Edensor merupakan seri ketiga daripada tetralogi Laskar Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata. Secara umum, Edensor sendiri merupakan nama dari sebuah tempat di Inggris. Tempat tersebut merupakan tempat yang dekat dengan perguruan tinggi dari Andrea Hirata saat ia bersekolah di luar negeri. Penulis asal Belitung ini pula mengusung latar belakang pendidikannya dalam menulis novel ini. Budaya Eropa bercampur Budaya Melayu dipadukan menjadi sebuah karya sastra yang luas akan wawasan dan filosofi kehidupan. Bahasa yang dituangkan dalam novel pula banyak bercirikan khas Melayu dengan sedikit tambahan khas Paris, Inggris, dan Rusia. Penyampaian khas Eropa ini juga merupakan hasil dari kehidupan Andrea Hirata semasa di universitas tersebut sebagai mahasiswa.
Dalam penulisannya, Andrea Hirata mengusung banyak tema yang berkesinambungan seperti mimpi, keberanian, dan persahabatan. Penyajian tema yang majemuk ini juga menyangkut beberapa aspek kehidupan lainnya seperti keagamaan, kehidupan sosial budaya masyarakat, dan cinta. Aspek-aspek kehidupan tersebut juga cukup besar berpengaruh meskipun aspek-aspek kehidupan yang diusung tidak terlalu mencolok dalam novel tersebut. Secara spesifik, berikut adalah kutipan dari novel Edensor:
"......Di bawah tiang arah itu aku takjub akan kekuatan mimpi-mimpi masa kecil kami. Sesungguhnya bukan kami, tapi mimpi-mimpi masa kecil itulah yang telah menaklukkan dunia."
Dalam kutipan tersebut telah tersampaikan bahwasannya mimpi-mimpi di masa lalu merekalah yang mengantarkan mereka ke dalam perjalanan dunia yang sangat besar tersebut, bagi mereka. Ikal dan Arai menaklukan keganasan alam dan masyarakat yang menghadang dalam perjalanan mereka dengan keberanian yang teguh dan bulat. Mereka pula berani mengambil resiko terhadap semua hal yang mana mereka telah jalani. Keinginan yang besar dalam benak mereka menciptakan sebuah dorongan semangat dan keberanian luar biasa pada masa kala itu. Bayangkan, dua mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Paris melakukan hal yang mungkin bagi orang awam sangatlah ajaib. Hal tersebut dapat dilihat dari salah satu kutipan novel tersebut:
"......mengusik sesuatu yang lama bersemayam dalam diriku, yaitu mimpi-mimpi lama kami: menjelajah Eropa sampai ke Afrika. Namun, ini bukan persoalan gampang. Masalahnya klasik: biaya. Sedang Benua Eropa amat luas. Satu per satu sajalah, mengelana Eropa dulu baru memikirkan benua hitam itu. Afrika, pada tahap ini, tak lebih keputusan generik setelah kami merambah Eropa. Afrika menjadi semacam harapan yang tidak realistis."
Bagi mahasiswa pada saat era tersebut, mungkin mengelilingi Benua Eropa bersamaan dengan Benua Afrika merupakan hal yang sulit apalagi jika dilihat dari segi materi. Dari segi pandang Ikal, hal itu juga merupakan sesuatu hal yang mana sangat mustahil untuk diwujudkan kalau hanya bermimpi saja. Maka dari itu, ia dan temannya, Arai, mengumpulkan pundi-pundi uang demi keberhasilan mimpi mereka berdua. Alhasil, semua pekerjaan mereka lalui seperti lift man dan door man. Selain dua pekerjaan tersebut, mereka juga menyanggupi pekerjaan sebagai manusia patung atas saran Famke, temannya.
"......Masjid penuh sesak, Aku dan Arai mengambil tempat di tengah, Nyaman rasanya berada di dalam masjid yang hangat, di antara ratusan brother muslim yang bersahabat. Usai khotbah, yang disampaikan dalam Bahasa Arab, jemaah berdiri untuk salat Jumat, berdesakan."
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwasannya pada saat itu, hari Jumat mereka sedang melaksanakan salat jumat yang mana pelaksanaannya di sebuah masjid yang terletak di Austria. Diceritakan Ikal dan Arai begitu menikmati suasana yang tercipta diantara sahabat-sahabat muslim dari berbagai golongan, suku, dan ras. Keberagaman yang majemuk tersebut tercermin dari kondisi sosial masyarakat yang bermukim pada daerah tersebut. Ada jemaah Somalia, Maroko, Sudan, Ethiopia, Iran, Irak, Malaysia, dan terkadang Indonesia yang berbaur menjadi satu kumpulan yang begitu menjunjung nilai persaudaraan antar sesama. Untuk lebih jelasnya, perhatikan kutipan di bawah ini:
"....... kami disambut kelompok Palestina, hangat sekali. Lalu orang-orang Sudan dan Somalia: hitam, solid gang-nya, pekerja kasar, tapi taat salatnnya. Mereka memeluk kami satu per satu. Berikutnya kelompok Syria, Iran, dan Mesir. Hari itu sangat ramai, ratusan orang berduyun-duyun. Mereka bergerombol mengelilingi kami......"
Kutipan di atas sebagai penambahan bukti daripada penjelasan tentang keadaan sosial yang terjadi di lingkungan sekitar Ikal dan Arai dalam bacaan tersebut. Selain itu, secara eksplisit telah tersirat dalam kutipan tersebut bahwa terdapat unsur sudut pandang tokoh ketiga serba tahu. Secara tidak langsung tokoh "Ikal" menjelaskan tentang bagaimana karakteristik dari tiap-tiap kelompok jemaah dengan terperinci dan jelas. Untuk lebih dalam lagi, dapat kita lihat dari kutipan di bawah ini:
"....... seringainya seperti ia baru saja menghalau cecenguk pelintas batas dari Meksiko, John Wayne palsu! Tengik bukan main."
Alur cerita dalam cerita novel ini bisa dianggap sebagai alur campuran dengan kejadian di dalam novel yang diceritakan secara maju lalu terdapat kilas balik pada tengah-tengah jalan cerita dan akan kembali lagi ke masa sekarang. Selain itu, di dalam cerita novel ini juga memuat alur tunggal yang mana cerita ini dikisahkan secara keseluruhan menjadi satu cerita, bukan dibagi-bagi menjadi beberapa bagian kecil. Untuk penggalan dari penjelasan alur di atas alur dapat dilihat sebagai berikut:
"Aku membuka tasku, mengeluarkan bungkusan kecil yang dititipkan ayah di Bandara Buluh Tumbang di Tanjong Pandan dulu, yang dipesankannya agar dibuka setelah aku sampai di Perancis.........Lalu aku terkenang, dulu ayah mengajariku melilit sarung di pinggangku dengan sarung itu. Dan, takkan pernah kulupa, aku dibonceng ayahku bersepeda ke bendungan............Air mataku meleleh. Ayahku adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku. Aku rindu pada ayahku, sangat rindu"
Tulisan novel ini berbentuk paparan atau narasi. Memang ada beberapa bagian yang mana beberapa tokohnya melakukan percakapan. Namun, secara garis besar dalam novel ini berbentuk narasi.
"Kami berlari kencang ke Selatan. Di kejauhan tampak papan lusuh berbentuk anak panah dengan tulisan yang kabur. Kami mendekatinya dengan gugup. Berjuta perasaan menggelak dalam hatiku. Semakin dekat semakin jelas, di situ tertulis Olovyannaya. Arai menatap plang nama itu, matanya berkaca-kaca. Kami duduk di bawahnya, diam, tak berkata-kata. Kami tak punya apa-apa lagi, tubuh kami ngilu, tak bertenaga, tak sanggup melangkah lebih jauh. Puluhan ribu kilometer telah kami tempuh, berbulan-bulan menjelajahi Rusia, dengan cara yang takkan pernah dipercaya siapapun, dengan kisah yang kata-kata takkan cukup untuk melukiskannya......"
Penggalan novel di atas megajarkan kita bahwa setiap hal yang kita impikan pasti akan terwujud dengan usaha dan semangat yang kuat. Tidak peduli seberapa mustahilnya mimpi tersebut dan seberapa gilanya mimpi tersebut. Pada awalnya mereka juga hanya bermimpi tentang hal tersebut. Lambat laun dari mimpi-mimpi itulah tercipta keberanian demi menjadikan mimpi tersebut menjadi suatu hal yang konkret. Karena sejatinya keberanian itu lahir secara alamiah melalui dorongan mimpi-mimpi yang besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H