Mengenang Tragedi Marosi Yang Menewaskan Poro Duka
Pulau sumba terletak di selatan indonesia di daerah administrasi provinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas wilayah 10.710 km2. Pulau Sumba berbatasan dengan Sumbawa di sebelah barat laut, Flores di sebelah timur dan Australia di sebelah selatan dan tenggara, selat sumba terletak di bagian utara dan di bagian timur terletak laut sawu serta samudera Hindia terletak disebelah selatan dan barat (Wikipedia.org diakses pada 11/5/2018).
Pulau cantik diselatan ini identik dengan padang sabana yang luas, kuda sandlewood yang gagah dan kuat, kultur budaya yang masih sangat terpelihara dengan baik yang dibuktikan dengan peninggalan zaman batu yang masih dipertahankan sampai dengan saat ini dan aliran kepercayaan marapu yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang masih terpelihara hingga dengan saat ini.Â
Keaslian rumah adat dan kampung adat masih dipertahankan meski ditengah arus golabalisasi yang deras. Keindahan alam disertai identitas khas negeri marapu ini membius setiap orang yang berkunjung kesana membuat pulau ini menjanjikan hiburan dunia pariwisata yang sangat menggiurkan.
Keunikan pulau Sumba membuatnya dilabeli dengan berbagai predikat dari berbagai pihak. Pada tahun 2015 CNN merilis 100 pantai terindah didunia, pantai Nihiwatu sumba Barat tembus 100 pantai terindah dimana ia menempati urutan ke 17 (detik.com).Â
Selanjutnya tahun 2016, majalah bergengsi yang bermarkas di New York AS bernama travel + Pleisure menempatkan Hotel Nihiwatu Sumba sebagai hotel terbaik nomor 1 dunia dari ajang "world's Best Travel Awards 2016". Selanjutnya pada masih dengan predikat yang sama yaitu hotel terbaik nomor 1 di dunia juga diraih pada tahun 2017 oleh majalah yang sama.
Tidak hanya sampai disitu, pada tahun 2018, majalah Focus di Jerman merilis pulau terbaik dan menempatkan pula sumba sebagai pulau terindah didunia. Selain dengan penghargaan predikat, bermodal latar alam yang eksotis dan budaya serta corak hidup yang khas, banyak sekali produser perfilman yang tertarik untuk syuting filmnya di pulau ini.Â
Sebut saja film pendekar tongkat emas, film Marlina si Pembunuh empat babak yang diperankan oleh Marsya Timoty tahun 2017 dilanjutkan dengan film garapan Ersnest Prakasa dengan judul susah sinyal serta beberapa film pendek dan film loka lainnya.
Sayangnya skema investasi yang diterapkan tidak menjaga kearifan lokal dan kultur budaya sebagai ciri khas pulau ini, serta sering kali diwarnai dengan perampasan lahan baik lahan pertanian, padang peternak, maupun tanah ulayat tempat pelaksanaan ritual adat istiadat. Nuansa investasi yang melanda rakyat kecil tidak pro rakyat, malah menyisakan perih di ujung jantung rakyat.
Nusa Tenggara Timur umumnya saat ini darurat agraria, reforma agraria yang dicanangkan pemerintahan jokowi-JK tidak efektif membantu rakyat lebih khususnya kaum tani untuk menemukan haknya dalam mengelola lahan pertanian dan hak agraria lainnya. NTT akhir-akhir ini penuh dengan konflik agraria yang dilancarkan dengan skema penjarahan lahan rakyat baik tanah ulayat maupun tanah pertanian dan penjarahan Sumber Daya Alam. Aktor diballik mafia agraria ini tentu adalah pemerintah yang diperalat oleh kaum kapitalis.
Di Lamboya sendiri sangat marak dengan penjarahan tanah oleh pemerintah yang diperalat oleh investor, bahkan seluruh pesisir pantai bagian selatan di Lamboya sudah kuasai oleh investor yang tidak bertanggungjawab.Â
Mereka menjarah tanah dengan kedok memperkerjakan masyarakat dalam pengelolaan lahan sebagai lahan pariwisata, padahal dalam praktiknya kehadiran investor dalam mengelola wilayah pesisir tidak memberikan nilai tambah untuk masyarakat lebih khusus dalam hal ekonomi.
 Sebagai salah satu bukti, masyarakat desa Watukarere dan Hobawawi menurut data yang dihimpun oleh wahana Lingkungan Hidup Indonesia cabang NTT masih sangat tergantung pada suplai beras raskin, padahal dalam dua desa ini terdapat hotel terbaik didunia dengan penghasilan rata-rata Rp. 180 M per tahunnya. Dengan penghasilannya yang sangat fantastis, Nihiwatu nyatanya tidak membantu ekonomi rakyat disekitar.Â
Dunia boleh memuja pulau sumba dan membangga-banggakan hotelnya, tapi toh pulau sumba termasuk kategori pulau termiskin ketiga di Indonesia. Inilah yang disebut alamnya keren rakyatnya kere.
Dunia pariwisata yang menggiurkan dan menjanjikan ini membuat para kapitalis berlomba menempuh berbagai cara untuk mendapat bagian. Pada tanggal 25 April 2018, menjadi tragedi yang menyayat hati menjadi bukti rakusnya para kapitalis dan pemerintah yang menjadi budak kapitalis buta terhadap rakyatnya sendiri.Â
Akibat surplus rupiah, rakyat sendiri dihujani peluru demi membela kaum kapitalis yang katongnya sarat akan rupiah. Tragisnya nyawa rakyat menjadi taruhan. Sumba benar-benar jadi rebutan, nyawa jadi taruhan.
Yang mana dalam peristiwa, peluru yang dibeli dari keringat rakyat menerobos dada Poro Duka dan bersarang di jantungnya, akibatnya nyawa Poro Duka berakhir diujung bedil peluru.Â
Saat itu, PT. Sutera Marosi Karisma menggandeng BPN, Dinas Pertanahan Sumba Barat dan kepolisian berjumlah 131 orang mengukur paksa lahan pesisir Marosi dan menuai penolaka dari warga karena PT tersebut tidak mengantongi legalitas kepemilikan.Â
Poro Duka salah seorang warga Marosi bangkit dan membela haknya atas tanah itu apalagi tanah itu merupakan tanah adat tempat ritual marapu, sayangnya langkah perjuangannya terhenti oleh kekuatan peluru yang tak sanggup di lawannya.
Peluru kepolisian boleh merenggut nyawa Poro Duka, tapi api Perjuangannya masih tetap berkobar. Banyak kalangan mengecam peristiwa tragis ini dan bangkit meneruskan api perjuangan yang telah di mulai oleh Poro Duka. "Poro Duka, Apimu kami teruskan!" demikian spirit yang membakar gerakan perjuangan rakyat untuk membela haknya meski darah mengalir ditanah sendiri.Â
Saat ini rakyat sedang berjuang keluar dari jeratan para kaum kapitalis, membela hak mereka dan mari kita doakan perjuangan mereka meski harus berdarah bahkan nyawa menjadi tumbal untuk tanah sendiri agar esok keadilan datang memhampiri mereka sembari tersenyum.
Mengenang pahlawan agraria, Poro Duka yang berakhir di ujung peluru, akankah kita harus mengasingkan diri dari negeri kita sendiri ? haruskah kita bermandikan darah untuk bertahan dinegeri ini ? Akankah kita terus tumbang diatas tanah sendiri lalu mayat kita dibuang ke negeri seberang ?Â
salam perjuangan untuk para pejuang agraria.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H