Mohon tunggu...
Nathanael Nicolas Sudewo
Nathanael Nicolas Sudewo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Seorang pelajar yang tertarik ilmu teknik dan transportasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menelisik Realitas Tersembunyi, Potret Pesantren yang Kerap Dipandang Sebelah Mata

21 November 2024   23:44 Diperbarui: 22 November 2024   03:23 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dialog bersama Santri (Sumber : Dokumentasi Kanisius)

Perbedaan itu fitrah. Dan ia harus diletakkan dalam prinsip kemanusiaan universal. ~Abdurrahman Wahid

Indonesia merupakan negara yang multikultural, dengan suku dan agama yang beragam mulai dari islam, katolik, kristen, budha, hindu, dan konghucu, serta kepercayaan lain yang ada di indonesia seperti kejawen dan lainnya. Indonesia sendiri, meski beragam, dikenal sebagai negara yang warganya mayoritas merupakan pemeluk agama islam. namun hal ini tidak menjadi penghalang bagi perdamaian dan hidup berdampingan antar umat beragama. 

Keberagaman inilah yang mendorong semua warga negara untuk meningkatkan rasa toleransi antar umat beragama, dengan latar belakang pendidikan agama yang tentunya juga berbeda-beda. Sebagai negara yang mayoritasnya adalah muslim dan muslimah, hal ini menyebabkan banyaknya institusi-institusi pendidikan agama islam yang kerap dikenal sebagai pesantren.

Pesantren dan Segala Isinya

Pesantren, seperti yang tadi disebutkan, adalah sebuah lembaga pendidikan agama khas Indonesia yang telah menjadi sebuah lembaga yang sudah mengakar dalam masyarakat. Hampir semua orang kenal dengan lembaga yang bernama pesantren tersebut.

Tugas utama para Santri atau pelaksana pesantren adalah untuk mempelajari dan mendalami segala hal dan ajaran agama Islam, hingga ke akar-akarnya, dan biasanya, para Santri yang keluar dari pesantren akan menjadi tokoh-tokoh agama atau pemimpin agama islam (Ustadz).  Naasnya, setinggi-tingginya pengetahuan agama, tidak menghindarkan dari fakta bahwa Pesantren sering mendapat stereotip dari berbagai kalangan masyarakat. 

Stereotip merupakan cap yang sangat menyakitkan, Pesantren seringkali di cap sebagai tempat para orang tua untuk “membuang” anak-anaknya yang biasa bermasalah atau tidak bisa dididik. Selain itu, pesantren juga sering dikira mendidik para Santri menjadi radikal dan intoleran, hingga yang paling ekstrim, adalah sering dikira mendidik para Santri menjadi teroris. 

Pesantren pun kerap dipandang  sebelah mata sebagai tempat yang terbelakang dan kurang modern. Pandangan sebelah mata yang diberikan kepada kebanyakan pesantren, membuat masyarakat semakin buta akan hal-hal positif yang ditanamkan oleh pesantren ini.

Realitas yang terungkap : Ekskursi SMA Kolese Kanisius 2024

Nyatanya, Realita tidak sesuai dengan stereotip. Ekskursi budaya yang diadakan oleh SMA Kolese Kanisius yang saya pribadi juga jalankan, merupakan sebuah sarana yang sangat baik bagi kita masyarakat Indonesia, mempelajari budaya lintas agama, serta mendorong diri untuk tidak memandang suatu hal hanya dari omongan orang, atau satu sudut pandang saja, seperti pada kasus pesantren ini. 

Ekskursi budaya Kolese Kanisius merupakan sebuah acara dimana para siswa Kolese Kanisius Jakarta terjun langsung untuk mempelajari budaya lintas agama, terutama mendatangi pesantren dan berinteraksi langsung dengan para Santri dan berbagi pengalaman dan ilmu. Pada tahun ini, saya dan teman-teman saya mendapatkan kesempatan untuk pergi ke cirebon berdinamika di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Ciwaringin Cirebon. 

Awalnya ketika datang, kami ditatap dengan mata setajam pisau, merasa tidak nyaman dan dianggap layaknya alien yang datang ke bumi. Namun setelah mendapat pengantar dari pengurus PonPes Kebon Jambu, kami menyadari bahwa kedatangan kami merupakan hal yang asing bagi mereka, melihat pemuda seusia mereka dengan iman yang berbeda menjadi hal yang baru bagi mereka. 

Secara perlahan kami mulai mendekati dan berinteraksi dengan para Santri dengan masuk kelas dan belajar bersama, berdialog bersama bertukar pikiran dan ilmu dari agama kami masing-masing serta kami pun semakin diterima hingga kita mengikuti acara ‘marhabanan’ yang mereka adakan setiap kamis malam, dan melakukan dialog lintas agama serta memberi pesan dan kesan bagi para santri. 

Dari pengalaman ini, kami belajar bahwa apapun agamanya, kita bisa hidup saling berdampingan, menerima satu sama lain dalam keberagaman. 

Dialog bersama Santri (Sumber : Dokumentasi Kanisius)
Dialog bersama Santri (Sumber : Dokumentasi Kanisius)

Membuka mata, pengalaman ini menjadi titik dimana segala stereotip dan pandangan yang sering saya dengar mengenai pesantren semakin berkurang, karena para Santri disini menjunjung tinggi kesederhanaan, semangat toleransi, dan kedisiplinan dalam beragama. Saya pun juga tidak melihat tanda-tanda intoleransi dari mereka, karena tatapan tajam diawal hanya menunjukkan ketidakbiasaan dan keheranan mereka terhadap hal baru. 

Stereotip tentang pesantren menjadi tempat untuk mendidik anak-anak nakal pun tidak sepenuhnya benar, karena sebagian besar para Santri merupakan pemuda yang ingin mempelajari dan mendalami agamanya. 

Ketika kami pulang pun kami juga diantar hingga bus, dan dilepas secara baik, hangat, dan hormat dari setiap individu di Pondok Pesantren tersebut. Berkegiatan, beristirahat, dan memuji bersama dibawah langit yang sama, sungguh menyadarkan kami indahnya hidup dalam damai. 

Mengikis Stereotip, Menjunjung Perdamaian

Kedamaian ini sering dihancurkan oleh stereotip-stereotip tadi. Stereotip yang tidak benar itu seperti menilai sebuah buku hanya dari sampulnya. Kita melihat permukaan luar tanpa pernah membuka halaman-halamannya, lalu membuat kesimpulan yang seringkali keliru tentang isi sebenarnya. Misalnya, menganggap pesantren hanya tempat anak nakal adalah seperti menyebut perpustakaan sebagai tempat untuk orang yang tidak punya kehidupan sosial. 

Padahal, keduanya adalah tempat untuk belajar, berkembang, dan menemukan jati diri, bukan sekadar memenuhi asumsi dangkal orang lain. Stereotip tidak memberi ruang untuk memahami kenyataan; ia hanya menciptakan jarak antara kita dan kebenaran. 

Foto Bersama Santri (Sumber : Dokumentasi Kanisius)
Foto Bersama Santri (Sumber : Dokumentasi Kanisius)

"Keberagaman dan perbedaan bukanlah penghalang, melainkan kekuatan untuk bersatu." , Itulah yang dikatakan pengurus pesantren bagi kami para Kanisian ketika di pesantren, yang juga menjadi inspirasi bagi kami untuk menjunjung tinggi toleransi bagi teman-teman yang beragama lain, setanah air. Hal inilah yang tidak semua orang bisa lihat, sebab mereka sudah terpaku dengan stereotip yang sudah menyebar. 

Maka, stereotip-stereotip terhadap saudara yang berbeda keyakinan ini harus dimusnahkan, tidak hanya pada kasus pesantren namun semua peperangan agama yang terjadi di negara kita, karena hal inilah yang menjadi pemecah kesatuan dan kedamaian bangsa kita. Toleransi harus dijunjung tinggi, demi NKRI yang damai dan bersatu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun