Mohon tunggu...
Nathanael Nicolas Sudewo
Nathanael Nicolas Sudewo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Seorang pelajar yang tertarik ilmu teknik dan transportasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menelisik Realitas Tersembunyi, Potret Pesantren yang Kerap Dipandang Sebelah Mata

21 November 2024   23:44 Diperbarui: 22 November 2024   03:23 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dialog bersama Santri (Sumber : Dokumentasi Kanisius)

Secara perlahan kami mulai mendekati dan berinteraksi dengan para Santri dengan masuk kelas dan belajar bersama, berdialog bersama bertukar pikiran dan ilmu dari agama kami masing-masing serta kami pun semakin diterima hingga kita mengikuti acara ‘marhabanan’ yang mereka adakan setiap kamis malam, dan melakukan dialog lintas agama serta memberi pesan dan kesan bagi para santri. 

Dari pengalaman ini, kami belajar bahwa apapun agamanya, kita bisa hidup saling berdampingan, menerima satu sama lain dalam keberagaman. 

Dialog bersama Santri (Sumber : Dokumentasi Kanisius)
Dialog bersama Santri (Sumber : Dokumentasi Kanisius)

Membuka mata, pengalaman ini menjadi titik dimana segala stereotip dan pandangan yang sering saya dengar mengenai pesantren semakin berkurang, karena para Santri disini menjunjung tinggi kesederhanaan, semangat toleransi, dan kedisiplinan dalam beragama. Saya pun juga tidak melihat tanda-tanda intoleransi dari mereka, karena tatapan tajam diawal hanya menunjukkan ketidakbiasaan dan keheranan mereka terhadap hal baru. 

Stereotip tentang pesantren menjadi tempat untuk mendidik anak-anak nakal pun tidak sepenuhnya benar, karena sebagian besar para Santri merupakan pemuda yang ingin mempelajari dan mendalami agamanya. 

Ketika kami pulang pun kami juga diantar hingga bus, dan dilepas secara baik, hangat, dan hormat dari setiap individu di Pondok Pesantren tersebut. Berkegiatan, beristirahat, dan memuji bersama dibawah langit yang sama, sungguh menyadarkan kami indahnya hidup dalam damai. 

Mengikis Stereotip, Menjunjung Perdamaian

Kedamaian ini sering dihancurkan oleh stereotip-stereotip tadi. Stereotip yang tidak benar itu seperti menilai sebuah buku hanya dari sampulnya. Kita melihat permukaan luar tanpa pernah membuka halaman-halamannya, lalu membuat kesimpulan yang seringkali keliru tentang isi sebenarnya. Misalnya, menganggap pesantren hanya tempat anak nakal adalah seperti menyebut perpustakaan sebagai tempat untuk orang yang tidak punya kehidupan sosial. 

Padahal, keduanya adalah tempat untuk belajar, berkembang, dan menemukan jati diri, bukan sekadar memenuhi asumsi dangkal orang lain. Stereotip tidak memberi ruang untuk memahami kenyataan; ia hanya menciptakan jarak antara kita dan kebenaran. 

Foto Bersama Santri (Sumber : Dokumentasi Kanisius)
Foto Bersama Santri (Sumber : Dokumentasi Kanisius)

"Keberagaman dan perbedaan bukanlah penghalang, melainkan kekuatan untuk bersatu." , Itulah yang dikatakan pengurus pesantren bagi kami para Kanisian ketika di pesantren, yang juga menjadi inspirasi bagi kami untuk menjunjung tinggi toleransi bagi teman-teman yang beragama lain, setanah air. Hal inilah yang tidak semua orang bisa lihat, sebab mereka sudah terpaku dengan stereotip yang sudah menyebar. 

Maka, stereotip-stereotip terhadap saudara yang berbeda keyakinan ini harus dimusnahkan, tidak hanya pada kasus pesantren namun semua peperangan agama yang terjadi di negara kita, karena hal inilah yang menjadi pemecah kesatuan dan kedamaian bangsa kita. Toleransi harus dijunjung tinggi, demi NKRI yang damai dan bersatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun