Mohon tunggu...
Nathan Bulang
Nathan Bulang Mohon Tunggu... Petani - Perang Kefanaan

Pengembara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sumba Jadi Rebutan, Nyawa Jadi Taruhan

6 September 2018   08:14 Diperbarui: 6 September 2018   09:17 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka menjarah tanah dengan kedok memperkerjakan masyarakat dalam pengelolaan lahan sebagai lahan pariwisata, padahal dalam praktiknya kehadiran investor dalam mengelola wilayah pesisir tidak memberikan nilai tambah untuk masyarakat lebih khusus dalam hal ekonomi.

 Sebagai salah satu bukti, masyarakat desa Watukarere dan Hobawawi menurut data yang dihimpun oleh wahana Lingkungan Hidup Indonesia cabang NTT masih sangat tergantung pada suplai beras raskin, padahal dalam dua desa ini terdapat hotel terbaik didunia dengan penghasilan rata-rata Rp. 180 M per tahunnya. Dengan penghasilannya yang sangat fantastis, Nihiwatu nyatanya tidak membantu ekonomi rakyat disekitar. 

Dunia boleh memuja pulau sumba dan membangga-banggakan hotelnya, tapi toh pulau sumba termasuk kategori pulau termiskin ketiga di Indonesia. Inilah yang disebut alamnya keren rakyatnya kere.

Dunia pariwisata yang menggiurkan dan menjanjikan ini membuat para kapitalis berlomba menempuh berbagai cara untuk mendapat bagian. Pada tanggal 25 April 2018, menjadi tragedi yang menyayat hati menjadi bukti rakusnya para kapitalis dan pemerintah yang menjadi budak kapitalis buta terhadap rakyatnya sendiri. 

Akibat surplus rupiah, rakyat sendiri dihujani peluru demi membela kaum kapitalis yang katongnya sarat akan rupiah. Tragisnya nyawa rakyat menjadi taruhan. Sumba benar-benar jadi rebutan, nyawa jadi taruhan.

Yang mana dalam peristiwa, peluru yang dibeli dari keringat rakyat menerobos dada Poro Duka dan bersarang di jantungnya, akibatnya nyawa Poro Duka berakhir diujung bedil peluru. 

Saat itu, PT. Sutera Marosi Karisma menggandeng BPN, Dinas Pertanahan Sumba Barat dan kepolisian berjumlah 131 orang mengukur paksa lahan pesisir Marosi dan menuai penolaka dari warga karena PT tersebut tidak mengantongi legalitas kepemilikan. 

Poro Duka salah seorang warga Marosi bangkit dan membela haknya atas tanah itu apalagi tanah itu merupakan tanah adat tempat ritual marapu, sayangnya langkah perjuangannya terhenti oleh kekuatan peluru yang tak sanggup di lawannya.

Peluru kepolisian boleh merenggut nyawa Poro Duka, tapi api Perjuangannya masih tetap berkobar. Banyak kalangan mengecam peristiwa tragis ini dan bangkit meneruskan api perjuangan yang telah di mulai oleh Poro Duka. "Poro Duka, Apimu kami teruskan!" demikian spirit yang membakar gerakan perjuangan rakyat untuk membela haknya meski darah mengalir ditanah sendiri. 

Saat ini rakyat sedang berjuang keluar dari jeratan para kaum kapitalis, membela hak mereka dan mari kita doakan perjuangan mereka meski harus berdarah bahkan nyawa menjadi tumbal untuk tanah sendiri agar esok keadilan datang memhampiri mereka sembari tersenyum.

Mengenang pahlawan agraria, Poro Duka yang berakhir di ujung peluru, akankah kita harus mengasingkan diri dari negeri kita sendiri ? haruskah kita bermandikan darah untuk bertahan dinegeri ini ? Akankah kita terus tumbang diatas tanah sendiri lalu mayat kita dibuang ke negeri seberang ? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun