Memasuki tahun 2000, industri perfilman Indonesia semakin berkembang setiap tahunnya. Sebelumnya, pada tahun 1990-an kondisi perfilman Indonesia sempat berada dalam fase naik-turun. Munculnya film Petualangan Sherina (2000), Jelangkung (2001) dan Ada Apa Dengan Cinta (2002) ini membuat industri perfilman Indonesia mempunyai harapan besar di tahun-tahun yang akan mendatang.Â
Tahun demi tahun, film lokal ini mulai digarap dengan serius dengan harapan untuk menjadikan perfilman Indonesia kuat di mata para penonton lokal. Mulai dari film drama, horror, action, dan genre-genre lainnya yang siap bersaing dengan film-film internasional.Â
Paradigma, genre, dan subgenre yang digunakan dalam film sebelum tahun 2000 dan sesudah tahun 2000 tentunya mengalami banyak perbedaan.Â
Paradigma
Paradigma menurut Harmon (dalam Astuti, 2022, h.17) diartikan sebagai cara dasar dalam mempersepsikan, berpikir, menilai serta melakukan suatu hal khusus mengenai realitas. Sedangkan Bogdan & Biklen (dalam Astuti, 2022, h.17) berpendapat bahwa paradigma ini merupakan sekumpulan asumsi, konsep, atau proposisi yang saling berhubungan secara logis yang merujuk pada cara individu berpikir dan melakukan penelitian.Â
Jika disimpulkan, paradigma merupakan suatu kumpulan konsep, cara berpikir, keyakinan yang membentuk kerangka kerja dalam melaksanakan suatu penelitian.Â
Fungsi dari paradigma itu sendiri adalah untuk melihat bagaimana pesan yang ingin disampaikan dari film tersebut, untuk merumuskan fokus analisis dari suatu film, untuk mengetahui aturan apa saja yang harus diikuti dalam proses menginterpretasikan suatu film.Â
Dalam perfilman, ada tiga jenis paradigma yang biasa digunakan yaitu paradigma fungsionalisme, paradigma empiris, paradigma fenomenologi, dan paradigma kritis (Astuti, 2022, h.20).Â
Genre
Genre didefinisikan oleh Rick Altman (dalam Astuti, 2022, h.23) sebagai suatu unsur semantic, sintaktik, dan hibrid dimana hal itu menjadi tanda-tanda atau alur cerita dan tema tertentu yang akan difokuskan dalam suatu film.Â