Tak ada yang dengan taktis melakukan kejutan-kejutan politik setelah selesai pertarungan Pemilu 2019, kecuali Surya Paloh. Ia melakukan banyak manuver kejutan.
Tapi manuver itu juga dinilai membahayakan bagi masa depan Partai Nasdem, karena berpotensi menggerus elektabilitas politik partainya sendiri setelah merangkul PKS. Sebagian besar konstituen Nasdem adalah kelompok kelas menengah yang dalam pertarungan politik 2019 "alergi dengan PKS".Â
Dan rangkulan pada PKS serta merapatnya Nasdem ke Anies Baswedan dinilai memiliki potensi membahayakan bagi Kabinet Jokowi jilid II dalam "keseimbangan konstelasi politik". Â
Tapi bagi Surya Paloh mungkin sama dengan prinsip Sutan Sjahrir dalam memahami pertarungan politik : "Hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan", hanya saja pertaruhan politik Surya Paloh sekarang adalah "Pertarungan melawan Jokowi dan Pendukungnya".
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Surya Paloh bisa sangat membahayakan bagi keseimbangan politik di pemerintahan Jokowi Jilid II. Pertama, Ia melakukan sinyal menjaga jarak kepada pemerintahan.
Kedua, ia jelas melakukan posisi front dengan PDI Perjuangan sebagai partai terkuat dan menjadi pengusung utama Jokowi. Ketiga mulai merapatnya Surya Paloh kepada Anies Baswedan.
Paloh seakan ingin membangun kekuatan-kekuatan politik potensial sebagai bagian dari antitesis kekuatan politik Jokowi yang direpresentasikan sebagai "Kekuatan Banteng". Dengan kata lain ia melakukan "politik penggembosan" pada PDI Perjuangan sebelum pertarungan 2024 dimulai.Â
Sinyal Menjaga Jarak dengan Pemerintahan Jokowi
Kekecewaan Paloh sebenarnya mudah dibaca publik seperti terganggunya posisi Kementerian Perdagangan Enggartiasto Lukita yang secara intens mendapatkan serangan dari berbagai pihak. Bahkan Kabulog Budi Waseso sengaja dipasang Presiden Jokowi untuk menandingi kekuatan Enggar yang merupakan "mesin logistik" penting Partai Nasdem.Â
Selain hal itu, posisi nyaman Nasdem dalam penempatan Jaksa Agung dilibas habis dengan tidak dibagikannya posisi Jaksa Agung kepada mereka. Padahal kekuatan politik Nasdem terletak pada trisula penting.
Pertama, Surya Paloh yang ditengarai merupakan bagian penting "Ring Satu". Kedua, Enggartiasto yang menjadi mesin logistik partai sekaligus penentu jalur kemenangan politik Nasdem di banyak Pilkada. Ketiga, adalah Jaksa Agung yang banyak dikeluhkan oleh partai-partai lawan Nasdem bermain tidak fair dalam penentuan status hukum Calon Kepala Daerah.Â
Banyak pihak dari kalangan elite politisi menuding Jaksa Agung bermain politik praktis dalam melakukan serangan senyap "stick and carrot" kepada calon-calon potensial partai lain, sehingga calon partai lain terpaksa masuk ke Nasdem.Â