Mohon tunggu...
Natanael Albertus
Natanael Albertus Mohon Tunggu... Guru - Saya penghobby menulis karya fiksi dan non fiksi.

Saya hanya orang biasa yang hobby menulis dan mengamati dunia

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Menyikapi Kesehatan Mental Siswa di Era Pandemi Covid-19

17 Oktober 2020   11:32 Diperbarui: 18 Oktober 2020   11:56 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persoalan psikologis mengalami pembalikan karena era pandemi. Pada sebelum pandemi Covid-19, salah satu gangguan kecemasan untuk bersekolah atau belajar ialah cemas untuk mau bersekolah, cirinya timbul kegelisahan yang sangat mendalam saat akan berangkat ke sekolah, terkadang sampai anak tersebut sakit. 

Seperti yang dijelaskan Seto Mulyadi (mediaindonesia, 05/08/2020) bahwa masalah saat ini semenjak pandemi Covid-19 merambah negeri Indonesia terbalik yakni tidak sedikit anak-anak ingin segera kembali ke sekolah. Pengamatan saya sebagai guru dan orang tua saat saya membagikan rapor, banyak orang tua bertanya kapan sekolah masuk dan pembelajaran kembali normal? 

Saya sulit menjawab pertanyaan orang tua tersebut. Pertanyaan ini merupakan bukti bahwa banyak orang tua seperti saya yang juga menginginkan anak-anak bisa masuk sekolah dan kembali menerima pelajaran secara normal. 

Pada pembelajaran jarak jauh, orang tua dituntut mengambil alih tugas guru di sekolah. Kita berharap orang tua untuk dapat menjadi guru yang menyenangkan di rumah. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa peran guru yang diperankan orang tua terlalu berat. 

Jangankan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, tidak sedikit para orang tua dan anak justru mengakui bahwa rumah terasa begitu tidak menyenangkan sejak wabah covid-19. Anak-anak sudah bosan, jenuh, kecapekan, begitu juga ayah bunda pun merasakan kepenatan luar biasa. 

Disusul dengan sebagian guru dan sekolah ternyata tetap memberikan penugasan-penugasan dalam takaran 'normal' pada saat situasi sebenarnya belum normal. Belajar daring yang awal mula indah, mulai direspon apatis. Bahkan banyak aplikasi atau perusahaan yang menggunakan situasi ini untuk menjual aplikasi pembelajaran daring yang biayanya menguras dana. 

Mulai muncul desakan membuka kembali pintu sekolah yang artinya orang tua ingin anaknya kembali bersekolah secara normal, masuk ke sekolha seperti dulu. Sementara itu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sudah menegaskan bahwa pandemi masih belum berakhir dan jika anak masuk sekolah maka kemungkinan tertular virus sangat tinggi. 

Jangankan berangkat dari hal yang rasional, desakan kembali masuk ke sekolah justru merupakan indikasi bahwa pandemi covid-19 ini juga diikuti dengan masalah kesehatan mental anak. Jadi, kampanye agar anak-anak kembali masuk sekolah mungkin bisa mencerminkan kepenatan, kejenuhan mental yang tidak bisa tertahankan oleh sebagian keluarga di Indonesia.

Pemerintah dihimbau secepatnya mengambil keputusan dalam rangka mengantisipasi wabah kesehatan mental masyarakat. Jika diabaikan, cepat atau lambat, produktivitas masyarakat akan runtuh dan sangat berdampak negatif terhadap mental bangsa. 

Ditambah isu terkait ketersediaan ponsel, internet, dan paket data juga muncul kepermukaan. Juga, kesadaran akan adanya problem kesehatan mental siswa, keluarga mereka, bahkan di kalangan personel sekolah, masih belum cukup merata. Itulah sebabnya desakan agar anak-anak kembali masuk dan belajar ke sekolah sudah sewajarnya dipertimbangkan kembali karena dampaknya sangat kontraproduktif dan tidak tertanggulangi secara memadai. 

Penyikapan terhadap masalah kesehatan mental membutuhkan keterpaduan kerja dari semua pihak. Berdasarkan praktik-praktik di banyak negara, kurikulum bermuatan social and emotional learning (SEL) (dalam tulisan Seto Mulyadi, media Indonesia, 05/10/2020) sangat baik untuk memperkuat relasi sosial yang dibutuhkan siswa. 

Secara pribadi saya setuju jika direalisasikan Kurikulum SEL ini karena sangat bermanfaat bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya agar lebih siap merespon dinamika psikologis dan perilaku para anak didik tertama pada masa krisis. 

Salah satu unsur di dalam kurikulum bermuatan SEL ialah memberikan kesempatan lebih leluasa kepada siswa dalam melakukan refleksi atas segara pengalaman mereka selama menjalani pembatasan sosial. Sesama siswa dimotivasi untuk saling bercerita tentang senang dan susahnya berada di dalam rumah selama berbulan-bulan ini. Guru juga dapat berperan sebagai pemberi semangat agar siswa lebih asertif sekaligus meyakinkan siswa bahwa berkata jujur tentang kepedihan bukan merupakan suatu kesalahan. 

Esensinya, ialah agar para siswa belajar secara lebih mendalam dan bermakna tentang kehidupan itu sendiri. Jadi dapat dikatakan bahwa muatan akademik sepatutnya kita nomor duakan dan kita harus menomor satukan belajar tentang keinsafan diri (self awareness dan social awareness). Dengan keinsafan diri yang lebih jujur, para siswa akan dapat membangun rencana-rencana pengelolaan diri yang lebih nyata. Mereka juga dapat mempererat relasi sosial. 

Outputnya ialah anak mampu membuat keputusan-keputusan secara lebih bertanggung jawab. Tentu saja, rangkaian kegiatan belajar sosial emosional tersebut diselenggarakan sesuai dengan tingkat kematangan dan kecerdasan anak, serta melibatkan keluarga sebagai bagian keseluruhan dari proses. 

Bukan hanya siswa, guru dan para tenaga pendidik juga dapat mengalami proses gangguan mental akibat wabah covid-19. Kondisi ini dapat diperburuk oleh kewajiban bagi para guru agar mereka dapat mengantisipasi masalah mental anak didik. Sejauh mana otoritas terkait juga telah memberikan perhatian kepada para guru dan para tenaga pendidik seperti administrasi dan kepala sekolah. Mereka juga perlu diberi bekal dan kesempatan untuk ber-SEL bagi diri mereka sendiri dan sesama mereka. 

Kita sebagai guru atau orang tua agar berupaya menemukan kegembiraan di tengah situasi yang serba tak menentu terhadap anak-anak kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun