"Selesaikan apa yang sudah kamu mulai " Ayat sederhana yang melekat pada pemikiran, dan perasaan, mengemuka dari mulut pria yang ku sapa " papa ".
Vitus tarsisius Dali Setiawan, putra dari Antonius Dalimin dan Maria Goretti Ngatijah, lahir dan hidup di keluarga polisi, tak membuat diri tertarik pada dunia kepolisian seperti kedua orang tuanya. Menghabiskan masa kecil di kota peyangga Jakarta yang malah menuntun diri menjadi pegiat perikanan. Sempat mengecap kehidupan taruna di Sekolah Tinggi Ilmu Perikanan, Jakarta Selatan.Bergelut di tengah aroma amis tambak bagai makanan pokok. Kini kokoh menjulang di tanah lumbung padi Asia Tenggara, Filipina. Masih sama, crustaceae yang di lakoninya.
Teruntuk pemberi tumbuh kembang, teruntuk saluran kasih yang enggan menagih " Terimakasih ", teruntuk jutaan tetes air mata tersembunyi di balik senyum berkerut, daku panjatakan doa kepada-Nya, pasti mengabulkan.
Lydia Sebastiana Tyastiti, wanita manis, kembang desa ketika bertutur perihal masa mudanya, kembang desa nun manis itu menjadi milikku sepenuhnya. Kami saling memiliki karena dia yang ku teriakan dalam tiap keheningan doa, intuisi tiap butir rosario serta lantunan Salam Maria, Mama. Lahir di Ibu Kota, tanggal enam belas,bulan September, tahun seribu Sembilan ratus tujuh pulh satu, darah ambon yang masih mengalir dari Ibunya Eleonore Matakoepan, serta ayahnya Paulus Suparno yang menurunkan darah jawa.
Kehidupan yang digandeng oleh dua perempuan yang luar biasa, Regina Caeli Cahaya Tarsisty sebagai kakak, dan Rafaela Natalin Trixiena Tarsisty sebagai adik dalam rekaan ulang hidup. Mereka yang menanamkan tentang hati wanita yang patut di jaga
-N-
Jelajah Tanah sebrang I
Singapura 2017
Selepas upacara kemerdekaan, semua bergegas menggapai semua bawaan yang entah terpakai atau tidak. Hilir mudik, lalu lalang manusia yang mencari, bertemu, berpisah, dalam setiap saatnya menjadi alur yang tercermin pudar pada keramik Bandara Raden Intan II, diri siap masuk dalam alur ini. "Hanya family gathering di Depok " kalimat meyakinkan terlontar dari ayah saya. Kaki telah menyentuh lantainya, ribuan orang yang tengah menunggu, berharap cemas,meninggalakan untuk beralih pulang pada manusia tersayang, dan pergi meninggalkan takala burung besi hanya membawa pergi enggan kembali.
Terminal 2D tak kenal waktu, lengah bukan pilihan bagi para mobilitas bahkan tiap jamnya dapat memohon di mana ia mau. Sama seperti diri pergi menjauh dari bumi pertiwi menuju Negara Kota di semenanjung Melayu. Dari satu jam hingga ia menggandakan diri, jika ingin mendarat di lintasannya. Gemerlap memancar dari 35.000 kaki. Changi otomatis menjadi awal Jelajah di Negri itu, jarum panjang menunjuk 01.45, namun hiruk pikuk mengendap dan membatu. Chinatown, daerah tempat singgah yang sendu, jauh dari jangkauan lensa media dunia yang tak pernah lesu.
Padestrian tertata, roda 2 luput dari mata, roda 4 mendominasi dengan percikan hedonis namun memanja.Bus kota jadi balok berongga bagi manusia di dalamnya yang irit kata.Supir taksi yang dari kalangan lansia yang diberdayakan pemerintah menjadi penentu arah. Penyapu jalan , pembenah infrastruktur dan pengarah masa dari keturunan bangsa Arya menyambung hidupnya di sana.Merlion, Universal Studio, Madame Tussauds ,dan Bugis Street itu beberapa tempat saya bertandang.Gedung -- gedungnya mempresentasikan " Sepi di Keramaian ", dan tamadun dapat diselaraskan dengan tatapan kosong penduduk yang sebagian besar tertuntut bea bermukim tinggi.