Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Paruh Jelajah #1

24 Maret 2019   20:46 Diperbarui: 24 Maret 2019   21:09 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tabik, seorang yang dapat menuangkan pemikiran abstraknya dalam kumpulan alinea romansa, namun sungkan bila menceritakan perjalanan dari titik awal yang disebut kelahiran sampai detik ini melakoni panggilan. 

Mula Jelajah

Bayi yang lahir dengan jaundice, harus meringkuk di dalam inkubator bayi selama 1 bulan karena terlahir premature.Rumah Sakit Bakti Yuda, Depok menjadi saksi bagaimana bayi tersebut bergelut dengan sakitnya.21.30 saat para petugas masih beristirahat, perut Ibu mengalami kontraksi, tanpa ditemani dokter dan suster yang bertugas, bayi keluar dari Rahim Ibu, 4 Januari 2003. Itu saja yang saya dapatkan dari penuturan orang tua.

Jelajah berikunya membawa saya memasuki pedalam Lampung, pemukiman para pekerja tambak,  bergiat untuk PT.Cetral Pertiwi Bahari, Tulang bawang. Perihal terjadi yang saya rasakan kendati kosong saat menerka ingatan ; Karena pemukiman bertetangga dengan hutan, hewan liar nan buas masih ramai berkeliaran sampai pelataran rumah, namun kali ini bukan hewan setengah meter yang mondar -- mandir, 3,6 meter dengan hidung yang sedang menjulurkan hidung ke sebuah pohon jambu tepat di depan rumah, menjadi pusat perhatian warga sekitar seketika mengusik keberadaanya, hanya itu yang dapat saya terka dalam ingatan.

-N-

Markas Jelajah I

Awal dan penutup sebuah hari, pagi mata enggan terbuka,malam enggan mata terlelap. Semua suar tawa terbawa udara sampai menyentuh gendang telinga, dan mengirim sinyal ke otak menafsirkan bahwa itu bunyi yang tersimpan rapih pada memori. Dindingnya si hakim yang bungkam ketika tangis mendera udara.Atapnya rancu perihal apa yang mereka lindungi. Lantai pualam yang tak sungkan berkontak dengan langkah telapak.

 Ia ku sebut rumah tempat kenangan rapih tersusun, tempat meringkuk sebab letih lantaran dunia yang maruk, tempak dekap dan kecup tertambat pada dahi takala punggung menjauh dari pintu, menjadi sarat akan arti jika sekarang terpapar ratusan kilometer dari rumah itu. Jauh dari kata indah dari luar, yang pasti, hangat saat kami (Ayah, ibu, kakak, saya, dan adik) mendekap.

Persis di sebelah kiri jalan ketika masuk dari jalan karimunjawa 550 meter dari pangkal jalan, dapat ditemui rumah bercat kuning dengan pegar hijau yang mebentengi, pohon mangga kokoh berdiri, bahkan rumah itu belum tertambat satu buah batu bata pun pohon itu telah berbuah.

-N-

Bani Jelajah

"Selesaikan apa yang sudah kamu mulai " Ayat sederhana yang melekat pada pemikiran, dan perasaan, mengemuka dari mulut pria yang ku sapa " papa ".

Vitus tarsisius Dali Setiawan, putra dari Antonius Dalimin dan Maria Goretti Ngatijah, lahir dan hidup di keluarga polisi, tak membuat diri tertarik pada dunia kepolisian seperti kedua orang tuanya. Menghabiskan masa kecil di kota peyangga Jakarta yang malah menuntun diri menjadi pegiat perikanan. Sempat mengecap kehidupan taruna di Sekolah Tinggi Ilmu Perikanan, Jakarta Selatan.Bergelut di tengah aroma amis tambak bagai makanan pokok. Kini kokoh menjulang di tanah lumbung padi Asia Tenggara, Filipina. Masih sama, crustaceae yang di lakoninya.

Teruntuk pemberi tumbuh kembang, teruntuk saluran kasih yang enggan menagih " Terimakasih ", teruntuk jutaan tetes air mata tersembunyi di balik senyum berkerut, daku panjatakan doa kepada-Nya, pasti mengabulkan.

Lydia Sebastiana Tyastiti, wanita manis, kembang desa ketika bertutur perihal masa mudanya, kembang desa nun manis itu menjadi milikku sepenuhnya. Kami saling memiliki karena dia yang ku teriakan dalam tiap keheningan doa, intuisi tiap butir rosario serta lantunan Salam Maria, Mama. Lahir di Ibu Kota, tanggal enam belas,bulan September, tahun seribu Sembilan ratus tujuh pulh satu, darah ambon yang masih mengalir dari Ibunya Eleonore Matakoepan, serta ayahnya Paulus Suparno yang menurunkan darah jawa.

Kehidupan yang digandeng oleh dua perempuan yang luar biasa, Regina Caeli Cahaya Tarsisty sebagai kakak, dan Rafaela Natalin Trixiena Tarsisty sebagai adik dalam rekaan ulang hidup. Mereka yang menanamkan tentang hati wanita yang patut di jaga

-N-

Jelajah Tanah sebrang I

Singapura 2017

Selepas upacara kemerdekaan, semua bergegas menggapai semua bawaan yang entah terpakai atau tidak. Hilir mudik, lalu lalang manusia yang mencari, bertemu, berpisah, dalam setiap saatnya menjadi alur yang tercermin pudar pada keramik Bandara Raden Intan II, diri siap masuk dalam alur ini. "Hanya family gathering di Depok " kalimat meyakinkan terlontar dari ayah saya. Kaki telah menyentuh lantainya, ribuan orang yang tengah menunggu, berharap cemas,meninggalakan untuk beralih pulang pada manusia tersayang, dan pergi meninggalkan takala burung besi hanya membawa pergi enggan kembali.

Terminal 2D tak kenal waktu, lengah bukan pilihan bagi para mobilitas bahkan tiap jamnya dapat memohon di mana ia mau. Sama seperti diri pergi menjauh dari bumi pertiwi menuju Negara Kota di semenanjung Melayu. Dari satu jam hingga ia menggandakan diri, jika ingin mendarat di lintasannya. Gemerlap memancar dari 35.000 kaki. Changi otomatis menjadi awal Jelajah di Negri itu, jarum panjang menunjuk 01.45, namun hiruk pikuk mengendap dan membatu. Chinatown, daerah tempat singgah yang sendu, jauh dari jangkauan lensa media dunia yang tak pernah lesu.

Padestrian tertata, roda 2 luput dari mata, roda 4 mendominasi dengan percikan hedonis namun memanja.Bus kota jadi balok berongga bagi manusia di dalamnya yang irit kata.Supir taksi yang dari kalangan lansia yang diberdayakan pemerintah menjadi penentu arah. Penyapu jalan , pembenah infrastruktur dan pengarah masa dari keturunan bangsa Arya menyambung hidupnya di sana.Merlion, Universal Studio, Madame Tussauds ,dan Bugis Street itu beberapa tempat saya bertandang.Gedung -- gedungnya mempresentasikan " Sepi di Keramaian ", dan tamadun dapat diselaraskan dengan tatapan kosong penduduk yang sebagian besar tertuntut bea bermukim tinggi.

Singapura menjadi kebohongan papa yang sendirinya terucap pada saya.

Jelajah Tanah Sebrang II

Filipina 2018 

Lagi, mentari belum sempurna menyingsing, takala alas kaki dengan sempurna beradu dengan keramik bandara. Burang besi kembali menatap lintasanya menuju terbang, doa terus didereskan agar kaki kembali menyentuh tanah. Terbitnya fajar menjadi tontonan manis nun gratis saat terbang, beruntung seat yang menopang tubuh tepat menghadap horizon yang membara.

Doa terkabul, kaki kembali menyentuh tanah. Memeluk kakak, menarik koper, menggendong tas lalu menaruhnya di laci kabin, tidak jenuh di lakukan. Kini mesin terbang Air Asia tujuan Bandara Internasional Ninoy Aquino jadi tumpangan. Lorong terminal yang terkesan sepi menemani langkah letih bercampur risih akibat keringat yang menempel dalam pakaian. Jangan berekspektasi dengan ruang kedatangan yang megah, hanya segaris kecil, namun menghantarkan diri menuju petualangan sederhana yang mengagumkan.

Tiap satu kilometernya kapel kecil berdiri bagai masjid di tanah air. Dengan banyaknya tempat ibadat yang megah berdiri, tanah Filipina mulai surut panggialn akan hidup berkaul. Haruslah mereka mendatangkan imam dari luar negri dengan mengandalkan konggegrasi yang bersedia mndatangkan imam.

Arsitektur gereja bawaan spanyol yang masih kokoh dan teguh tak lekang oleh jaman. Usia rata -- rata 100 tahun lebih membawa para pendoa masuk dalam ratusan juta permohonan, ratusan juta rasa syukur, oleh para pengikut-Nya. Jejak kerasulan Roma melekat pada tiap aspek kerohanian katolik Filipina, sebagai kiblat Roma di Asia Tenggara.

Dengan kehidupan rohani yang cukup maju, tentang hidup regularnya Filipina masih dikatakan Negara berkembang. Kesenjangan sosial langsung nampak ketika mendarat dan melintasi jalanan kota Manila yang begitu padat oleh roda empat dan roda 2 yang saling menyalip pada sela -- sela jalan. Walau masih denga kecarut -- marutannya, Durterte dengan tegas larangan tentang rokok, " Bawal Cigarilio " tulisan umum pada tempat keramian masyarakat, menjadi perkara jika mengabaikan, 5000 peso gantinya.

Bersambung...........

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun