Bagi sebagian besar dari kita, meraih beasiswa penuh untuk belajar di luar negeri bukan hanya sekedar mimpi, tapi juga merupakan sebuah batu pijakan untuk membuat perubahan luar biasa dalam pendidikan kita. Â Saat ini banyak sekali kesempatan yang terbuka lebar bagi para pelajar Indonesia untuk menjelajahi dunia pendidikan di kancah internasional. However, we never know unless we walk in their shoes. Dibalik setiap kesempatan itu, ada sebuah perjalanan panjang yang membutuhkan niat, pengorbanan, ketekunan, dan hati yang lapang untuk merealisasikan impian setinggi langit.
IISMA merupakan salah satu beasiswa untuk belajar di luar negeri dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.  Sebagai salah satu penerima beasiswa atau awardee IISMA, saya diberi kesempatan untuk mengeksplorasi salah satu kampus di Taiwan bernama National Chin-Yi University of Technology (NCUT) sebagai bagian dari pengalaman pendidikan luar negeri saya.Â
Belajar di luar negeri tidak hanya tentang memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang mengumpulkan pengalaman sebanyak mungkin untuk memperluas pandangan hidup dan menciptakan mimpi yang lebih besar. Â Indonesian International Student Mobility Awards atau seringkali disebut sebagaiDalam kesempatan ini saya sangat bersemangat untuk berbagi pengalaman saya selama menjalani beasiswa ini, terutama dalam memahami dan menjelajahi kebudayaan yang berlimpah di Taiwan. Pengalaman di sini bukan hanya mengenai budaya belajar di kampus, tetapi juga tentang bagaimana meresapi, memahami, menghargai, dan menikmati budaya lokal yang menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan studi saya. Saya berharap, melalui pengalaman budaya yang saya bagikan, pembaca dapat terinspirasi dan memperoleh pemahaman yang lebih dalam mengenai keragaman budaya di Taiwan.
Pertama kali saya menjejakkan kaki di Taiwan, kami (para awardee NCUT) disambut oleh hujan gerimis yang membuat udara terasa sangat sejuk dan dingin. Kami dijemput oleh staf Kantor Urusan Internasional (KUI) dari NCUT menggunakan 2 mobil karena jumlah awardee IISMA di NCUT yang cukup banyak (kami berjumlah 12 orang). Selama perjalanan saya melihat banyak sekali gedung, pepohonan, dan taman yang ditata sedemikian rupa hingga membuat saya sangat takjub dengan keunikan, keindahan, kerapian, dan kebersihannya karena Taiwan memiliki perencanaan kota yang baik dan terstruktur.
Setelah beberapa hari, saya menemukan fakta bahwa sistem pengelolaan sampah di Taiwan sangat unik. Setiap hari terdengar suara truk sampah yang mirip dengan suara penjual es krim keliling di Indonesia. Setiap daerah di Taiwan memiliki truk sampah tersendiri untuk mengumpulkan sampah dari masyarakat setempat. Ketika terdengar melodi seperti penjual es krim ini, mereka serentak keluar dengan membawa beberapa kresek yang berisikan sampah dan memberikannya kepada petugas sampah yang bersiap di bagian belakang truk. Selain itu terdapat satu perbedaan mencolok antara Indonesia dengan Taiwan dalam pemisahan jenis sampah. Sama halnya dengan Indonesia yang membedakan jenis-jenis tempat sampah, namun di Taiwan tempat sampah hanya tersebar pada lokasi tertentu di dalam gedung dimana tidak ada tempat sampah di jalanan. Tingginya kesadaran masyarakat terhadap sampah menciptakan lingkungan yang bersih dan terjaga dengan baik di Taiwan.
Dari segi sistem pembelajaran, Taiwan mempunyai pendekatan unik mengenai durasi kuliah yang terbilang cukup panjang, yaitu selama 3 jam penuh yang diselingi dengan jeda istirahat setiap jamnya selama 10 menit. Keberadaan jeda istirahat berkali ini memberikan ruang bagi siswa untuk menarik nafas, meregangkan otot, merefreshkan pikiran, serta meningkatkan fokus dalam proses pembelajaran. Di sisi lain, sistem pembelajaran di Indonesia cenderung memiliki jeda istirahat yang difokuskan pada waktu-waktu tertentu seperti pelaksanaan sholat Dhuha, Dhuhur, dan Ashar. Perbedaan pengelolaan waktu istirahat ini mencerminkan perbedaan dalam penyusunan dinamika pembelajaran di antara kedua negara.
Berikutnya adalah kuliner Taiwan dengan ciri khasnya yang cenderung berminyak dan hambar memberikan pengalaman yang unik, berbeda dengan kekayaan rempah-rempah pada makanan Indonesia yang menciptakan cita rasa yang kuat dan khas. Masing-masing individu pastinya memiliki preferensi rasa yang berbeda. Beberapa orang Indonesia mungkin merasa bahwa makanan di Taiwan kurang memiliki cita rasa yang kuat. Namun bagi saya pengalaman kuliner di Taiwan menjadi hal yang menarik dengan keunikan rasanya yang berbeda.Â
Pasar malam Yizhong adalah destinasi favorit di kalangan mahasiswa NCUT di daerah Taichung. di sinilah pertama kalinya saya mencoba berbagai cemilan Taiwan seperti tahu busuk (stinky tofu), cumi goreng, dan boba favorit Taiwan yaitu Tiger Sugar. Awalnya, saya mengira tahu busuk akan menjadi sesuatu yang tidak akan saya sukai, namun ternyata saya sangat menikmati rasa khas tahu busuk saat mencicipinya. Suasana ramai pasar malam menciptakan pengalaman tak terlupakan dengan aroma makanan yang menggoda dan keceriaan masyarakat lokal maupun internasional. Rasanya begitu hangat dapat berkumpul bersama untuk menjelajahi dan menikmati berbagai hidangan bersama.
Tidak hanya memusatkan perhatian pada pengalaman belajar dan kuliner, saya juga menjelajahi aspek kebudayaan lainnya di Taiwan. Kesempatan menempuh pendidikan selama satu semester di Taiwan telah membuka pintu terhadap beragam budaya yang menggambarkan identitas unik tempat ini. Pengalaman yang tidak dibatasi oleh pembelajaran akademik, menambahkan pemahaman mendalam terhadap kekayaan budaya Taiwan. Ketika menjelajahi berbagai tempat di Taiwan, saya menyadari bahwa banyak keindahan tersembunyi yang belum saya ungkap.Â
Bagi saya salah satu kebudayaan Taiwan yang sangat melekat adalah kuil-kuil dengan arsitektur yang menarik. Taiwan memiliki banyak sekali kuil, namun terdapat tiga kuil yang paling mengesankan bagi saya. Pertama adalah Lì dé shūyuà n (立德書院) atau Perguruan Tinggi Lide, yang menjadi pengantar saya dalam memahami kepercayaan masyarakat Taiwan terhadap dewa-dewa mereka. Happy Buddha adalah salah satu dewa yang dipercayai oleh masyarakat Taiwan. Dewa ini memiliki telinga yang lebar dan panjang untuk mendengarkan doa pengikutnya, wajah yang selalu tersenyum dipercaya dapat membawa kegembiraan dan kebahagiaan bagi pengikutnya, serta perutnya yang buncit dipercaya membawa kelimpahan dan kekayaan.
Kedua, Baguashan Great Buddha Statue and Temple atau Patung dan Kuil Buddha Besar Baguashan, patung Buddha terbesar di Taiwan dengan ukuran 22 meter atau 72 kaki. Ketika memasuki tempat ini terdapat 32 patung yang berjajar di sepanjang jalan masuk. Patung-patung ini merupakan malaikat yang ditemui Buddha selama perjalanannya dalam menyebarkan ilmu. Sebelum menuju patung Buddha terdapat sebuah kolam dengan 9 patung naga yang melambangkan 9 arah mata angin. Kolam ini mengandung makna penting mengenai keseimbangan hidup yang disebut dengan Feng Shui. Di belakang kuil utama terdapat beberapa pagoda yang menjadi tempat penyimpanan abu jenazah Buddha atau orang suci yang telah dikremasi. Pagoda ini juga dijadikan sebagai salah satu daya tarik dari Kuil Buddha Besar Baguashan.
Last but not least, Lugang, merupakan sebuah kota kuno yang menjadi salah satu destinasi wisata utama di Taiwan. Di dalamnya terdapat Lugang Mazu atau Lugang Tianhou, sebuah kuil dengan banyak patung dewa yang berjajar. Â di sini terdapat banyak sekali dewa, namun terdapat perbedaan yang mencolok yaitu terdapat dewa dengan kulit hitam melekat. Dewa dengan tubuh yang gelap ini memiliki filosofi yang menarik. Ia melepaskan seluruh kekuatannya untuk menyerap seluruh kejahatan yang ada di dunia. Salah satu fakta menarik di kuil ini adalah kita harus masuk melalui sisi kanan kuil dan keluar melalui sisi kiri untuk mencegah nasib buruk. Selain itu, kita harus melangkahi pijakan kayu di ruang berdoa dan tidak boleh menginjaknya atau kita akan terkena nasib buruk. Â Di tempat-tempat inilah saya belajar mengenai rasa hormat terhadap keyakinan yang ada di Taiwan.
Seni juga menjadi jendela yang menarik untuk menggambarkan kekayaan budaya Taiwan. Salah satu destinasi wisata seni yang saya kunjungi adalah National Taiwan Museum of Fine Arts. Saya berkesempatan menjelajahi museum ini bersama dengan awardee IISMA dari Yuan Ze University (YZU), Asia University (AU), dan pastinya bersama awardee NCUT. Museum ini tidak hanya menampilkan karya seni yang memikat, tetapi juga menampilkan arsitektur yang memukau. Berbagai lukisan dan karya seni dari berbagai seniman dapat dijumpai di sini. Namun, yang membuatnya lebih istimewa adalah adanya galeri Virtual Reality (VR) dan ruang U-108 Space di mana pengunjung dapat merasakan karya seni secara lebih mendalam. Tidak hanya itu, tersedia juga ruang baca terpisah untuk orang dewasa dan anak-anak, menciptakan lingkungan yang nyaman bagi semua kalangan untuk menikmati keindahan seni dengan cara yang unik.
Pengalaman terakhir yang akan saya bagikan adalah pengalaman saya selama di Qingshui Playground di Distrik Qingshui. Ini adalah pengalaman lokakarya kebudayaan pertama saya mengenai gaya hidup pedesaan di Taiwan. di sini saya belajar untuk membuat tempat pembakaran yang sering disebut sebagai stone kiln. Seperti namanya tempat pembakaran batu ini berasal dari batu yang ditumpuk sedemikian rupa seperti tungku untuk memasak. Setelah menumpuk batu, di dalamnya diberi bara api hingga bebatuan tersebut menghitam. Setelah mematikan api, bahan masakan dimasukkan ke dalam tungku dan kami meruntuhkan bebatuan tersebut serta menutupinya dengan pasir. Setelah beberapa waktu berlalu kami menggali tumpukan pasir dan batu tersebut untuk mencari makanan yang telah dimasukkan sebelumnya. Para guru menjelaskan bahwa tradisi ini hanya ada di bagian tengah hingga selatan Taiwan dan biasanya dilakukan setiap sekali dalam setahun selama musim dingin. Â Mereka juga menjelaskan bahwa terdapat dua bagian tersusah dan menyenangkan selama proses ini. Proses pertama adalah menumpuk batu, dimana seharusnya kami tidak menggunakan kerangka besi untuk membuat tungku ini. Namun, para guru memahami bahwa kami adalah mahasiswa internasional yang asing dengan tradisi lokal ini. Bagian kedua adalah menggali dan menemukan makanan, dimana kami harus bersabar dan berusaha sekali lagi untuk mendapatkan hasil dari proses memasak yang panjang ini. Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk menikmati waktu bersama dengan keluarga atau orang terdekat. Sebelum pulang saya mendapatkan majalah yang dibuat oleh para guru untuk mempublikasikan kepada masyarakat mengenai tujuan komunitas ini dibentuk.
Menurut saya, kekuatan sejati Taiwan terletak pada penduduknya yang sangat ramah dan keinginan kuat mereka untuk berbagi kebudayaan serta pengalaman mereka. Hal inilah yang memperkaya kebudayaan di Taiwan. Saya menyadari bahwa untuk memahami suatu kebudayaan kita harus merasakannya secara langsung dan ikut serta dalam kegiatan maupun tradisi yang ada. Taiwan memiliki kekayaan budaya yang tak hanya tersimpan dalam sejarahnya, tetapi juga terwujud dalam interaksi sehari-hari masyarakatnya. Setiap momen tak terlupakan yang saya alami membawa pengalaman berharga yang memperluas pandangan saya terhadap keberagaman budaya Taiwan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H