya merupakan seperangkat kerangka hukum bagi segala aktivitas di lautan dan seluruh samudera yang ada di dunia, selain itu, UNCLOS juga mengatur dan menetapkan zona maritim hingga penggunaan sumber daya laut. Meski telah meratifikasi UNCLOS, Tiongkok tetap berpegang teguh untuk tidak mematuhi perjanjian tersebut serta tidak mematuhi keputusan-keputusan yang dibuat oleh UNCLOS.Â
Tindakan yang telah diambil oleh Tiongkok tentu akan terus menerus menjadi ancaman bagi semua negara yang terlibat dalam isu LCS ini, termasuk Indonesia, yang terpaksa harus terus meningkatkan upayanya untuk melindungi kesatuan serta kedaulatan negara, tak hanya mempertahankan kedaulatan negara, Indonesia harus terus menerus mengupayakan keamanan wilayah Kepulauan Natuna yang turut terseret dalam klaim Tiongkok ini.Â
Referensi:
Arif, Mesha Putri, D. A., Fachrurrozi, M., & Jessika, S. (2020, Desember). STRATEGI DIPLOMASI MILITER INDONESIA TERKAIT UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK LAUT TIONGKOK SELATAN TAHUN 2014-2019. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 25. https://jurmafis.untan.ac.id/index.php/Proyeksi/article/view/2616Â
Saragih, H. M. (2018, April 3). STRATEGI INDONESIA DALAM MENGHADAPI KONFLIK LAUT CHINA SELATAN. http://repository.unas.ac.id/263/1/PROSIDING%20HENDRA%20SARAGIH.pdfÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H